Batuk rejan atau yang dikenal juga dengan pertusis merupakan infeksi pada sistem pernapasan yang menyerang paru-paru dan saluran pernapasan. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis memiliki resiko tinggi menyerang bayi di bawah 6 bulan [1].
Hal tersebut dikarenakan pada umur tersebut, bayi belum diberikan imunisasi. Namun, tidak menutup kemungkinan infeksi ini juga dapat menyerang anak-anak berusia kisaran 11 hingga 18 tahun dikarenakan kekebalan tubuhnya mulai melemah [1].
Pertusis ini dapat menular dengan mudah melalui bersin, batuk, atau tertawa dari anak yang terinfeksi. Penularan ini juga dapat terjadi apabila anak menghirup obat tetes dan menyentuh mulut atau hidung anak yang terinfeksi [1].
Gejala pertama batuk rejan pada anak hampir serupa dengan flu biasa. Setelah sekitar 1 hingga 2 minggu, batuk akan bertambah parah [1].
Pada beberapa kasus, batuk tersebut akan berakhir dengan suara “rejan” saat anak menarik napas [1].
Batuk rejan pada anak merupakan salah satu infeksi yang harus segera diatasi oleh orang tua. Hal tersebut dikarenakan infeksi ini dapat mengakibatkan masalah kesehatan lainnya apabila tidak segera diobati [2,3].
Komplikasi yang mungkin terjadi pada anak yang terkena batuk rejan, seperti apnea, kejang, hingga pneumonia. Oleh karena itu, infeksi tersebut harus segera ditindaklanjuti baik dengan melakukan perawatan di rumah maupun di rumah sakit[2,3].
Berikut di bawah ini cara mengatasi batuk rejan pada anak [2,3]:
Cara mengatasi batuk rejan pada anak yaitu dengan menggunakan antibiotik. Para ahli menilai bahwa antibiotik merupakan obat paling efektif mengobati batuk rejan [2,3].
Obat ini biasanya diberikan sebelum batuk menyerang atau pada tahap awal penyakit. Antibiotik ini membantu meredakan infeksi dan mencegah penularan untuk orang lain[2,3].
Pemberian antibiotik ini biasanya dilakukan secara rutin dan dijadwalkan oleh dokter. Hal yang perlu dihindari ialah jangan pernah berikan obat batuk pada anak untuk mengobati batuk rejan [2,3].
Hal tersebut dikarenakan obat tersebut tidak dianjurkan dan tidak dapat mengobati batuk rejan. Oleh karena itu, ikuti anjuran dokter dengan memberikan antiobiotik yang telah diresepkan sebelumnya [2,3].
Antibiotik biasanya diberikan dalam 3 minggu setelah anak terinfeksi batuk rejan. Obat ini akan bereaksi setelah 5 hari meminumnya [2,3].
Adapun selama masa perawatan terdapat sejumlah hal yang harus diperhatikan, yaitu [2,3]:
Dalam sejumlah kasus batuk rejan pada anak, beberapa diantaranya harus dirawat di rumah sakit. Hal tersebut terjadi apabila anak memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami komplikasi lain, seperti pneumonia, dehidrasi, hingga kesulitan bernapas [2,3].
Dengan dirawat di rumah sakit, anak akan mendapatkan perlakuan khusus dan lebih terjamin daripada perawatan yang dilakukan di rumah. Dokter akan melakukan pengawasan pernapasan dan memberikan oksigen apabila diperlukan [2,3].
Jika anak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan kesulitan makan, dokter akan memberikan cairan intravena (IV) [2,3].
Batuk rejan merupakan infeksi yang rentan menyerang anak-anak, terutama yang belum diimunisasi dan memiliki imun tubuh yang lemah. Orang tua memiliki peran yang penting dalam mengtahui kondisi anak terkini, termasuk melakukan pencegahan pada anak agar tidak terinfeksi batuk rejan [2,3].
Berikut ini cara yang dapat dilakukan untuk mencegah batu rejan pada anak [2,3]:
Batuk rejan pada anak dapat dicegah vaksin pertusis. Vaksin tersebut merupakan bagian dari imunisasi DTaP (difteri, tetanus, pertusis aselular) yang diberikan pada anak dibawah 6 tahun dengan dosis sebanyak 5 kali [2,3].
Untuk anak usia 11 hingga 18 tahun yang imun tubuhnya melemah, akan diberikan vaksin Tdap. Dimana, vaksin tersebut hampir serupa dengan DTap tetapi dosisnya lebih rendah [2,3].
Orang dewasa yang melakukan kontak langsung dengan bayi juga disarankan untuk melakukan vaksin ini. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah penularan batuk rejan pada bayi [2,3].
1. Karunanayake, Gunawardena, Mannapperuma, Somaratne, Jayasinghe. Whooping Coughb in Children. 18(1);p62-64. The Bulletin of the Sri Lanka College of Microbiologists; 2020.
2. Alberto E. Tozzi, Lucia Pastore Celentano, Marta Luisa Ciofi degli Atti, and Stefania Salmaso. Diagnosis and management of pertussis. 172(4): 509–515. Canadian Medical Association Journal; 2005.
3. Fiona P. Havers, MD, MHS; Pedro L. Moro, MD, MPH; Susan Hariri, PhD; and Tami Skoff, MS. Pertussis. 239-254. Centers of Disease Control and Prevention; 2021.