Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Virus terus berubah secara konstan, tak terkecuali SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19. Variasi genetik akan terjadi seiring berjalannya waktu dan dapat menimbulkan varian baru yang bisa memiliki
Pandemi COVID-19 masih belum berlalu, dan sekarang virus penyebab penyakit ini bahkan sudah tidak sama lagi dengan yang pertama kali muncul di Cina. Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa virus SARS-CoV-2 sudah mengalami mutasi sehingga semakin mudah ditularkan.
Daftar isi
Begitu SARS-CoV-2 terdeteksi di Cina akhir tahun lalu, para peneliti segera menganalisa contoh-contoh virus dari berbagai pasien kemudian melaporkan kode genetik-nya secara online agar bisa diakses secara global. [1, 2, 4]
Mutasi, yang sebagian besar berupa perubahan satu huruf antara virus yang diambil dari pasien yang berbeda, memungkinkan para peneliti untuk menelusuri penyebarannya dengan mengaitkan jenis virus yang kode genetiknya saling berdekatan.
Virus yang gen-nya berubah di dalam RNA, seperti SARS-CoV-2, HIV dan influenza, cenderung bermutasi dengan cepat saat mereka berkembang biak di dalam tubuh inangnya. Hal ini karena enzim-enzim yang menduplikasi RNA rentan membuat kesalahan. Tetapi, SARS-CoV-2 adalah yang paling stabil karena memiliki molekul “proofreader” yang mencegah terjadinya kesalahan pada RNA. [2, 3, 4]
Hingga September 2020, sudah tercatat lebih dari 12,000 mutasi pada genome SARS-CoV-2. Namun demikian, sebagian besar mutasi ini tidak berdampak pada kemampuan virus untuk menyebar atau menyebabkan penyakit, karena bentuk proteinnya tidak berubah. [1, 2, 3, 4]
Fakta ini ternyata harus dikoreksi ketika di bulan November 2020 persebaran COVID-19 di Inggris meningkat dengan sangat cepat. Berawal dari Inggris Tenggara yang mengalami peningkatan dari 100 kasus per 100,000 populasi menjadi 400 kasus dalam waktu 14 hari. [4]
Dari penelitian pada kasus-kasus baru ini ditemukan bahwa virus SARS-CoV-2 telah mengalami mutasi pada bentuk proteinnya. Varian ini diperkirakan muncul karena infeksi dalam waktu lama pada tubuh satu orang pasien, yang kemungkinan memiliki kekebalan tubuh rendah, sehingga mengakibatkan akumulasi mutasi. [4]
Kemungkinan lainnya, varian ini ada karena proses adaptasi pada suatu virus yang muncul pada spesies hewan tertentu yang bisa tertular kemudian menularkannya kembali pada manusia. Hal ini terbukti di Denmark dan Belanda, dimana sejumlah cerpelai (mink) yang diternakkan ternyata terinfeksi SARS-CoV-2 yang memiliki bentuk protein berbeda. [3, 4]
Virus yang terus menerus berubah melalui mutasi serta timbulnya varian baru adalah suatu hal yang telah diduga akan terjadi dan bukan sesuatu yang sebenarnya mengkhawatirkan.
Beragamnya jenis SARS-CoV-2 akibat evolusi dan proses adaptasi telah diawasi secara global dan telah pula diperkirakan muncul bersamaan dengan penyebaran virus secara umum, terutama pada virus-virus RNA.
Kebanyakan mutasi yang terjadi tidak akan memberikan keuntungan terhadap virus itu sendiri. Namun, beberapa mutasi atau kombinasi dari mutasi bisa membuat virus jadi lebih mudah ditularkan atau lolos dari respon kekebalan tubuh dengan mengubah struktur permukaan agar tidak dikenali oleh antibodi. [3, 4]
Penelitian atas varian baru dari SARS-CoV-2 menunjukkan bahwa ia memang menjadi lebih mudah menular, tetapi tidak menyebabkan kondisi pasien yang terinfeksi menjadi lebih parah. Namun perlu dicatat bahwa hal ini masih berdasarkan informasi yang sangat terbatas dan masih terus dalam proses penelitian. [4]
Karena hingga saat ini bukti-bukti tentang peta penyebaran virus SARS-CoV-2 varian baru ini masih sangat kurang, serta kemunculannya masih terbatas di beberapa negara atau daerah tertentu saja, maka usaha untuk mencegah dan mengendalikan penyebarannya harus tetap mengikuti langkah-langkah yang sudah terbukti efektif pada fase awal pandemi, termasuk: [4]
Secara individu, masyarakat harus tetap mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan sejak awal pandemi, yaitu:
Para peneliti masih terus mencari tahu apakah perubahan atau mutasi pada struktur virus SARS-CoV-2 akan mempengaruhi cara kerja terapi yang sudah digunakan, termasuk vaksinasi, untuk penyakit ini. Karena semua pengobatan yang saat ini sedang dikembangkan dibuat untuk melawan varian virus awal yang muncul di Cina. [3, 4]
Pengawasan ketat atas efektivitas vaksin yang sudah beredar dan digunakan harus terus dilakukan untuk melihat bagaimana efeknya terhadap COVID-19 yang masih terus berlangsung dan menyebar.
Melalui sebuah penelitian berbasis darah yang diambil dari orang-orang yang sudah sembuh dari COVID-19, baik itu akibat infeksi oleh virus baru maupun lama, ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal cara antibodi bekerja menetralkan virus. [3]
Ini adalah berita baik, karena artinya orang-orang yang sudah sembuh dari infeksi akibat virus lama mungkin tetap memiliki perlindungan terhadap virus yang baru. [3]
1. Takahiko Koyama, Daniel Platt, Laxmi Parida. Variant analysis of SARS-CoV-2 genomes. Bulletin of the World Health Organization; 2020.
2. Andrew Rambaut, Nick Loman, Oliver Pybus. Preliminary genomic characterisation of an emergent SARS-CoV-2 lineage in the UK defined by a novel set of spike mutations. Virological; 2020.
3. Brenda Goodman, MA. Study: New Mutation Sped Up Spread of Coronavirus. WebMD; 2020.
4. ECDC Team. Rapid increase of a SARS-CoV-2 variant with multiple spike protein mutations observed in the United Kingdom. European Centre for Disease Prevention and Control; 2020.