Banyak orang tua menerapkan disiplin pada anak sejak usia dini. Disiplin merupakan cara kita membantu anak untuk mempelajari perilaku yang baik, sehingga anak dapat bertindak dengan semestinya serta mengembangkan keterampilan yang bermanfaat[1].
Kurangnya disiplin dapat membuat anak merasa tidak aman dan orang tua merasa lepas kendali. Sementara, terlalu banyak disiplin negatif, dan kurangnya pujian dan penghargaan dapat membuat anak bertingkah baik atas dasar rasa takut[1].
Untuk mengajarkan disiplin pada anak, orang tua memerlukan kesabaran dan waktu. Selain itu, orang tua perlu memilih pendekatan yang tepat, terutama karena setiap anak memiliki karakter masing-masing[1].
Berikut beberapa cara untuk mengajarkan disiplin pada anak:
Daftar isi
Setiap anak memerlukan perhatian. Jika orang tua tidak memberikan perhatian positif sesuai yang dibutuhkan, maka anak akan mulai mencari cara menarik perhatian, bahkan perhatian negatif. Anak akan memaksa orang tua memperhatikan dengan melakukan perilaku negatif seperti bertingkah nakal[2].
Memperhatikan anak bukan berarti harus selalu menemaninya sepanjang hari. Idealnya, orang tua meluangkan beberapa waktu untuk dihabiskan bersama anak. Misalnya menghabiskan 10 menit satu atau dua kali setiap hari menemani anak bermain di sore hari atau menemani anak saat belajar [2].
Orang tua juga sebaiknya mendengarkan anak sehingga ia bisa menyampaikan pikiran dan perasaannya. Biarkan anak menyelesaikan ceritanya sebelum membantu mengatasi masalah[3].
Dengan membiasakan mendengarkan dan membiarkan anak menyampaikan pikirannya, anak akan mengerti bahwa orang tua akan memberikan perhatian saat dia membicarakannya dengan baik-baik. Sehingga anak tidak perlu mencari cara negatif untuk menarik perhatian[3].
Anak dapat berkembang dengan lebih baik ketika memiliki struktur dan mengetahui batasan. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya menetapkan aturan yang jelas dan konsisten[3].
Orang tua juga sebaiknya memberikan penjelasan sesuai usia anak mengenai peraturan dan batasan yang ditetapkan. Anak perlu memahami mengenai batasan yang ditetapkan dan alasannya, misalnya mengapa tidak boleh berlari-lari di dalam rumah[3].
Untuk menghindari anak merasa kesulitan, orang tua tidak perlu membuat terlalu banyak aturan. Bergantung usia anak, orang tua dapat mulai dengan menetapkan beberapa aturan untuk ditaati anak. Untuk anak yang masih kecil, sebaiknya aturan dikenalkan satu per satu agar anak tidak merasa terbebani[1, 2].
Orang tua dapat mengajarkan anak untuk menerapkan aturan yang dianggap lebih penting. Misalnya seperti memakan sayuran tanpa pilih-pilih dan merapikan kembali mainan ke tempatnya[2].
Anak usia tiga tahun dapat membantu membuat peraturan dan diajak berdiskusi mengapa aturan tersebut diperlukan. Orang tua sebaiknya meluangkan waktu untuk memberikan penjelasan sehingga dapat dipahami oleh anak[1].
Jika anak tidak mengikuti aturan, maka orang tua dapat menjelaskan dengan tenang dan tegas mengenai konsekuensi yang diperoleh. Misalnya jika anak tidak mau merapikan mainannya, maka orang tua akan mengambil mainan tersebut dan anak tidak boleh memainkannya selama sisa hari[3].
Orang tua perlu bersikap tegas saat memberikan konsekuensi setiap kali anak melanggar aturan. Artinya tidak boleh menarik kembali konsekuensi yang diberlakukan setelah beberapa saat, bahkan jika anak terus merengek[3].
Konsekuensi yang diberikan pada anak sebaiknya bersifat logis. Dengan kata lain, konsekuensi tersebut berkaitan secara spesifik dengan peraturan yang dilanggar. Sebagai contoh, jika akan tidak mau makan, maka anak juga tidak akan mendapatkan cemilan yang digemari[4].
Konsekuensi logis merupakan cara yang baik untuk membantu anak yang kesulitan dengan masalah perilaku spesifik[4].
Pada situasi tertentu, orang tua juga dapat menerapkan konsekuensi alami yang memungkinkan anak untuk belajar dari kesalahannya sendiri. Misalnya membiarkan anak bermain di luar saat hujan karena tidak mau menurut saat diminta masuk rumah. Dengan demikian, anak akan mengerti mengapa ia tidak boleh main diluar saat tubuhnya menjadi kedinginan akibat air hujan[4].
Namun cara ini hanya bisa digunakan saat orang tua dapat memantau situasi dan memastikan bahwa anak tidak akan menghadapi bahaya akibat tindakannya[4].
Dibandingkan memberikan hukuman, mengabaikan kenakalan kecil anak dapat lebih efektif dalam mengajarkan disiplin. Saat anak mencoba mendapatkan perhatian dengan mengeluh atau melakukan kenakalan kecil, orang tua sebaiknya mengabaikan dan tidak meresponnya[4].
Kemudian saat anak menyampaikan secara baik-baik mengenai apa yang diinginkan, berikan perhatian untuk memenuhi keinginannya. Seiring waktu, anak akan belajar bahwa ia dapat memperoleh perhatian dengan dengan berperilaku baik[4].
Sebaliknya, jika orang tua merespon pada setiap kenakalan kecil, maka anak akan cenderung mengulangi tindakan nakal tersebut karena menganggapnya efektif untuk mendapatkan perhatian orang tua[4].
Sebagaimana anak perlu mengetahui saat ia berperilaku buruk, anak juga perlu mengetahui saat ia berperilaku baik. Tujuan dari mengajarkan disiplin bukan sekedar mencegah anak dari berperilaku buruk, namun juga mengajarkan dan mengarahkan anak untuk berperilaku baik[2].
Memberikan penghargaan saat anak menunjukkan perilaku yang baik merupakan salah satu cara yang efektif untuk menerapkan disiplin pada anak. Penghargaan dapat berupa hal-hal sederhana mulai dari memberikan makanan yang disukai anak, menemaninya melakukan kegiatan yang diinginkan, atau sekadar memberikan pujian[4].
Penghargaan dan pujian dapat membuat anak lebih termotivasi untuk berperilaku dengan baik. Setelah mendapat penghargaan, anak akan lebih fokus untuk meningkatkan perilaku baik. Dengan demikian tingkat perilaku buruk anak juga akan berkurang[4].
Salah satu masalah utama dari penerapan disiplin yang dilakukan dengan memberikan hukuman ialah karena hukuman tidak mengajarkan anak cara untuk berperilaku baik. Misalnya orang tua memarahi atau menghukum saat anak menjadi rewel karena merasa marah atau terganggu. Hal ini tidak akan membuat anak mengerti bagaimana dia sebaiknya menenangkan diri saat marah[4].
Anak dapat diuntungkan dari mempelajari cara menyelesaikan masalah, mengendalikan emosi dan kompromi. Dengan mengajarkan keterampilan-keterampilan tersebut, perilaku buruk anak akan dapat dikurangi[4].
Terkadang anak melakukan tindakan nakal atau berperilaku kurang baik karena merasa bosan atau tidak tahu hendak melakukan apa. Kita bisa mengatasinya dengan cara mengarahkan anak untuk melakukan aktivitas lain[3].
Misalnya, orang tua bisa membawa mainan atau membiarkan anak bermain game di ponsel saat berada di ruang tunggu. Cara ini akan mengalihkan anak dari kejenuhan serta menghindari anak menjadi marah dan rewel[3].
Time-out atau menghentikan sementara kegiatan yang sedang dilakukan dapat menjadi opsi yang lebih baik dan efektif sebagai hukuman saat anak berperilaku buruk. Saat dilakukan dengan benar, time out dapat mengajarkan anak cara untuk menenangkan diri[4].
Orang tua dapat memberlakukan time out saat anak melanggar aturan tertentu. Anak dapat dipanggil dan diminta menghentikan kegiatannya, lalu diingatkan mengenai perilaku yang salah[3, 4].
Misalnya saat anak tidak mau menelan makanannya karena terlalu fokus pada mainan. Maka orang tua dapat mengambil mainan tersebut dan membuat anak berhenti memainkannya selama time out sambil mengingatkan anak untuk mengunyah dan menelan makanan di mulut.
Selain memberikan waktu bagi anak untuk menenangkan diri dan merenungkan perilakunya, time out merupakan alternatif yang lebih baik daripada memberikan hukuman fisik, seperti memukul. Hal ini karena anak yang cenderung belajar dari menirukan orang lain, akan menganggap hukuman fisik sebagai hal yang boleh dilakukan. Sehingga anak akan menerapkannya pada orang lain, misalnya memukul teman atau saudara[4].
Agar time out dapat berfungsi dengan efektif, anak perlu menghabiskan waktu positif dengan orang tua. Maka saat anak dipindahkan dari situasi tertentu selama time out, ia dapat belajar untuk mengendalikan diri, mengekspresikan emosi dengan sesuai, dan membuat pilihan yang berbeda di lain waktu[4].
Anak-anak dapat belajar dari mengamati apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Menunjukkan cara berperilaku baik dalam berbagai situasi dapat membantu anak untuk mempelajari dan menirunya[1].
Misalnya untuk membiasakan anak duduk saat makan, orang tua dapat memberikan contoh dengan duduk bersama keluarga saat makan. Dengan memberikan teladan secara langsung, anak dapat mengerti perilaku yang tepat[1].
Kecenderungan anak meniru teladan juga berlaku untuk perilaku buruk. Oleh karena itu, orang tua juga harus menghindari perilaku buruk ataupun berkata kasar, termasuk saat anak melakukan kenakalan[1].
Misalnya jika anak dengan sengaja menumpahkan makanan ke lantai, maka orang tua sebaiknya tetap tenang saat menegur dan memberitahukan anak bahwa ia tidak seharusnya menumpahkan makanan. Usahakan untuk memberikan teguran yang singkat dan sederhana, tanpa disertai reaksi berlebihan[1].
1. Anonim. Discipline and guiding behaviour: babies and children. Raising Children; 2020.
2. Amy McCready. How To Discipline Your Child: Top 3 Positive Parenting Techniques. Positive Parenting Solutions; 2021.
3. Anonim. What’s the Best Way to Discipline My Child? Healthy Children; 2018.
4. Amy Morin, LCSW, reviewed by Ann-Louise T. Lockhart, PsyD, ABPP. 8 Ways to Discipline Your Child Without Spanking. Very Well Family; 2020.