Singkong merupakan jenis umbi – umbian yang akar dan daunnya dapat dikonsumsi. Singkong telah dikenal luas di Indonesia, bahkan dijadikan sebagai makanan pokok di beberapa daerah tertentu. Singkong ini tumbuh dengan baik di wilayah – wilayah dekat garis khatulistiwa. Dapat tumbuh di daerah yang memiliki sinar matahari yang terik dan memiliki temperatur tinggi, baik di negara tropis maupun subtropis.[1]
Pada 100 gram singkong rebus, memiliki kandungan 112 kilokalori, serat 1 gram, karbohidrat 27 gram, dan lain-lain. Selain itu, Singkong juga memiliki kandungan mineral, zat besi, dan vitamin yang tinggi.[2] Meski mengolah singkong dapat mengurangi kandungan yang ada, namun merebus singkong merupakan tsalah satu metode memasak yang terbukti dapat menyimpan sebagian besar nutrisi, kecuali vitamin C, yang sensitif terhadap panas dan mudah larut ke dalam air. [2]
Kandungan dalam singkong mampu membawa manfaat yang baik bagi tubuh, seperti adanya pati resisten dalam singkong mampu memberi makan bakteri baik yang menguntungkan di usus. Hal tersebut mampu mengurangi peradangan dan meningkatkan kesehatan organ pencernaan.[3] pati resisten ini juga diketahui mampu memperbaiki metabolismetubuh serta mengurangi resiko terkena obesitas dan diabetes tipe 2.
Meski memiliki manfaat yang beragam, namun terlalu banyak mengonsumsi singkong juga tidak baik untuk kesehatan. Efek samping dari terlalu banyak makan singkong adalah sebagai berikut:
Daftar isi
Singkong memiliki kalori sebanyak 112 kalori per 100 gramnya. Apabila dikonsumsi berlebihan tanpa disertai olahraga yang cukup, maka akan berbahaya bagi tubuh. Konsumsi makanan dengan kalori yang tinggi melebihi asupan harian yakni 2000 kalori pada perempuan dan 2500 kkal pada pria, tentu saja akan menaikkan penambahan berat badan. [4] [5]
Dewasa ini, masih terdapat orang yang mengonsumsi singkong secara mentah. Padahal dalam singkong mentah terdapat racun. Namun begitu, racun ini dapat dikurangi atau bahkan hilang dengan proses pengolahan terhadap singkong, seperti perendaman, pengeringan, perebusan, dan lain – lain. Racun yang ada pada singkong ini berupa hydrogen cyanide (HCN).
Efek samping dari terlalu banyak konsumsi singkong mentah ataupun tidak terolah dengan baik, adalah banyaknya cyanide atau sianida aktif yang mampu mengakibatkan terjadinya kelumpuhan kaki pada anak – anak, peningkatan resiko terkena gondok, memiliki kadar yodium yang rendah, pengelihatan memburuk, masalah pada kemampuan berjalan yakni pelemahan, kematian, dan lain – lain. [6] [7] [8]
Terdapat penelitian yang menemukan fakta, bahwa singkong terbukti mampu menyerap bahan kimia berbahaya dari tanah. Bahan berbahaya tersebut misalnya arsenik dan kadmium. Bahan tersebut dapat menyebabkan adanya resiko terkena kanker. Konsumsi singkong berlebihan tentu saja mampu meningkatkan kadar arsenik dan kadmium yang banyak pada tubuh, sehingga mampu meningkatkan resiko tersebut. [9]
Singkong dan tapioka (tepung olahan dari singkong) merupakan makanan pokok di beberapa daerah, hal ini tentu saja mengakibatkan banyaknya jumlah konsumsi harian. Berdasarkan hal tersebut, terdapat kemungkinan terjadi kekurangan protein dan nutrisi. Selain itu juga dapat menyebabkan rakhitis dan juga gondok. [5]
Dalam singkong terdapat antinutritient atau antinutrisi, zat ini mampu mengganggu penyerapan zat gizi dalam tubuh. Zat tersebut adalah saponin, fitat, dan tanin. Saponin mengakibatkan berkurangnya penyerapan beberapa vitamin dan mineral. Antinutrisi Fitat, merupakan antinutrisi yang dapat mengganggu penyerapan magnesium, kalsium, zat besi, dan zinc. [5]
Sedangkan Tanin merupakan antinutrisi yang mampu mengurangi daya cerna protein dan mengganggu penyerapan zat besi, zinc, dan tiamin. Efek antinutrisi ini memengaruhi tubuh tentunya. Apabila singkong dikonsumsi secara berlebihan, maka akan menimbulkan resiko terkena malnutrisi. [5]
Meski tidak banyak terjadi, namun terdapat beberapa kasus reaksi alergi terhadap singkong. Orang yang memiliki alergi terhadap lateks kemungkinan dapat mengalami reaksi alergi karena reaktivitas silang. Hal ini memiliki artian bahwa tubuh seseorang salah mengartikan senyawa yang terdapat dalam singkong sebagai alergen dalam lateks, sehingga kemudian muncul reaksi alergi terhadap tubuhnya. Hal ini juga disebut sebagai latex-fruit syndrome. [5]
Anjuran batasan konsumsi singkong
Mengonsumsi makanan berkalori tinggi tentu saja tidak baik bagi tubuh. Konsumsi yang berlebihan dapat mengakibatkan penambahan berat badan dan lain – lain. Apabila berdasarkan batasan kalori harian, maka dianjurkan pula untuk tidak mengonsumsi singkong rebus lebih daripada 1,7 kg, sehingga akan memiliki kandungan kalori sebanyak 1904 kkal. Karena anjuran asupan kalori harian pada orang dewasa adalah 2000 – 2500 kkal. [4]
Oleh karena terdapat berbagai macam efek samping yang dapat terjadi akibat terlalu banyak makan singkong, maka sebaiknya menjaga diri agar tidak berlebihan dalam mengonsumsi singkong. Sebaiknya pula tidak mengonsumsi secara mentah. Lebih baik untuk membersihkan, merendam, dan memasak singkong terlebih dahulu agar dapat mengurangi dan atau menghilangkan zat – zat buruk yang ada.
[1] Kouakou, Justin, et al. Researchgate.net. Cassava: Production and Processing. 2016.
[2] Montagnac, Julie A., et al. Nutritional Value of Cassava for Use as a Staple Food and Recent Advances for Improvement. 2009.
[3] Birt, Diane F., et al. Ncbi.nlm. nih.gov. Resistant Starch: Promise for Improving Human Health. 2013.
[4] The National Health Service (NHS). nhs.uk. What should my daily intake of calories be?
[5] Ellliot, Brianna. healthline.com. Cassava: Benefits and Dangers. 2017.
[6] Franco F. T., Francisco. Pubmed.ncbi.nlm.nih.gov. Chronic poisoning by hydrogen cyanide in cassava and its prevention in Africa and Latin America. 2002.
[7] J. Hall, Michael. Pubmed.ncbi.nlm.nih.gov. The Dangers of Cassava (Tapioca) Consumption. 1987.
[8] W. Warwick, Kathy. Medicalnewstoday.com. What to know about cassava: Nutrition and toxicity. 2021.
[9] Obiri, S, et al. Pubmed.ncbi.nlm.nih.gov. Cancer and non-cancer health risk from eating cassava grown in some mining communities in Ghana. 2006.