Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Tomophobia adalah ketakutan yang irasional terhadap prosedur medis, umumnya pada jarum, terutama pada anak-anak. Gejala pada kondisi ini serupa dengan gejala pada fobia lainnya, yaitu keinginan yang kuat
Daftar isi
Tomophobia merupakan salah satu fobia spesifik di mana seseorang memiliki ketakutan berlebih dan cenderung tak masuk akal terhadap prosedur medis [1,2,6].
Rasa takut terhadap dokter dan segala proses medis memang bukan hal yang asing karena banyak orang memiliki ketakutan serupa.
Namun, yang membedakan tomophobia dari rasa takut pada umumnya adalah tingkat kecemasan yang dimiliki oleh orang tersebut [2].
Rasa cemas yang sangat berlebihan membuat seseorang terus-menerus menghindari prosedur medis [1,2,6].
Jika orang-orang umumnya takut namun tetap bisa datang ke dokter dan menempuh tindakan medis yang seharusnya dijalani, penderita tomophobia akan mencoba menghindarinya sebisa mungkin.
Tinjauan Tomophobia adalah fobia spesifik di mana seseorang mengalami ketakutan irasional terhadap prosedur medis.
Seperti pada kasus fobia spesifik lainnya, penyebab tomophobia secara pasti belum diketahui.
Namun, sejumlah faktor di bawah ini tentu dapat menjadi peningkat risiko seseorang mengalami tomophobia.
Entah mengalaminya sendiri atau sekedar menyaksikan pengalaman tak mengenakkan orang lain akan prosedur medis, seseorang bisa saja kemudian memiliki kondisi tomophobia [2,3,4].
Menurut salah seorang dokter, orang-orang dengan tomophobia umumnya sudah lebih dulu memiliki sinkop vasovagal [2].
Sinkop vasovagal sendiri adalah reaksi tubuh yang berlebihan sehingga memicu timbulnya respon sistem saraf otonom yang juga berlebihan [2].
Oleh karena itu, hal ini bisa kemudian berakibat pada peningkatan kecepatan detak jantung, hingga penurunan drastis kadar tekanan darah [2].
Pada kasus demikian, penderita dapat mengalami kehilangan kesadaran (pingsan). Rasa sakit, takut dan panik berlebihan mampu membuat penderita tomophobia pingsan dan berpotensi terluka [1].
Jenis kondisi trauma seperti ini adalah ketika seseorang mengalami cedera atau luka karena prosedur medis tertentu secara tidak sengaja sehingga menjadikannya trauma [2,4].
Rasa takut kemudian dapat berkembang menjadi semakin berlebihan karena khawatir bahwa dirinya akan mengalami hal yang sama bila menempuh prosedur itu lagi [2].
Misalnya, infeksi kulit (selulitis) yang terjadi sebagai efek dari proses penggunaan jarum pada tindakan medis yang ia tempuh [2].
Faktor genetik berperan cukup besar pada hampir setiap penderita fobia spesifik [1,3,4,5].
Artinya, bila seseorang memiliki anggota keluarga (khususnya orang tua) dengan riwayat gangguan kecemasan atau fobia spesifik, maka orang tersebut memiliki peluang lebih besar dalam mengembangkan fobia spesifik juga [1,3,4,5].
Tinjauan Tomophobia dapat terjadi pada seseorang karena pengalaman traumatis secara pribadi atau menyaksikan pengalaman orang lain. Selain itu, trauma iatrogenik dan faktor riwayat kesehatan keluarga dapat pula meningkatkan risiko tomophobia.
Gejala-gejala yang timbul pada penderita tomophobia pada dasarnya tak berbeda jauh dari gejala fobia spesifik lainnya [1,2,3,4,5,6].
Hanya saja, rasa takut berlebih dan irasional ini cenderung lebih spesifik, yakni berkaitan langsung dengan prosedur medis seperti berikut [1,2,6] :
Tomophobia dan tryphanophobia adalah dua kondisi fobia spesifik yang saling berkaitan [6].
Namun dalam kasus ini, trypanophobia adalah fobia yang lebih spesifik di mana seseorang mengalami ketakutan ekstrem terhadap jarum suntik dan proses injeksinya [6].
Tinjauan Gejala tomophobia umumnya meliputi rasa takut berlebihan hingga tubuh gemetaran, detak jantung lebih cepat, menghindari segala bentuk prosedur medis, merasa terancam pada situasi yang berhubungan dengan medis, tubuh berkeringat lebih banyak, dada sesak, serangan panik, hingga menghindari dokter.
Gejala-gejala yang mengarah pada fobia spesifik perlu diperiksa oleh ahlinya, seperti psikiater atau psikolog.
Biasanya, pemeriksaan akan meliputi pemeriksaan fisik lebih dulu untuk memastikan apakah tomophobia berkaitan dengan adanya riwayat luka atau cedera pada pasien [4,5].
Seperti pada kasus fobia spesifik lainnya, pemeriksaan tomophobia pun akan didasarkan pada DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th Edition) [1,2,7].
Evaluasi psikologis akan dilakukan menurut panduan kriteria diagnostik tersebut untuk menentukan apakah pasien benar-benar mengalami fobia spesifik ataukah hanya rasa takut biasa.
Berikut ini adalah sejumlah kriteria untuk pasien dapat didiagnosa dengan fobia spesifik, khususnya tomophobia melalui DSM-5 [7] :
Tinjauan Evaluasi psikologis perlu ditempuh oleh pasien dengan gejala tomophobia. Diagnosa dapat dilakukan berdasar pada panduan kriteria diagnostik DSM-5. DSM-5 bukan panduan untuk mendiagnosa tomophobia, namun lebih sering digunakan untuk memastikan bahwa gejala-gejala pasien merujuk pada fobia spesifik.
Metode penanganan tomophobia seperti pada kasus fobia spesifik lainnya, yakni pasien membutuhkan terapi psikologis dan perilaku.
Beberapa metode terapi yang pasien tomophobia paling butuhkan antara lain adalah :
Salah satu metode psikoterapi yang paling umum digunakan untuk mengatasi fobia spesifik maupun gangguan kecemasan adalah terapi perilaku kognitif [1,4,6].
Terapi ini terbukti efektif dalam menangani banyak kondisi fobia.
Tujuan terapi ini adalah untuk mengubah atau memperbaiki pola pikir pasien [1,4].
Terapis profesional dalam hal ini perlu bekerja sama dengan pasien untuk mengubah pola pikir pasien yang negatif menjadi positif [1,4].
Desensitisasi atau terapi eksposur adalah jenis psikoterapi di mana oleh terapis pasien akan diekspos kepada sumber penyebab rasa takutnya [1,2,3,4,5,6].
Tidak secara langsung, eksposur akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan pasien dalam menghadapi situasi atau obyek penyebab rasa takutnya [1,2,3,4,5,6].
Biasanya, terapi eksposur diawali dengan terapis yang menunjukkan video maupun foto-foto terkait prosedur medis kepada pasien [2,6].
Sedikit demi sedikit secara bertahap biasanya pasien akan terbiasa dan rasa takutnya akan berkurang [2,6].
Bila sudah dianggap cukup baik, pasien akan dibawa oleh terapis menghadapi langsung sebuah proses tindakan medis [6].
Selain terapi perilaku kognitif dan terapi eksposur, ada kemungkinan psikolog atau psikiater merasa perlu meresepkan obat bagi pasien.
Tergantung dari seberapa serius dan konstan timbulnya gejala, biasanya obat antidepresan dan anticemas (benzodiazepine) akan diberikan [3,4,8].
Obat-obatan ini umumnya mampu mendukung pemulihan pasien sembari menjalani salah satu atau kedua metode psikoterapi tadi [3,4,8].
Obat-obatan tersebut juga akan diberikan khususnya kepada pasien tomophobia yang mengalami gangguan kecemasan atau depresi serius [8].
Kombinasi antara psikoterapi dan pemberian obat diharapkan mampu meredakan gejala dengan baik sehingga setidaknya kehidupan sehari-hari pasien dapat kembali normal.
Ketika penderita mengalami gejala tomophobia sehingga hampir mengalami kehilangan kesadaran, beberapa langkah berikut dapat dilakukan [2] :
Apakah prognosis tomophobia baik?
Seperti pada kondisi fobia spesifik lainnya, prognosis tomophobia akan baik apabila gejala sedini mungkin teratasi.
Ketika rasa takut berlebihan dibiarkan terlampau lama tanpa adanya penanganan, penderita nantinya akan mengalami hambatan dalam beraktivitas sehari-hari [1,2,3,4].
Tingkat keparahan perilaku pasien menghindari obyek atau situasi prosedur medis menentukan seberapa baik kondisi penderita ke depannya.
Prognosis sangat baik bagi penderita tomophobia yang memperoleh penanganan tepat, seperti terapi eksposur dan terapi perilaku kognitif. [1,2,3,4,5,6]
Tinjauan Psikoterapi menjadi penanganan utama bagi penderita tomophobia, yakni berupa terapi perilaku kognitif maupun terapi eksposur. Bila memang diperlukan, dokter juga akan memberikan resep antidepresan serta anticemas sebagai pereda gejala.
Tingkat kecemasan yang semakin tinggi tanpa penanganan secepatnya dapat menjadi semakin serius.
Hal ini akan berdampak pada kesehatan fisik penderita tomophobia, terutama saat sedang sakit namun enggan mengunjungi rumah sakit karena takut terhadap prosedur medis [1].
Kondisi medis yang diderita oleh penderita tomophobia dapat semakin buruk jika tidak mendapatkan pengobatan.
Bukan tidak mungkin, risiko komplikasi berupa kematian dapat terjadi karena penghindaran terhadap prosedur medis terus-menerus.
Tinjauan Tomophobia yang tidak segera memperoleh penanganan dapat membuat gejala memburuk dan bahkan dapat berakhir depresi. Penderita tomophobia dengan kondisi medis tertentu pun dapat membahayakan nyawanya sendiri ketika enggan dibawa ke dokter untuk mengobati penyakit tersebut.
Fobia spesifik tidak dapat dicegah, terutama karena kondisi ini umumnya terjadi karena pengalaman traumatis terkait prosedur medis.
Namun dengan memeriksakan diri sedini mungkin, penanganan yang diberikan kepada penderita dapat membantu meringankan gejala.
Penanganan dini juga akan meminimalisir risiko-risiko berbahaya bagi kondisi fisik dan mental penderita ke depannya.
Tinjauan Pemeriksaan dan deteksi tomophobia dini akan membantu meminimalisir risiko komplikasi berbahaya pada penderita.
1. Markus Schmid, Robert C Wolf, Roland W Freudenmann, & Carlos Schönfeldt-Lecuona. Tomophobia, the phobic fear caused by an invasive medical procedure - an emerging anxiety disorder: a case report. Journal of Medical Case Reports; 2009.
2. Lea Lis MD. Tomophobia: I Fear Doctors, Blood, and Needles. Now What?. Psychology Today; 2020.
3. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
4. Chandan K. Samra & Sara Abdijadid. Specific Phobia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
5. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
6. Anonim. Tomophobia. The New Indian Express; 2021.
7. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM–5). American Psychiatric Association; 2021.
8. Ty Thomas & Thomas P Dooley. Treatment of Anxiety Prior to a Medical Procedure using an Atenolol - Scopolamine Combination Drug. Journal of Depression and Anxiety; 2018.