Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak Ablasi radiofrekuensi adalah prosedur invasif minimal yang dapat merusakan serabut saraf yang menghantarkan sinyal nyeri ke otak, sehingga dapat meredakan nyeri kronik pada seseorang, seperti nyeri punggung
Ablasi radiofrekuensi atau Radiofrequency Ablation (RFA) adalah prosedur yang menggunakan arus listrik untuk memanaskan atau menghancurkan sebagian kecil jaringan syaraf yang membawa sinyal nyeri ke otak.
Tindakan ini bermanfaat untuk mengobati nyeri dan kondisi kronis seperti radang sendi tulang belakang (spondylosis) dan peradangan pada sendi sakroiliaka, yang menghubungkan panggul ke tulang belakang (sakroilitis).[1,2]
Selain itu, ablasi radiofrekuensi juga dapat digunakan untuk mengobati nyeri leher, punggung, lutut, panggul dan saraf perifer.[2]
Dokter akan merekomendasikan RFA pada pasien yang memiliki kondisi, seperti:
Sakit leher dan/atau punggung yang disebabkan karena keausan pada tulang belakang
Sebelum menjalani prosedur, dokter akan meninjau riwayat kesehatan pasien dan hasil pencintraan yang telah dilakukan untuk menentukan lokasi ablasi. Bersama dengan itu, dokter akan memberikan instruksi larangan atau anjuran, seperti:[2,4]
Pasien dilarang mengonsumsi makan dan minuman setelah tengah malam sebelum prosedur, kecuali sedikit air jika diperlukan untuk minum obat pada hari prosedur.
Jika pasien menderita diabetes dan menggunakan insulin, pasien harus menyesuaikan dosis insulin pada hari prosedur. Konsultasikan dengan dokter yang menangani diabetes terlebih dahulu.
Pasien dilarang mengonsumsi obat pengencer darah seperti aspirin atau ibuprofen karena dapat meningkatkan risiko pendarahan selama prosedur
Pastikan pasien ditemani oleh kerabat atau keluarga saat dan setelah prosedur
Prosedur Ablasi Radiofrekuensi
Pada umumnya, prosedur ablasi radiofrekuensi meliputi:[2]
Pasien akan diminta untuk berbaring di meja rontgen, kemudian dokter akan memberikan anestesi lokal untuk membuat area perawatan mati rasa. Dokter juga akan memberikan obat penenang dosis rendah, seperti Valium atau Versed. Pasien harus tetap terjaga dan sadar selama prosedur untuk memberikan umpan balik kepada dokter
Dokter akan mengarahkan jarum tipis yang berlubang ke area yang menyebabkan rasa sakit dengan bantuan fluoroskop (rontgen khusus). Sebelumnya, dokter bisa jadi menyuntikkan kontras untuk memastikan lokasi jarum yang benar.
Setelah menemukan area yang tepat, arus frekuensi radio kemudian dialirkan melalui jarum berlubang untuk menciptakan luka bakar kecil, yang disebut lesi
Arus frekuensi radio menghancurkan bagian saraf yang mengirimkan rasa sakit. Setiap lesi yang dibuat membutuhkan waktu sekitar 90 detik untuk setiap lokasi
Setelah selesai prosedur, pasien dapat langsung pulang ke rumah dengan diantara oleh kerabat atau keluarga. Pasien tidak bisa mengemudi atau mengoperasikan mesin selama 24 jam dan baru bisa beraktivitas normal kembali 72 jam setelah prosedur.[2]
Pasien mungkin akan mengalami nyeri di area yang di rawat selama 14 hari, hal ini umumnya disebabkan oleh efek sisa dari ablasi saraf atau kejang otot. Untuk mengatasinya, dokter akan meresepkan pereda nyeri sehingga pasien tidak perlu khawatir.[2]
Risiko Ablasi Radiofrekuensi
Ablasi radiofrekuensi merupakan prosedur yang relatif aman dengan risiko komplikasi yang minimal. Risiko-risiko yang mungkin terjadi pada pasien setelah melakukan prosedur, adalah:[1,3]
Rasa nyeri
Neuritis, peradangan saraf perifer
Neuroma, tumor jinak yang tumbuh di saraf penghubung antara telinga dan otak
Kelemahan atau mati rasa di kaki
Infeksi
Reaksi alergi terhadap obat yang digunakan selama prosedur
1. Anonim. Radiofrequency Ablation. My.clevelandclinic; 2021.
2. Marc Orlando, MD, Sean Lynch, PA-C. Radiofrequency ablation for pain. Myfieldclinic; 2018.
3. David Kennedy, MD. Radiofrequency Ablation (RFA) for Facet and Sacroiliac Joint Pain. Spine-health; 2019.
4. Anonim. Radiofrequency Ablation. Ucsfhealth; 2021.