Orang dengan kepribadian masokis lebih mengutamakan keperluan orang lain dibandingkan dirinya sendiri[1].
Masokis cenderung keras terhadap diri sendiri, menahan diri dari membenci orang lain, dan bekerja secara berlebihan[2].
Daftar isi
Masokis yaitu orang-orang yang mengalami masokisme. Masokisme didefinisikan sebagai perasaan menikmati rasa sakit dan kesulitan[3, 4].
Struktur kepribadian masokistik disebut juga sebagai kepribadian merugikan diri (self-defeating personality). Menurut DSM III, gangguan kepribadian merugikan diri merupakan pola yang dapat meliputi perilaku merugikan diri, dimulai pada awal usia dewasa dan terdapat dalam berbagai konteks[5].
Dari perspektif psikologis, perilaku merugikan diri yang dimiliki seorang masokis sering kali dilakukan oleh diri sendiri terhadap dirinya sendiri pula. Dengan kata lain, masokis menimbulkan rasa sakit dan penghinaan pada diri mereka sendiri[1].
Masokis tidak sama dengan sadomasokisme seksual, yang mana merupakan dua perilaku yang termasuk masalah seksual yang disebut paraphilia. Sadisme ialah kepuasan seksual atau gratifikasi dalam menimbulkan rasa sakit dan penderitaan terhadap orang lain[1, 6].
Berkebalikan dari sadisme, masokisme merupakan kepuasan seksual atau gratifikasi dari mengalami rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan pada dirinya, sering kali meliputi fantasi seksual atau dorongan untuk dipukul, dilecehkan, diikat, disiksa, atau hal lain yang membuatnya menderita, sekaligus sebagai peningkatan atau pengganti kepuasan seksual[6].
Masokis memiliki kebiasaan atau kecenderungan untuk membenci dirinya, memiliki anggapan bahwa ia tidak layak untuk dicintai dan tidak berharga. Sehingga masokis rentan untuk melakukan penghancuran diri, menghukum diri sendiri, dan perilaku merugikan diri sendiri[7].
Prevalensi dari bentuk paraphilia berupa masokisme seksual tidak diketahui. Sebuah data dari survei di Australia menemukan bahwa 2,2% laki-laki dan 1,3% wanita dilaporkan terlibat masokisme dan/atau sadisme seksual dalam 12 bulan terakhir[8].
Salah satu akar dari munculnya struktur kepribadian masokis berasal dari ‘perang kehendak’ antara anak dan orang tua.
Terkadang orang tua menuntut kepatuhan dan pemenuhan harapan berlebih, sehingga tidak ada ruang bagi anak untuk mengekspresikan pendapat dan keinginannya sendiri[2].
Anak dapat merasa perlu mencapai sesuatu agar dicintai oleh orang tuanya. Beberapa kasus ekstrim dapat melibatkan kekerasan, pelecehan, atau mengancam akan menghukum atau meninggalkan si anak jika tidak sesuai harapan orang tua[2].
Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi demikian dapat mengembangkan keinginan untuk membalas orang tua, tapi tidak mampu melakukannya. Perilaku intrusif dari orang tua dapat menjadi suara internal yang berupa kritik terhadap diri sendiri[2].
Anak dapat menjadi terbiasa untuk mementingkan orang lain dan mengabaikan keinginan mereka sendiri. Masokis cenderung menyalahkan diri sendiri dan merasa perlu menghukum dirinya[2, 9].
Berikut beberapa gejala yang dialami orang dengan kepribadian masokis[2, 5]:
Orang dengan masokis juga dapat memiliki beberapa karakter berikut[1]:
Masokis dapat merasakan bahagia dan memiliki kemampuan sosial, akan tetapi mereka menghindar atau merusak pengalaman menyenangkan. Mereka tidak mengakui kesenangan, mencari kesulitan, derita, dan kesakitan dalam hubungan dan situasi[7].
Sebagai orang dewasa, masokis dapat menjadi sangat patuh, kehilangan kreativitas, dan memilih pekerjaan yang menuntut tapi membosankan[2].
Orang dengan kepribadian masokis berpotensi mengembangkan perilaku yang merusak diri. Perilaku merusak diri yaitu tindakan yang dipastikan dapat menyebabkan bahaya pada diri sendiri, baik secara emosional atau fisik[7, 10].
Berikut beberapa contoh perilaku merusak diri[10]:
Menurut DSM-III-R, masokis atau gangguan kepribadian merugikan diri dicirikan dengan kriteria berikut[1]:
Orang dengan kepribadian masokis memiliki kecenderungan aneh untuk menyakiti diri sendiri, mengakumulasi kemunduran dan frustasi.
Pasien sering kali menolak perawatan karena mereka merasa perlu untuk menjadi penurut terhadap orang lain. Sehingga mereka menggunakan skema kekalahan dan membuat intervensi psikologis lebih lama dan sulit dilakukan[1].
Sebaiknya pasien segera menemui psikiater jika mengenali gejala masokis pada dirinya dan merasa bahwa beberapa karakteristik masokis mengganggu hidupnya dan perlu diubah.
Psikiater atau terapis dapat memberikan perawatan sesuai kebutuhan masing-masing pasien dengan mempertimbangkan frekuensi dan tingkat keparahan gejala yang dialami[10].
Terapi untuk penanganan gangguan kepribadian masokis dapat berupa terapi bicara atau terapi perilaku.
1. Terapi Bicara
Terapi dapat membantu memahami pola dari masa lalu yang bersifat merugikan dan merusak diri.
Melalui kesadaran pada masa lalu, pasien akan dibantu membuat pilihan sadar pada masa kini dan dapat mewaspadai pemicu gangguan[2].
2. Terapi Perilaku
Terapi perilaku dapat membantu pasien untuk mewaspadai pemicu gangguan dan cara merespon dengan cara yang tidak merugikan diri[10].
Terapi perilaku dapat meliputi beberapa langkah berikut[2]:
Perubahan dalam hidup dapat menimbulkan ketakutan tersendiri. Terapis dapat membantu menemukan strategi untuk menangani kecemasan.
Selain itu terapis dapat menjadi tempat yang aman di mana pasien dapat membicarakan hal yang sebenarnya dirasakan tanpa takut akan dihukum.
Memahami kritikan dalam diri dapat menjadi langkah pertama untuk menanganinya dan menghentikannya dari merusak hidup pasien.
Pasien dapat dibantu untuk memahami keinginan kritik dalam dirinya, apa pemicunya dan suara milik siapa kritikan itu.
Pasien dapat dibantu untuk mengambil alih perasaan dan emosinya serta bertindak tanpa menyalahkan orang lain untuk apa yang dirasakannya.
Hal ini termasuk berhubungan dengan kemarahan pasien mengenai apa yang terjadi di masa kecil atau masa lalu, dan menemukan cara konstruktif untuk mengekpresikannya.
Terapis dapat membantu pasien untuk melalui kesedihan dan rasa sakit dari luka yang diperoleh dari masa lalu pasien.
Merasa sedih dan terluka karena hal yang tidak sesuai yang diharapkan atau karena kasih sayang yang tidak didapatkan adalah hal yang normal.
Namun mencoba melaluinya dan mengizinkan luka itu untuk pulih dapat merupakan hal yang menyakitkan. Terapis dapat membantu pasien berduka atas masa lalu sehingga dapat membebaskannya untuk hidup sesuai pilihan.
Gangguan kepribadian masokis diduga dipicu oleh tekanan dari orang sekitar ketika masa perkembangan anak-anak. Sehingga upaya pencegahan masokis memerlukan peran serta dari orang tua dan orang-orang terdekat[2].
Orang tua hendaknya memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri dan memberi dukungan alih-alih menuntut kepatuhan.
Selain itu, membiasakan memberikan dorongan mental saat anak mengalami kegagalan atau kesulitan dapat anak dapat belajar menghargai diri mereka[2].
1. Anonim. Self-Defeating Personality Disorder. Exploring Your Mind; 2020.
2. Karen Dempsey. Are You A Masochist? Here’s How to Tell … And What to Do about It. The Awareness Centre; 2020.
3. Christina Sagioglou. Common, Nonsexual Masochistic Preferences are Positively Associated with Antisocial Personality Trairs. Journal of Personality; 2019.
4. Mike Bundrant. 15 Signs of Emotional Masochism. Blogs Psych Central; 2017.
5. Dave Kelly. Masochistic Personality Disorder. Personality Types; 2012.
6. Anonim. Sadomasochism. Psychologist Anywhere Anytime; 2020.
7. Sam Vaknin, reviewed by Harry Croft, MD. Masochistic Personality Disorder. Healthy Place; 2018.
8. George R. Brown, MD. Sexual Masochism Disorder. MSD Manual, Professional Version; 2019.
9. Colin Klein. 2014. The Penumbral Theory of Masochistic Pleasure. Review of Philosophy and Psychology; 2014.
10. Ann Pietrangelo, reviewed by Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP. Understanding Self-Destructive Behavior. Healthline; 2020.