Penyakit & Kelainan

Sindrom Stockholm : Penyebab – Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Sindrom Stockholm adalah suatu respon psikologis yang dikaitkan dengan situasi penculikan atau penyanderaan. Seseorang dengan sindrom Stockholm mengalami perasaan positif terhadap penculik atau penyandera

Apa Itu Sindrom Stockholm?

Sindrom Stockholm atau Stockholm syndrome merupakan istilah untuk kondisi gangguan psikologis yang dialami oleh korban kejahatan, khususnya penculikan atau penyanderaan, yang kemudian justru bersimpati atau bahkan jatuh cinta kepada sang pelaku [1,2,3,4,5,6,7,15,16].

Jika pada umumnya, seorang korban penculikan atau kekerasan akan mengalami trauma dan merasa ketakutan terhadap sang pelaku, penderita sindrom Stockholm mengalami perasaan atau emosi yang sebaliknya [1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16].

Tinjauan
Sindrom Stockholm adalah gangguan psikologis yang dialami korban tindak kriminal di mana korban justru memiliki rasa simpati, reaksi positif, dan rasa sayang terhadap pelaku.

Fakta Tentang Sindrom Stockholm

  1. Nils Bejerot, seorang ahli kriminal memperkenalkan istilah sindrom Stockholm untuk pertama kalinya [1,2].
  2. Sindrom ini disebut dengan sindrom Stockholm karena bermula dari sebuah peristiwa penyanderaan Bank Swedia Kreditbanken tahun 1973 di Stockholm, Swedia [1,2].
  3. Pada kejadian penyanderaan bank di Swedia tersebut, terdapat 4 orang pegawai bank yang menjadi korban penyanderaan selama 6 hari oleh sang pelaku, Olsson dan Olofsson di mana kedua pria ini adalah pria bersenjata [1,2].
  4. Sindrom Stockholm bermula dari sana karena ketika pihak keamanan melakukan penyelamatan terhadap korban justru terjadi suatu hal yang unik, kedua penyandera justru mendapat pembelaan dari keempat korbannya [1,2].
  5. Para korban sandera bahkan masih berupaya menyelamatkan dan membebaskan kedua pelaku usai mereka dijatuhi hukuman penjara dengan membayarkan denda yang pengadilan putuskan di mana uang ini pun adalah hasil penggalangan dana keempat korban [1,2].
  6. Menurut kabar, salah seorang korban sandera yang semula sudah memiliki kekasih justru meninggalkan kekasihnya supaya bisa bersama dengan salah satu pelaku penyanderaan [1,2].
  7. Para psikolog dan ahli kesehatan mental kemudian menyebut kondisi yang terjadi pada para korban penyanderaan tersebut sebagai sindrom Stockholm karena para korban justru memiliki keterikatan secara emosional dengan pelaku [1,2].
  8. Meski istilah sindrom Stockholm sendiri sudah mulai populer dan bukan hal asing, para ahli kesehatan mental belum dapat menggunakan edisi terbaru DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, yakni panduan kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa pasien dengan gejala gangguan mental [4,5].
  9. Prevalensi sindrom Stockholm adalah sekitar 8% dari seluruh peristiwa penyanderaan, meski demikian masih banyak kasus sindrom Stockholm yang tidak terdata [3].

Penyebab Sindrom Stockholm

Jika pada umumnya korban penyanderaan, kejahatan atau penculikan akan takut atau bahkan merasakan kebencian terhadap sang pelaku, tentu hal ini dianggap normal.

Selama penyanderaan terjadi, pelaku seringkali menunjukkan sikap dan perlakuan keji dan kasar.

Hanya saja timbulnya rasa simpati dan kasih sayang dari para korban terhadap sang pelaku biasanya disebabkan oleh sikap dan perlakukan pelaku yang berbanding terbalik dari penyandera-penyandera pada umumnya [7].

Sejumlah faktor yang mampu menjadi alasan atau pemicu seseorang dapat mengalami sindrom Stockholm terlepas dari situasi yang telah ia alami adalah [1,4,5,6,7] :

  • Korban merasa pelaku penyanderaan memiliki sisi baik, terutama jika pelaku tidak menyakiti apalagi membunuh mereka.
  • Penyanderaan terjadi selama beberapa hari atau lebih dari itu sehingga korban maupun pelaku terbiasa dengan satu sama lain.
  • Korban merasa pelaku selama penyanderaan memperlakukan mereka dengan baik.
  • Korban awalnya bersikap baik terhadap pelaku supaya ia tidak diperlakukan kejam dan nyawanya selamat, namun kemudian perasaan takut, waspada dan pura-pura ini berubah dan berkembang menjadi kebiasaan dan jatuh cinta.
  • Korban dan pelaku penyanderaan dapat mengamati satu sama lain dengan sudut pandang berbeda, terutama ketika kedua pihak berada dalam proses penyanderaan dalam waktu lama dan dalam situasi terisolasi di sebuah ruangan atau tempat tanpa adanya pihak-pihak lain.
  • Adanya tekanan situasi yang sama antara korban dan pelaku ketika berada di suatu tempat atau ruang tempat berlangsungnya penyanderaan.
Tinjauan
Sindrom Stockholm dapat terjadi pada penderitanya ketika ia berhasil melihat sisi baik pelaku, terutama karena berada di dalam satu ruangan terisolasi yang sama dalam waktu yang lama.

Gejala Sindrom Stockholm

Sindrom Stockholm terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami tindak kejahatan, terutama umumnya penyanderaan.

Gejala-gejala utama sindrom Stockholm antara lain adalah [4,5,6] :

  • Korban penyanderaan atau tindak kejahatan membela pelaku dan memiliki reaksi serta perasaan yang positif terhadap pelaku.
  • Korban penyanderaan atau tindak kejahatan akan menolak untuk bekerja sama dengan pihak berwajib atau pihak berwenang yang hendak menyelamatkan mereka; bahkan mereka akan mencoba melindungi pelaku apabila pihak kepolisian melawan serta menangkap pelaku.
  • Korban penyanderaan atau tindak kejahatan merasa bahwa mereka memiliki nilai-nilai dan tujuan yang sama, terutama sejak korban melihat sisi lain pelaku, yakni sisi kemanusiaan.

Beberapa perilaku lainnya yang menjadi tanda bahwa korban memiliki reaksi dan perasaan positif terhadap pelaku antara lain adalah [4,5,6] :

  • Tidak melarikan diri dari penyanderaan.
  • Tidak ingin memberi kesaksian yang memberatkan pelaku ketika berada di pengadilan.
  • Membela pelaku.
  • Berupaya membuat hati pelaku penyanderaan senang.
  • Mengagumi pelaku penyanderaan dan bahkan menunjukkan rasa kagumnya.

Meski antara korban dan pelaku penyanderaan memiliki ikatan emosional yang positif dan berbeda dari hubungan antara korban dan pelaku tindak kriminal pada umumnya, tetap terdapat sejumlah gejala yang penderita alami, yaitu [4,5,6] :

  • Sering gelisah
  • Mudah terkejut
  • Insomnia atau susah tidur di malam hari
  • Lebih sering mimpi buruk
  • Daya konsentrasi menurun
  • Ingatan selalu kembali mengenang peristiwa penyanderaan atau tindak kejahatan yang pernah dialami
Tinjauan
Korban kekerasan atau penyanderaan yang membela pelaku adalah gejala utama dari sindrom Stockholm. Hal ini dapat disertai dengan sejumlah gejala fisik seperti insomnia, mudah kaget, gelisah terus-menerus, penurunan daya konsentrasi, hingga ingatan yang terus kembali ke masa-masa saat penderita menjadi korban.

Contoh Kasus Sindrom Stockholm

Terdapat beberapa kasus sindrom Stockholm yang dialami oleh sejumlah korban penculikan yang kasusnya sempat tersebar luas.

Perempuan ini menjadi korban penculikan pada tahun 1933 di usianya yang ke-25 tahun di mana pelakunya adalah 4 orang pria.

Mary diikat dengan rantai di dinding di sebuah rumah pertanian yang tidak terpakai.

Para pelaku menawan Mary dan meminta tebusan dari keluarga korban.

Namun ketika Mary telah bebas dan selamat dari penculikan ini, ia merasa kesulitan untuk menyebutkan nama-nama pelaku di persidangan.

Bahkan ia sempat menunjukkan rasa simpatinya terhadap para pelaku di mana hal ini tergolong sebagai kondisi sindrom Stockholm

Patty Hearst adalah seorang perempuan yang merupakan cucu dari William Randolph Hearst, pebisnis dan penerbit surat kabar.

Perempuan ini pernah mengalami penculikan pada tahun 1974 oleh SLA (Symbionese Liberation Army), namun alih-alih mencoba menyelamatkan diri, ia justru memberitahukan keluarganya bahwa ia memiliki nama baru.

Selama penculikannya, ia tak hanya mengubah nama, tapi juga bergabung dengan SLA untuk merampok bank.

Sindrom Stockholm menjadi alasan utamanya ketika ia ditangkap, namun pembelaan menggunakan kondisi mental tersebut tidak mampu menyelamatkannya karena Patty pada akhirnya tetap dijatuhi hukuman 35 tahun penjara.

Natascha yang berusia 10 tahun pada tahun 1998 mengalami penculikan oleh Wolfgang Priklopil. Pelaku menyekapnya di ruang bawah tanah gelap dan jauh dari keramaian.

Natascha berada di ruangan gelap terisolasi tersebut selama 8 tahun lebih dengan pelaku yang mengancam, memukul namun tetap menunjukkan sisi baiknya.

Natascha pada akhirnya berhasil menyelamatkan diri dari si penculik, namun kemudian diketahui bahwa pelaku melakukan aksi bunuh diri.

Ketika mendengar kabar sang pelaku telah bunuh diri, Natascha dilaporkan menangis tersedu-sedu yang berpotensi berhubungan dengan kondisi sindrom Stockholm.

Sindrom Stockholm pada Situasi Lain

Sindrom Stockholm tidak hanya terjadi pada korban penculikan atau penyanderaan yang umumnya dilakukan oleh perampok atau pelaku tindak kriminal.

Beberapa situasi zaman sekarang di bawah ini pun mampu menyebabkan seseorang mengalami sindrom Stockholm di mana hal ini seringkali tidak disadari.

  • Pelatihan Olahraga

Metode pelatihan yang sangat keras pada beberapa jenis olahraga bertujuan untuk membangun kemampuan, fisik, dan juga hubungan antar individu dalam tim [4,11].

Namun pembinaan yang terlampau keras, terutama pada para atlet, sebenarnya seringkali menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan posisi.

Walau pelatihan dan pembinaan keras dianggap oleh para atlet sendiri sebagai hal yang bermanfaat bagi diri mereka di kemudian hari, hal ini justru tergolong sebagai salah satu jenis kondisi sindrom Stockholm.

  • Perdagangan Seks

Orang-orang yang menjadi korban perdagangan seks mengandalkan para pelaku perdagangan untuk bertahan hidup melalui air dan makanan [4,12].

Ketika pelaku menyediakan kebutuhan korban, maka korban akan lebih mudah luluh dan memiliki reaksi sekaligus perasaan positif terhadap pelaku [12].

Karena posisi korban perdagangan seks pun sulit, maka ketika pihak kepolisian hendak menangkap pelaku, korban biasanya akan membela pelaku [12].

Pembelaan dilakukan bertujuan agar para korban juga dapat melindungi diri mereka sendiri.

  • Pelecehan Anak

Pelaku pelecehan anak kemungkinan besar akan mengancam korbannya dengan kasar dan bahkan mengancam untuk membunuhnya [4,13].

Agar pelaku tidak menghabisi nyawa korban, korban cenderung akan bersikap baik dan lebih menurut pada pelaku.

Beberapa pelaku dapat menunjukkan sisi baiknya kepada korban yang korban dapat salahartikan sebagai sebuah perhatian yang tulus.

Korban usia anak masih belum terlalu memahami bahwa hubungan seperti ini tidak sehat dan cenderung negatif.

  • Pelecehan Seksual, Emosional dan Fisik

Korban pelecehan pada beberapa kasus memiliki kedekatan secara emosional dengan pelaku sehingga pelecehan dapat terus terjadi [4,14].

Korban memiliki rasa simpati yang dapat berkembang secara positif kepada pelaku yang kemudian berdampak pada pelecehan yang berkelanjutan tanpa korban dapat melawan.

Tinjauan
Tak banyak yang tahu bahwa beberapa situasi seperti pelatihan atau pembinaan olahraga, perdagangan seks, pelecehan anak, serta pelecehan seksual, emosional dan fisik pun termasuk dalam sindrom Stockholm.

Pemeriksaan Sindrom Stockholm

Belum ada metode khusus yang secara pasti mampu mendiagnosa sindrom Stockholm pada penderita gejala kondisi ini.

Gangguan psikologis ini tak dapat dikenali dengan kriteria diagnosa tertentu karena belum tersedianya definisi standar.

Bahkan para ahli kesehatan mental tidak dapat menggunakan DSM sebagai panduan dalam memeriksa dan menghasilkan diagnosa untuk kasus sindrom Stockholm, padahal DSM sudah kerap digunakan untuk mendiagnosa gangguan mental secara efektif [4,5].

Penanganan Sindrom Stockholm

Penanganan kondisi sindrom Stockholm umumnya menggunakan metode yang digunakan untuk mengatasi gangguan stres pasca trauma karena hingga kini belum diketahui adanya pengobatan khusus dan efektif untuk sindrom Stockholm.

Psikoterapi jangka panjang rata-rata diperlukan oleh penderita sindrom Stockholm ditambah dengan dukungan mental dari keluarga dan teman dekat [6,15,16] .

Selain proses psikoterapi, biasanya terapis akan memberikan sejumlah obat-obatan untuk meredakan gejala-gejala gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, dan stres [4,5].

Keluarga penderita sindrom Stockholm dapat mendampingi penderita dan mendukung mereka untuk melakukan konseling dengan psikiater agas masalah psikologis yang dialami dapat segera diatasi [6,15].

Tinjauan
Psikoterapi, dukungan mental dari kerabat, serta penggunaan obat anticemas dan antidepresan adalah beberapa penanganan utama bagi penderita sindrom Stockholm.

Komplikasi Sindrom Stockholm

Beberapa risiko komplikasi dapat terjadi pada penderita sindrom Stockholm walaupun sang pelaku tindak kejahatan tidak benar-benar menjahati atau berbuat kejam pada korbannya.

Stres pasca trauma, mudah kaget, linglung, sulit tidur berkepanjangan, seringnya mengingat peristiwa penyanderaan, serta kesulitan dalam memercayai orang lain [3].

Pencegahan Sindrom Stockholm

Hingga kini belum diketahui bagaimana cara agar sindrom Stockholm dapat dicegah, sebab perasaan positif korban terhadap pelaku yang menyanderanya sulit untuk dikendalikan.

Namun meski penyanderaan membuahkan perasaan yang positif dari sisi korban terhadap pelaku, pemeriksaan psikologis sangat dianjurkan.

Korban tindak kejahatan tetap berpotensi mengalami trauma, untuk mendeteksinya secara dini sehingga mampu mencegahnya agar tidak menjadi lebih buruk.

Tinjauan
Belum diketahui cara pencegahan sindrom Stockholm, namun pemeriksaan psikologis dan penanganan dini sangat dianjurkan untuk mencegah gejala-gejala lebih buruk.

1. Erin Fuchs. This Insane Bank Heist From 1973 Inspired The Term 'Stockholm Syndrome'. Insider; 2013.
2. David King. A 1973 Bank Robbery Gave the World ‘Stockholm Syndrome’—But There’s More to the Story Than That. Time; 2020.
3. Taysier Elshaikh. Stockholm Syndrome. GoodTherapy; 2016.
4. Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP & Kimberly Holland. What is Stockholm Syndrome and Who Does it Affect? Healthline; 2019.
5. Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP & Jamie Eske. What is Stockholm syndrome? Medical News Today; 2020.
6. Sharie Stines, PsyD. Why Stockholm Syndrome Happens and How to Help. GoodTherapy; 2018.
7. M Namnyak, Nicola Tufton, Queen Mary, & M Toal. 'Stockholm syndrome': Psychiatric diagnosis or urban myth? Research Gate; 2008.
8. Jason Roe. Kidnapping Of Mary McElroy. Kansas City Public Library; 2021.
9. Kesh Wang. The puzzling case of Patty Hearst: Investigating the mystery behind Stockholm syndrome. The Daily Californian; 2018.
10. Jon Ronson. Natascha Kampusch: Inside the head of my torturer. The Guardian; 2010.
11. Charles Bachand & Nikki Djak. Stockholm Syndrome in Athletics: A Paradox. Cambridge University Press; 2018.
12. Abraar Karan & Nathan Hansen. Does the Stockholm Syndrome affect female sex workers? The case for a “Sonagachi Syndrome”. BMC International Health and Human Rights; 2018.
13. South Eastern CASA. The effects of childhood sexual abuse. South Eastern CASA; 2021.
14. Chris Cantor & John Price. Traumatic entrapment, appeasement and complex post-traumatic stress disorder: evolutionary perspectives of hostage reactions, domestic abuse and the Stockholm syndrome. The Australian and New Zealand Journal of Psychiatry; 2007.
15. Anonim. Stockholm Syndrome. Counselling Tutor; 2019.
16. Anonim. Stockholm Syndrome. The Supernova Project; 2021.

Share