Tentu rasa ingin membantu atau menolong orang lain adalah hal yang normal, bahkan baik. Namun, bagi beberapa orang, perasaan seperti ini bisa bertumbuh menjadi kondisi mental yang tidak sehat.
Keinginan berlebihan untuk menolong dan menyelesaikan semua permasalahan bisa berubah menjadi sindrom superhero.
Daftar isi
Istilah lain untuk kondisi mental ini adalah sindrom hero atau savior complex. Definisinya adalah “Kondisi psikologis yang membuat seseorang merasa ia harus menolong orang lain. Orang seperti ini memiliki kecenderungan untuk mencari orang yang putus asa supaya ia bisa menyalurkan kebutuhannya bahkan sampai mengorbankan kepentingannya sendiri.” [1]
Sindrom ini membuat penderitanya secara tidak sadar ingin selalu dibutuhkan, dihargai, atau disukai. Kebutuhan ini diselubungi niat baik untuk menolong orang lain, namun bisa membuat penderitanya jatuh ke titik tidak sehat secara psikologis.
Kebutuhan yang sesungguhnya bersifat negatif ini hanya bisa dipenuhi bila orang dengan sindrom superhero menyetujui semua permintaan dari orang lain dan membuat janji-janji yang bahkan mungkin tidak bisa ia penuhi hanya supaya orang lain menyukainya.
Mereka juga cenderung ingin menyenangkan orang lain setiap saat dan berusah untuk tidak menolak.
Orang-orang yang berprofesi di bidang perawatan, pekerja kantoran, bahkan dalam hubungan keluarga atau pernikahan, sindrom ini rentan terjadi. [1, 3]
Bagaimana kita bisa tahu apakah kita mengidap sindrom ini? Salah satunya adalah rasa puas yang amat sangat bila bisa menjadi satu-satunya orang yang mampu membereskan suatu masalah, bahkan jika urusan pribadi terbengkalai demi memenuhi permintaan orang lain.
Berikut adalah tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya kecenderungan diri mengidap sindrom superhero: [1, 2, 4]
1. Kerapuhan orang lain adalah “magnet”
Orang dengan sindrom superhero cenderung tertarik pada orang-orang yang hidupnya penuh kesulitan atau bermasalah lebih dari diri mereka sendiri. Salah satu faktor yang bisa menyebabkan hal ini adalah karena mereka pernah mengalami kesusahan dan rasa sakit di masa lalu, sehingga timbul empati pada orang lain yang kesusahan karena ingin “menyembuhkan”.
2. Ingin mengubah orang lain
Psikolog mengatakan bahwa superhero percaya pada kekuatan mereka untuk mempengaruhi orang lain. Mereka merasa paling tahu apa yang terbaik untuk orang-orang yang ingin mereka tolong.
Misalnya, mereka merasa bisa memperbaiki hidup orang lain dengan:
Orang tidak bisa berubah hanya dengan dorongan. Mereka bisa berubah hanya jika keinginan itu timbul dari dalam diri mereka sendiri. Perubahan tidak bisa dipaksakan, sehingga orang dengan sindrom superhero yang cenderung memaksakan pendapatnya ini bisa menyebabkan rusaknya suatu hubungan dan timbulnya kebencian dari pihak orang yang ditolong.
Terlebih lagi, saat hanya berfokus pada usaha untuk mengubah orang, penderita sindrom ini lupa untuk menghargai orang lain apa adanya atau bahkan tidak benar-benar memahami orang yang katanya ingin mereka tolong.
3. Selalu ingin membereskan masalah
Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan segera, terutama masalah-masalah besar seperti penyakit, trauma, atau kesedihan. Superhero biasanya percaya mereka harus membereskan segala masalah. Mereka lebih perduli pada penyelesaian masalah dibandingkan orang yang sedang dirundung masalah tersebut.
Menawarkan bantuan atau memberikan solusi memang bukanlah hal buruk, tapi kadang-kadang orang hanya butuh pendengar yang baik, bukan penasihat atau konselor.
4. Membuat pengorbanan pribadi diluar batas
Sindrom superhero bisa melibatkan semacam masokisme moral, atau sabotase atas diri sendiri untuk tujuan moral. Penderita sindrom ini biasanya akan mengorbankan kebutuhan-kebutuhan pribadinya untuk menolong orang yang mungkin sebenarnya juga tidak menginginkan bantuan.
Pengorbanan ini bisa berupa:
5. Merasa menjadi satu-satunya orang yang bisa menolong
Superhero seringkali terdorong untuk menolong orang lain karena mereka percaya tidak ada lagi yang bisa melakukannya. Hal ini membuat mereka berfantasi atau “halu” dalam istilah populer.
Mungkin superhero tidak selalu percaya mereka punya kekuatan, tapi keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menolong seseorang atau memperbaiki hidup orang tersebut juga datang dari sumber yang sama.
Keyakinan seperti ini juga menunjukkan rasa superioritas. Bahkan jika terjadi tanpa disadari, sikap ini akan sendirinya tampak dari cara penderita sindrom ini memperlakukan orang lain. Misalnya, menggurui atau mengoreksi.
6. Menolong karena alasan yang salah
Dengan kecenderungan bersikap seperti superhero, orang tidak hanya akan membantu ketika punya waktu dan kemampuan. Tapi bahkan juga ketika harus menyusahkan diri mereka sendiri.
Superhero selalu ingin menolong orang lain karena merasa harus, tidak peduli seperti apa kondisi dirinya sendiri. Bahkan bisa jadi mereka mengecilkan atau menyepelekan kebutuhan pribadinya demi orang lain.
Hal ini bisa terjadi akibat:
Berusaha untuk menolong seseorang dari masalah yang mereka hadapi seringkali tidak berakhir seperti yang diharapkan. Bahkan bila seseorang kemudian berubah karena apa yang dilakukan oleh orang dengan sindrom ini, namun efeknya tidak akan berlangsung lama, kecuali keinginan untuk berubah ini datang dari diri sendiri.
Kecenderungan bersikap seperti superhero juga bisa menyebabkan hal-hal buruk pada penderitanya, terutama jika dibiarkan terus terjadi: [4]
Sindrom superhero terjadi akibat kebutuhan untuk menolong yang sebenarnya dimotivasi oleh keinginan untuk disanjung dan disukai orang lain. Jika berhasil menolong, sensasi yang muncul sama seperti ketika seseorang memasukkan narkoba ke dalam tubuhnya. Ini adalah candu.
Rahasia mengatasi sindrom ini adalah dengan memenuhi kebutuhan membantu orang lain dengan cara yang jauh lebih sehat: [1, 3, 4]
Jika orang lain minta tolong atau kesusahan, bantu mereka dengan cara:
Sebelum menolong, tanyakan pada diri sendiri:
Membuat batasan yang sehat adalah sesuatu yang penting untuk kesehatan mental diri sendiri. Kenali kebutuhan diri, kenali kebutuhan orang lain, dan buat ruang diantara keduanya untuk memungkinkan komunikasi yang baik.
Ingat, kadang-kadang orang lain hanya ingin didengarkan. Jangan terburu-buru terjun untuk menolong mereka.
1. Sarah A. Benton MS, LMHC, LPC, AADC. The Savior Complex; Why good intentions may have negative outcomes. Psycholgy Today; 2017.
2. Kendra Cherry, Shereen Lehman, MS. The Psychology of Heroism; Are Heroes Born or Made? Very Well Mind; 2020.
3. Laura Berman Fortgang. Getting Off-Course: The Hero Syndrome. The Huffington Post; 2012.
4. Crystal Raypole, Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP. Always Trying to ‘Save’ People? You Might Have a Savior Complex. Healthline; 2020.