Marah adalah salah satu bentuk emosi manusia yang sebenarnya sangat normal dan terbilang wajar [1,2,3].
Namun apabila kemarahan yang dirasakan mulai berlebihan, meledak-ledak, dan terlampau sering atau intens, emosi ini tidak lagi normal dan tergolong tidak sehat [1,2,3].
Ketika amarah dalam diri seseorang kemudian menjadi sebuah penyebab keretakan hubungan sosial dan memengaruhi kualitas hidup secara negatif, ini merupakan tanda bahwa tingkat kemarahan sudah seharusnya mulai dikendalikan [1,2,3].
Daftar isi
Kemarahan dapat disebabkan atau dipicu oleh banyak faktor, namun pada dasarnya penyebab kemarahan sendiri dibagi menjadi dua, yakni faktor internal dan eksternal [1].
Faktor internal yang memicu kemarahan seseorang biasanya meliputi rasa frustrasi, kegagalan yang tak bisa diterima oleh diri sendiri, serta merasakan ketidakadilan [1].
Sementara itu, faktor eksternal meliputi rasa marah karena perlakuan orang lain seperti dipermalukan, digoda, dijahili, dicelakai, atau kehilangan barang berharga karena orang lain [1].
Bentuk kemarahan baik karena faktor internal maupun eksternal pada masing-masing orang bisa berbeda [1].
Beberapa orang lebih memilih memendam amarahnya daripada meluapkan sehingga hal ini dapat memicu penumpukan stres yang kemudian berakibat pada timbulnya gejala depresi di kemudian hari [1].
Ada pula beberapa orang yang memilih meluapkan kemarahan dengan omelan dan argumen secara verbal (melalui kata-kata saja) [1,2,3].
Namun, tak sedikit pula orang yang memilih meluapkan kemarahan dengan keagresifannya, yakni dengan memukul benda atau bahkan memukul langsung orang yang menyebabkan kemarahannya [1,2,3].
Apakah kemarahan pada anak dan remaja termasuk normal?
Usia anak dan remaja memang rentan dalam meluapkan kemarahan, terutama remaja dengan emosi yang masih terbilang labil [3].
Namun ketika kemarahan anak dan remaja sudah tak terkendali, penting bagi orang tua mengetahui tanda-tandanya dan segera membawa mereka ke dokter anak lebih dulu [3].
Apabila dokter anak setelah memeriksa merasa bahwa kondisi kemarahan tersebut berkaitan dengan gangguan kesehatan mental, maka akan dilakukan evaluasi psikologis dan orang tua akan dirujuk ke terapis khusus untuk gangguan mental [3].
Kapan seseorang tahu bahwa dirinya memerlukan terapi manajemen amarah?
Terapi manajemen amarah sebaiknya diperoleh seseorang apabila setiap kemarahannya tidak lagi bisa dikendalikan.
Pada beberapa kasus, kemarahan mampu berakibat pada masalah yang tak terselesaikan dan pemendaman perasaan negatif secara berkelanjutan.
Kondisi ini sama sekali tidak sehat karena terlepas dari apapun masalah yang menyebabkan, hal ini bisa berkaitan dengan depresi dan trauma yang berpotensi memburuk.
Kemarahan seringkali menjadi salah satu gejala dari adanya gangguan kesehatan mental seperti di bawah ini sehingga membutuhkan terapi khusus untuk mengendalikannya [2,3].
Terapi manajemen amarah efektif dalam membantu mengendalikan kemarahan yang terjadi sebagai gejala dari kondisi gangguan mental [1,2,3].
Namun, tingkat efektivitas dari terapi ini tentu tergantung dari penyebab dan tingkat keparahan dari kemarahan pasien tersebut [1,2,3].
Dalam terapi manajemen amarah, terdapat beberapa jenis terapi dengan pendekatan berbeda yang akan diterapkan tergantung dari kondisi pasien.
Terapi ini adalah jenis psikoterapi yang diperuntukkan bagi anak-anak yang lebih muda [3,5].
Terapis profesional akan membantu anak-anak dengan manajemen amarah di setiap sesinya melalui permainan [3,5].
Pada terapi ini, anak akan dibantu untuk mengekspresikan diri mereka lebih baik, baik pikiran maupun perasaan [3,5].
Tidak hanya penggunaan boneka dan kotak pasir, terapis juga akan menggunakan musik serta seni untuk terapi anak [3,5].
Tujuan terapi ini sendiri adalah agar anak dapat meningkatkan rasa percaya dan citra diri secara positif [3,5].
Terapi manajemen amarah ini diperuntukkan bagi orang-orang dewasa yang memiliki masalah dalam pengendalian amarah [2,3,6].
Jika ledakan kemarahan telah merugikan orang lain dan bahkan kualitas hidup diri pasien sendiri, terapis akan membantu mengendalikannya melalui terapi ini [2,3,6].
Refleksi diri adalah metode utama yang diterapkan pada terapi psikodinamik agar pasien menyadari motivasi bawah sadar mereka sehingga ketidaknyamanan dan ketegangan batin dapat berkurang [2,3,6].
Selama sesi terapi ini, pasien juga akan dibimbing untuk mengekspresikan kemarahan tanpa merugikan orang-orang yang berada di sekitar pasien [2,3,6].
Terapi perilaku kognitif adalah jenis psikoterapi yang juga dapat menjadi terapi untuk mengendalikan amarah [2,3,7].
Selama terapi, terapis akan membantu pasien dalam memahami pemicu kemarahan, mengetahui apa saja yang seharusnya dilakukan ketika kemarahan itu terjadi, dan mengubah reaksi, pikiran serta perilaku negatif menjadi lebih positif dan terkendali [2,3,7].
Terapi manajemen amarah ini sebenarnya masih tergolong dalam terapi perilaku kognitif yang bertujuan mengendalikan pasien yang memiliki kemarahan intens [2,8].
Terapi perilaku dialektikal ini akan meningkatkan pengendalikan emosi pasien sekaligus meningkatkan efektivitas komunikasi dalam setiap hubungan dengan orang lain [2,8].
Pasien usai menjalani terapi ini diharapkan dapat lebih tenang dan memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi [2,8].
Terapi ini umumnya merupakan jenis terapi yang pasien butuhkan ketika kemarahan paling sering diluapkan kepada anggota keluarga [2,9].
Bila kemarahan tak lagi mudah dikendalikan, terapi ini dapat pasien tempuh dengan tujuan meningkatkan komunikasi antara pasien dengan anggota keluarga [2,9].
Dengan kerja sama yang baik antara pasien dan keluarga pasien, diharapkan tidak hanya tingkat kemarahan berkurang dan pengendalian amarah meningkat, tapi juga setiap masalah terselesaikan dengan baik [2,9].
Kemarahan dapat menyebabkan pasien merasa bersalah, memiliki citra diri yang buruk, hingga memilih mengisolasi diri [3,10].
Kemarahan kronik ini perlu diatasi dengan terapi yang tepat, salah satunya adalah terapi kelompok [3].
Melalui terapi kelompok, terapis akan membantu pasien di setiap sesinya untuk mengatasi kemarahan bersama-sama dengan pasien lainnya [3,10].
Dengan menghadapi masalah kemarahan yang sama bersama pasien lain, pasien tidak akan merasa sendirian [3].
Terapi kelompok juga memberikan keuntungan bagi pasien untuk mendengar dan menerapkan solusi pengendalian amarah dari pasien lainnya [3,10].
Meskipun memiliki kemarahan yang susah dikendalikan, ada banyak orang memilih untuk diam dan mengabaikannya.
Alih-alih mencoba mengatasi dan mencari cara pengendalian amarah yang benar, banyak orang mungkin juga merasa malu untuk memperoleh terapi.
Namun perlu diketahui, terdapat sederet manfaat dalam menempuh terapi manajemen amarah yang akan berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitar kita.
Seringkali seseorang yang mudah marah, mudah meledak-ledak dan sulit mengendalikan kemarahannya tidak memahami dirinya sendiri [1,2,3].
Mereka tak tahu apa yang dapat membuat mereka semarah itu hingga merugikan diri sendiri dan orang lain [2].
Oleh sebab itu, terapi manajemen terapi adalah metode psikoterapi untuk membantu pasien memahami situasi-situasi tertentu yang memicu kemarahan [1,2,3].
Ketika berhasil mengidentifikasi situasi pemicu, pasien diharap menjadi lebih mudah mengendalikan reaksi dan perilaku mereka [1,2,3].
Terapi manajemen amarah juga akan membantu pasien dalam mengubah pola pikir [1,2,3].
Kemarahan yang meledak-ledak tak terkendali hingga harus berdampak negatif bagi orang lain biasanya dipicu oleh pola pikir yang juga sudah negatif lebih dulu [1,2,3].
Terapi dibutuhkan oleh pasien agar pasien bisa mengubah pola pikir menjadi lebih positif sehingga amarah dalam diri tidak mudah terpicu [1,2,3].
Pasien dengan masalah pengendalian amarah sebaiknya tidak bergantung pada orang lain untuk meredakan amarahnya sendiri [2].
Dengan menempuh terapi manajemen amarah, pasien akan dibantu untuk menerapkan teknik-teknik relaksasi [2].
Penerapan teknik relaksasi akan memampukan pasien menenangkan dirinya sendiri, baik fisik maupun pikiran, sehingga amarah tidak gampang terpicu [2].
Menempuh terapi manajemen amarah bermanfaat bagi pasien dalam meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan diri di waktu situasi tertentu yang biasanya memicu amarah [1,2,3].
Terapi manajemen amarah akan memampukan pasien untuk lebih mengontrol setiap tindakan dan mengatur emosi dengan lebih baik [1,2,3].
Kemarahan seseorang yang tak terkendali seringkali karena kemampuan dalam berkomunikasinya tergolong kurang [2].
Oleh sebab itu, melalui terapi manajemen amarah pasien akan diajarkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain tanpa menjadi agresif [2].
Pasien usai menjalani terapi manajemen amarah biasanya akan lebih tenang dan mampu menyampaikan isi hati serta isi pikirannya secara sopan, baik dan sehat [2].
Kemarahan tak terkontrol seringkali disebabkan oleh situasi tertentu yang terjadi berulang [2].
Terkesan tak ada solusi, sebenarnya pasien dapat menyelesaikannya asal dengan hati dan kepala dingin [2].
Melalui terapi manajemen amarah, terapis akan membantu pasien dalam mencari solusi untuk penyelesaian masalah secara baik-baik [2].
Orang-orang yang merasa memiliki masalah dalam pengendalian amarah dan ingin dibantu agar menjadi lebih baik, berikut ini adalah beberapa cara untuk mendapatkan terapi manajemen amarah [3] :
Kondisi apa saja yang bisa dibantu dengan menempuh terapi manajemen amarah?
Tidak hanya tentang kemarahan yang sulit dikendalikan, terapi manajemen amarah dapat membantu memulihkan orang-orang di mana kemarahan berkaitan dengan kondisi-kondisi berikut [2,3] :
Untuk mendapatkan terapi manajemen amarah paling baik, temui terapis profesional yang teregistrasi, mulai dari psikiater, psikolog, konselor sekolah (untuk anak), dan terapis untuk terapi bermain (untuk anak).
1. Good Therapy. Anger Management. Good Therapy; 2018.
2. Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP & by Kristeen Cherney, PhD. Therapy That Works for Anger. Healthline; 2020.
3. Sanjana Gupta & Steven Gans, MD. What Is Anger Management Therapy?. Verywell Mind; 2021.
4. Riccardo Williams. Anger as a Basic Emotion and Its Role in Personality Building and Pathological Growth: The Neuroscientific, Developmental and Clinical Perspectives. Frontiers in Psychology; 2017.
5. Ritesh Kool, MD & Timothy Lawver, DO. Play Therapy. Psychiatry; 2010.
6. Center for Substance Abuse Treatment. Chapter 7—Brief Psychodynamic Therapy. Brief Interventions and Brief Therapies for Substance Abuse. Rockville (MD): Substance Abuse and Mental Health Services Administration (US); 1999.
7. Suma P. Chand; Daniel P. Kuckel; & Martin R. Huecker. Cognitive Behavior Therapy. National Center for Biotechnology Information; 2021.
8. Alexander L. Chapman, PhD. Dialectical Behavior Therapy. Psychiatry; 2006.
9. Mathew Varghese, Vivek Kirpekar, & Santosh Loganathan. Family Interventions: Basic Principles and Techniques. Indian Journal of Psychiatry; 2020.
10. Akshay Malhotra & Jeff Baker. Group Therapy. National Center for Biotechnology Information; 2021.