Fetisisme adalah penggunaan benda-benda mati atau bagian-bagian tubuh selain kelamin yang dipilih sebagai cara untuk menghasilkan rangsangan seksual.
Fetisisme bisa disebut kelainan bila rangsangan dari benda-benda mati tersebut digunakan secara berulang dan intens hingga mengakibatkan gangguan atas kehidupan pelaku atau berpotensi menyakiti orang lain.
Kelainan fetisisme adalah ketertarikan seksual baik pada benda-benda mati atau bagian-bagian tubuh yang secara umum tidak dianggap seksual, serta dibarengi dengan gangguan klinis yang signifikan.
Istilah fetisisme berasal dari bahasa Portugis feitico, yang artinya menyukai sesuatu secara berlebihan. Kebanyakan orang menganggap bagian-bagian tubuh tertentu, selain kelamin, sebagai sesuatu yang menarik, dan hal ini mengindikasikan bahwa fetisisme, pada tingkat tertentu, adalah bagian normal dari seksualitas manusia. [2]
Tetapi, rangsangan fetisisme bisa menjadi masalah bila mengganggu fungsi seksual atau sosial yang normal, atau bila rangsangan seksual tidak bisa terjadi tanpa objek fetisisme.
Menurut DSM-5 (buku panduan diagnostik gangguan mental), kelainan fetisisme digambarkan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penggunaan atau ketergantungan terhadap benda-benda mati atau bagian tubuh selain kelamin (misalnya kaki) untuk mencapai rangsangan seksual. [1, 2, 3, 4]
Hanya melalui objek atau bagian tubuh ini pelaku fetisisme bisa mendapatkan kepuasan seksual.
Karena fetisisme bisa terjadi pada banyak orang yang berkembang secara normal, kondisi ini hanya didiagnosa sebagai kelainan bisa disertai dengan gangguan dan masalah sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang kehidupan lainnya. [1, 2, 3, 4]
Orang yang diidentifikasi sebagai pengidap fetisisme tetapi tidak melaporkan gangguan klinis akan dianggap mengalami fetisisme tetapi bukan dalam bentuk kelainan.
Sangat umum bagi pengidap fetisisme untuk menggabungkan benda mati dan bagian tubuh (misalnya kaki dan alas kaki) sebagai benda yang merangsang.
Pelaku biasanya mengusap, memegang, merasakan, atau mencium benda-benda tersebut untuk mendapatkan kepuasan seksual atau meminta pasangannya untuk mengenakan objek yang disukainya saat melakukan hubungan seksual.
Kelainan fetisisme lebih umum terjadi pada pria dibanding wanita, bahkan DSM-5 menyebutkan bahwa gangguan ini hampir secara eksklusif terjadi pada pria.
Fetisisme berada dalam kategori umum dari gangguan parafilia, yang merujuk pada ketertarikan seksual pada hal-hal yang dianggap tidak wajar atau ekstrem.
DSM-5 menyebutkan bahwa gangguan fetisisme bisa timbul berdampingan dengan hiperseksualitas dan jenis parafilia lainnya. Gangguan fetisisme juga bisa timbul dalam konteks gangguan syaraf, meskipun kondisi ini jarang terjadi. [3]
Parafila seperti gangguan fetisisme biasanya mulai terjadi saat pelaku memasuki usia pubertas, tetapi objek fetish bisa berkembang menjelang usia dewasa.
Masih belum diketahui penyebab pasti terjadinya gangguan fetisisme. Beberapa teori menyatakan penyebab fetisisme sebagai berikut:
Beberapa teori mengatakan bahwa fetisisme berkembang dari pengalaman-pengalaman masa kecil, dimana sebuah objek dihubungkan dengan suatu bentuk rangsangan atau kepuasan seksual yang kuat. [2]
Teori lain menyebutkan bahwa fetisisme bisa terbentuk dari kebiasaan masturbasi saat masa pubertas. [2]
Contoh-contoh penelitian tingkah laku menunjukkan bahwa seorang anak yang pernah menjadi korban atau penonton tindakan seksual yang tidak wajar mungkin akan meniru tindakan tersebut atau nantinya mengulang tindakan yang pernah dialaminya.
Contoh-contoh kompensasi menunjukkan bahwa pelaku fetisisme mungkin kekurangan kontak seksual sosial yang normal, dan karena itu mencari kepuasan melalui hal-hal yang secara sosial kurang bisa diterima.
Pada kasus-kasus yang melibatkan pria, beberapa ahli menyebutkan bahwa gangguan fetisisme bisa berasal dari keragu-raguan tentang maskulinitas dan potensi dirinya sendiri, atau takut akan penolakan dan dipermalukan.
Dengan menggunakan praktek fetisisme untuk mengendalikan benda-benda mati, menurut teori, pelaku bisa merasa aman dari kekurangan dirinya atau kemungkinan untuk ditolak dan dipermalukan. [2]
Tindakan seksual pengidap kelainan fetisisme berfokus hampir secara eksklusif pada benda-benda atau bagian-bagian tubuh fetish.
Orang dewasa yang aktif secara seksual dan tidak mengidap kelainan fetisisme, atau orang dewasa yang mengalami fetisisme sampai pada tahap wajar, bisa terangsang oleh bagian-bagian tubuh atau benda-benda tertentu tetapi tidak terikat atau ketergantungan pada hal-hal tersebut. [1, 2, 3, 4]
Menurut DSM-5, ada tiga kriteria gangguan fetisisme, dan penanda yang bisa digunakan adalah:
Penanda diagnosa gangguan fetisisme termasuk jenis stimulus yang menjadi pusat ketertarikan pelaku:
Buku DSM-5 tidak menyebutkan pilihan pengobatan untuk gangguan fetisisme.
Jika kondisi ini terjadi karena pelaku meniru atau pernah menjadi korban, maka terapi tindakan kognitif yang memanfaatkan bentuk desensitisasi sistematis, yaitu pemaparan secara bertahap terhadap benda-benda fetish, dibarengi dengan respon netral dan bukan respon seksual, bisa digunakan untuk menurunkan atau menghilangkan rangsangan seksual yang berhubungan dengan benda tersebut. [3]
Fantasi fetisisme adalah hal yang umum dan pada kebanyakan kasus tidak berbahaya. Menurut definisi DSM, fetisisme perlu diobati atau dirawat hanya jika menyebabkan gangguan dan masalah pada fungsi normal pelaku dalam berkehidupan sehari-hari.
Intensitas gangguan fetisisme serta frekuensi terjadinya dorongan dan tindakan cenderung naik-turun di sepanjang kehidupan pelaku. Akibatnya, pengobatan yang efektif biasanya harus dilakukan dalam jangka panjang.
Meskipun DSM-5 tidak menyebutkan jenis pengobatan yang spesifik, tetapi pendekatan yang telah terbukti sukses adalah termasuk berbagai bentuk terapi dan juga pemberian obat (misalnya SSRI atau terapi pengurangan androgen). [1,2]
Beberapa jenis obat yang diresepkan juga bisa membantu mengurangi pikiran-pikiran kompulsif yang berhubungan dengan gangguan fetisisme. [1, 2]
Teknik rekondisi berfokus pada umpan balik segera yang diberikan pada pasien agar tingkah lakunya bisa berubah dalam waktu singkat.
Misalnya, pasien akan dihubungkan dengan sebuah mesin feedback yang disambungkan dengan sebuah lampu, kemudian terapis akan mengajarkan teknik self-regulation agar lampu tetap bercahaya dalam rentang warna tertentu.
Pasien kemudian akan berlatih melakukan teknik tadi sambil melihat hal-hal yang merangsangnya secara seksual agar bisa mengendalikan dorongan yang timbul. [2]
1. George R. Brown , MD. Fetishism (Fetishistic Disorder). MSD Manuals; 2019.
2. American Psychiatric Association. Fetishistic Disorder. Psychology Today; 2019.
3. Meston, C. Fetishes. The Sexual Psychophysiology Laboratory; 2014.
4. Hypersexual Disorders. DSM5: Understanding Fetishistic Disorder. Elements Behavioral Health; 2013.