Di dunia ini terdapat berbagai macam sindrom yang merujuk pada kondisi gangguan kesehatan fisik.
Namun sebenarnya, ada sejumlah sindrom yang tidak berhubungan dengan kondisi fisik, tapi justru menggambarkan kondisi jiwa atau mental seseorang.
Salah satu sindrom yang dimaksud adalah sorry syndrome, yakni sindrom terlalu sering meminta maaf [1,2,3,4].
Pernah menjumpai orang-orang yang menyatakan permintaan maaf secara berulang kali padahal untuk sesuatu yang bukan karena kesalahan mereka? [1,2,3,4]
Atau, mungkin diri kita sendiri yang demikian di mana selalu meminta maaf padahal tidak melakukan kesalahan apapun pada orang lain? [1,2,3,4]
Hal ini adalah sindrom maaf atau sorry syndrome; ketahui lebih jauh mengenai sebab, ciri-ciri, cara mengatasi sindrom ini, maupun cara menghadapi orang yang memiliki sindrom ini [1,2,3,4].
Daftar isi
Seseorang yang terus-menerus meminta maaf kepada orang lain, khususnya lawan bicaranya, padahal tidak melakukan suatu kesalahan dapat didasari oleh beberapa kemungkinan faktor berikut ini.
Meminta maaf untuk suatu hal yang bukan merupakan kesalahan kita dan permintaan maaf dilakukan berulang kali bisa jadi disebabkan oleh ketergantungan kita terhadap orang lain [2].
Alasan karena tidak ingin orang-orang di sekitar tidak meninggalkan kita adalah hal yang paling umum terjadi [2].
Biasanya, ketergantungan terhadap orang lain seperti ini dipicu oleh masa kecil yang tidak memperoleh dukungan dan kasih sayang orang tua secara penuh [2].
People pleaser adalah istilah yang tepat untuk kasus ini; karena rasa ingin membuat orang lain selalu senang, kita cenderung suka meminta maaf bahkan untuk hal-hal yang bukan kesalahan kita [2,5].
Ketidakinginan agar orang lain tidak merasa buruk adalah suatu niat yang baik [2,5].
Namun ketika diri sendiri selalu berusaha menyenangkan orang lain dan supaya orang lain tersebut terus menyukai kita, kita lambat laun akan kehilangan diri sendiri [2,5].
Ketidakpercayadirian juga dapat menjadi alasan mengapa seseorang cenderung mudah dan terlalu sering minta maaf walaupun suatu hal terjadi bukan karena kesalahannya [2,3].
Seseorang yang tidak percaya diri akan mudah merasa bahwa dirinya yang bersalah ketika suatu permasalahan terjadi, lalu ia akan minta maaf dan mengucilkan diri sendiri [2,3].
Alasan seseorang minta maaf terus-menerus juga bisa dikarenakan ia ingin menghindari suatu konflik [2,6].
Dengan minta maaf lebih dulu tanpa berada pada posisi yang salah, hal ini diyakini sebagai langkah penghindaran dari konflik [2,6].
Minta maaf adalah suatu bentuk tindakan yang dapat membuat seseorang merasa aman dan nyaman [2,6].
Namun perlu diketahui bahwa penghindaran konflik yang menyebabkan seseorang mudah minta maaf menandakan bahwa diri orang tersebut memiliki trauma masa lalu yang belum beres [2,6].
Tumbuh besar di tengah lingkungan yang penuh kekerasan adalah bentuk pengalaman buruk masa lalu yang bisa menjadi dasarnya [2,6].
Beberapa orang meyakini bahwa dirinya adalah penyebab hal buruk bisa terjadi [2].
Hal ini berkaitan dengan pengalaman buruk di masa lalu, khususnya pada masa kanak-kanak sehingga menyebabkan orang-orang tersebut memiliki sorry syndrome [2].
Orang-orang seperti ini tumbuh dewasa dengan rasa rendah diri dan citra diri yang rendah, selalu merasa patut disalahkan untuk semua hal yang terjadi [2].
Pada sorry syndrome, tanda utama bahwa seseorang memiliki sindrom ini adalah kecenderungan terlalu sering meminta maaf [1,2,3,4,5,6].
Bahkan untuk hal yang terjadi bukan karena kesalahan orang tersebut, ia akan sangat mudah berulang kali minta maaf [1,2,3,4,5,6].
Wanita disebut memiliki risiko mengalami sorry syndrome lebih tinggi daripada pria [2,4].
Berikut adalah ciri-ciri yang perlu dipahami untuk mengenali apakah seseorang mengalami sorry syndrome [1,2,3,4,5,6] :
Bila diri sendiri merasa memiliki sorry syndrome, begini cara menghadapi dan meredakannya :
Pikiran-pikiran negatif kerap menjadi pemicu diri sendiri merasa bersalah dan berakhir meminta maaf terus-menerus.
Maka saat pikiran negatif timbul dan kita dapat mengenali itu, segera ubah pikiran tersebut menjadi pikiran lebih positif dan rasional.
Bila suatu hal terjadi di luar kendali kita, evaluasi situasi dan kejadian tersebut lebih dulu sebelum menyatakan permintaan maaf.
Caranya adalah dengan berpikir dan bertanya kepada diri sendiri apakah minta maaf benar-benar diperlukan dan apa alasan untuk meminta maaf.
Menggunakan kata “terima kasih” sebagai respon apresiasi daripada “maaf” sebagai respon penyesalan sangat dianjurkan.
Tidak hanya diri sendiri merasa jauh lebih baik dan kebiasaan minta maaf berkurang, ini juga menjadi bentuk menghargai lawan bicara kita.
Mungkin kita pernah bertemu dengan orang-orang yang mengidap sorry syndrome.
Baik orang terdekat atau orang yang kita kenal biasa, bantu mereka untuk meredakan sorry syndrome tersebut melalui sejumlah cara ini.
Orang-orang yang bukan pengidap sorry syndrome akan menganggap permintaan maaf orang lain terhadap hal-hal kecil sebagai suatu yang tidak wajar.
Namun dalam hal ini, sangat dianjurkan agar tidak mengabaikan atau meremehkan permintaan maaf orang yang diduga memiliki sorry syndrome.
Tetap memberi respon yang baik dan secara empatik melalui kalimat validasii dan kata terima kasih akan membantu kondisi emosional orang tersebut.
Permintaan maaf terlalu sering bisa membuat beberapa orang normal jengkel.
Namun, tidak ada salahnya untuk belajar memahami dan menempatkan diri kita di posisi orang-orang pengidap sorry syndrome.
Beri dukungan moral dan perhatian penuh saat mereka sedang berbicara dengan kita.
Dukungan moral yang dimaksud pun bisa dalam bentuk apresiasi terhadap usaha dan keberaniannya dalam menghadapi sindrom tersebut.
Bila memang menemukan sosok pengidap sorry syndrome yang meminta maaf berulang atas kejadian yang bukan kesalahan mereka, segera ingatkan mereka untuk tidak perlu minta maaf.
Tidak perlu dengan nada membentak atau memarahi, cukup beri tahu secara lembut tapi tegas untuk mereka tidak usah merasa bersalah atas hal yang terjadi.
Ketika sorry syndrome sudah terlalu sulit dikendalikan dan pikiran negatif semakin berkembang menjadi lebih buruk, segera ke psikolog untuk bantuan dan solusi lebih tepat.
1. Higher Echelon. Are You Apologizing Too Much? You May Have ‘Sorry Syndrome’. Higher Echelon; 2021.
2. Chloe Parpworth-Reynolds. What Is Sorry Syndrome? Plus 7 Signs You May Have It. Subconscious Servant; 2023.
3. Ninette Hupp. Sorry I Keep Apologizing: How to End the Habit of Sorry Syndrome and be More Impactful with Your Words. eM Life; 2020.
4. Tracy Hooper. The Sorry Syndrome. LinkedIn; 2017.
5. Anjaan. The ‘Sorry Syndrome’ and how to get over it. Khaleej Times; 2022.
6. Sara Minges. 4 Reasons to Kick "Sorry Syndrome" to the Curb!. LinkedIn; 2019.