Banyak orang tua dengan lebih dari dua anak tidak terlalu familiar dengan istilah sindrom anak kedua.
Sindrom anak kedua atau middle-child syndrome adalah istilah populer yang berkaitan dengan keadaan psikis anak tengah [1,2,3].
Para orang tua yang memiliki anak lebih dari dua perlu mulai memahami apa itu sindrom anak kedua, di mana anak kedua biasanya merasa terabaikan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya [1,2,3].
Anak kedua kerap merasa terkucilkan dan tidak mendapatkan cukup kasih sayang maupun perhatian dari keluarganya karena seperti “harus mengalah” terhadap adik-adiknya [1,2,3].
Alfred Adler adalah seorang psikolog yang menemukan teori sindrom anak kedua ini untuk pertama kalinya [4].
Urutan kelahiran anak ditambah dengan jumlah saudara kandung si anak rupanya sangat berdampak pada pertumbuhan anak, khususnya dalam hal perkembangan psikologis, karakter, kepribadian dan potensi ke depannya [2,4].
Anak kedua disebut pula memiliki karakteristik tertentu yang sangat berbeda apabila membandingkannya dengan anak pertama maupun anak ketiga atau anak paling kecil [1,2,3,5].
Daftar isi
Sindrom anak tengah atau sindrom anak kedua masih diperdebatkan, terutama pengaruh serta kaitan antara urutan kelahiran dengan kondisi psikis serta perkembangan kepribadian anak tersebut [1,2,3,5].
Namun menurut beberapa hasil studi, pengaruh tersebut benar adanya.
Menurut sebuah hasil studi yang menganalisa data dari National Longitudinal Study of Adolescent Health menunjukkan bahwa memang terdapat keterkaitan antara urutan kelahiran memengaruhi perilaku buruk atau “kejahatan” pada anak [6].
Dibandingkan dengan anak pertama dan anak bungsu, anak kedua cenderung lebih berpotensi membuat ulah dan memiliki gangguan perilaku [6].
Meski begitu, penelitian lain membuktikan bahwa perilaku dan kepribadian beberapa anak tengah atau anak kedua tidak ada hubungannya dengan urutan ke berapa mereka dilahirkan [7].
Tiga buah hasil studi menunjukkan bahwa anak kedua memiliki hubungan yang kurang dekat dengan ibu daripada anak pertama dan anak bungsu dengan ibu mereka [4,8].
Tidak hanya dengan ibu, anak kedua cenderung memiliki jarak dalam hubungannya dengan kedua orang tua maupun anggota keluarga lainnya [4,8].
Jika anak sulung dan bungsu datang kepada orang tuanya ketika sedang menghadapi masalah dan stres, anak kedua cukup jarang dan berpotensi lebih kecil untuk mengandalkan orang tua mereka [4,8].
Dari segi karakteristik, anak kedua lebih berbeda dari sang kakak maupun adik-adiknya [1,4].
Rata-rata kebanyakan anak kedua cenderung lebih santai dalam menjalani hidup dan lebih menyenangkan [1,4].
Tidak sedikit pula dari para anak kedua yang memiliki sifat ekstrovert, tidak manja seperti para anak bungsu dan tidak pula memiliki kewajiban untuk memimpin seperti layaknya para anak pertama [1,4].
Meski demikian, seringkali anak kedua justru merasa “hilang” di dalam keluarganya dengan karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan psikologis seperti berikut [1,4].
Merasakan pengabaian dan diskriminasi yang walaupun mungkin tak disengaja oleh orang tua kerap membuat anak kedua menjaga jarak dan sulit memercayai orang tua serta anggota keluarga lainnya [9].
Hal ini dapat disebabkan oleh tidak dekatnya hubungan antara orang tua dan anak kedua sehingga membuat anak kedua tidak dapat menaruh rasa percaya dan aman yang besar [9].
Anak kedua kerap mencari dan menuntut perhatian lebih dari orang tuanya yang bisa didasarkan pada rasa cemburu [1,2,3,5].
Hal tersebut disebabkan oleh pengabaian orang tua yang mungkin tidak sengaja namun terus berlanjut dilakukan [1,2,3,5].
Padahal, perhatian dan kasih sayang adalah dua hal utama yang dibutuhkan anak dalam masa tumbuh kembangnya dari orang tua [1,2,3,5].
Terkadang, cara anak kedua dalam mencari perhatian bisa dengan ledakan kemarahan terhadap hal sepele maupun membuat ulah yang membuat pusing orang tua [1,2,3,5,6].
Sindrom anak kedua kerap kali ditandai dengan anak kedua yang merasa perlu bersaing dengan kakak maupun adiknya; hal ini juga dapat dihubungkan dengan rasa cemburu yang dimiliki anak [1,2,3,5].
Tidak hanya menganggap saudara kandung sebagai saingan untuk memperoleh perhatian dan kasih sayang orang tua, hal ini bisa berlanjut hingga sang anak tumbuh dewasa dan menganggap saudaranya sebagai saingan dalam berbagai hal [1,2,3,5].
Apabila tidak ada penyelesaian, sindrom anak kedua ini bisa membuat hubungan antar saudara tidak sehat [1,2,3,5].
Jika anak bungsu kerap dimanja dan memperoleh perhatian lebih besar dari orang tua maupun anggota keluarga lainnya, anak sulung biasanya adalah yang paling berkuasa dan bertanggung jawab [2].
Sementara itu, anak tengah atau anak kedua terkesan memiliki peran lebih kecil dibandingkan kedua saudaranya [2].
Karena peran lebih besar pada anak sulung dan bungsu, anak tengah cenderung lebih sensitif maupun pendiam [2].
Anak kedua atau anak tengah kerap tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang semestinya dari orang tua, hal ini menyebabkan anak merasa tidak dicintai, dikucilkan, dan didiskriminasi [1,2,3,5].
Penghargaan terhadap dirinya sendiri dapat menjadi rendah sehingga berpotensi meningkatkan risiko masalah psikologis lain [1,2,3,5].
Peran orang tua sangat penting dalam membuat sindrom anak kedua teratasi dengan baik, seperti melakukan beberapa tindakan ini [1,2,3,5].
Apabila sindrom anak kedua tidak mudah diatasi secara mandiri, orang tua dapat membantu anak memperoleh terapi untuk mengembalikan penghargaan diri serta kepercayaan dirinya.
1. Kristen Fuller MD & Suzanne Degges-White PhD, LCPC, LPC, LMHC, NCC. Middle Child Syndrome: What it Is & 10 Characteristics. Choosing Therapy; 2022.
2. Katharine Chan, MSc, BSc, PMP & Rachel Goldman, PhD, FTOS. Is Middle Child Syndrome Real?. Verywell Mind; 2023.
3. Carly Werner. Birth Order and Personality: The Science Behind Middle Child Syndrome. Healthline; 2023.
4. Pilar Horner, Fernando Andrade, Jorge Delva, Andy Grogan-Kaylor, & Marcela Castillo. The Relationship of Birth Order and Gender with Academic Standing and Substance Use Among Youth in Latin America. Journal of individual psychology; 1998.
5. Jessica Schrader & Meri Wallace LCSW. Middle Child Syndrome. Psychology Today; 2020.
6. Patrick R. Cundiff. Ordered Delinquency: The “Effects” of Birth Order On Delinquency. Personality and Social Psychology Bulletin; 2014.
7. Julia M. Rohrer, Boris Egloff, & Stefan C. Schmuklea. Examining the effects of birth order on personality. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America; 2015.
8. Martin Daly & Catherine A. Salmon. Birth Order and Familial Sentiment: Middleborns are Different. Evolution and Human Behavior; 1998.
9. Single Parent Center. Dealing With The Effects Of Middle Child Syndrome. Single Parent Center; 2017.