Daftar isi
Ablasi retina adalah jenis gangguan kesehatan pada mata yang diakibatkan oleh lapisan tipis dalam mata/retina yang lepas dan mampu menjadi penyebab kehilangan penglihatan secara permanen [1,3,4,5,7].
Retina sendiri merupakan bagian mata yang sangat vital karena tanpanya, cahaya yang masuk dan mata tangkap tak dapat diproses.
Normalnya, setelah mata menangkap cahaya, terjadi pengubahan cahaya menjadi sinyal listrik lalu kemudian hal ini diteruskan ke otak.
Proses sinyal ini pun terjadi di dalam otak dan dikeluarkan dalam bentuk gambar.
Dapat dibayangkan bagaimana parahnya gangguan penglihatan seseorang bila retina sampai lepas dari posisi normalnya.
Seberapa besar lepasnya bagian retina adalah faktor yang menentukan apakah gangguan penglihatan terjadi sebagian atau seluruhnya.
Tinjauan Ablasi retina adalah kondisi lepasnya retina dari posisi normalnya yang berpotensi besar mengakibatkan kebutaan pada penderitanya.
Ablasi retina regmatogen lebih rentan terjadi pada pria dariada wanita dengan perbandingan 1 : 10.000 dan 6,3-17,9 per 100.000 [1].
Belum diketahui data prevalensi ablasi retina secara jelas di Indonesia.
Namun, terdapat sekitar 25% kasus kelainan refraksi di Indonesia yang mampu memicu gangguan penglihatan sedang sampai berat, serta 20,7% menyebabkan kebutaan [2].
Ablasi retina terklasifikasi menjadi tiga jenis kondisi, yaitu antara lain adalah [1,3,4,7] :
Jenis ablasi retina ini ditandai dengan penumpukan cairan tepat di bawah retina.
Hanya saja pada kondisi ini, tidak dijumpai adanya robekan atau lubang di retina.
Penyebab ablasi retina eksudatif pada umumnya adalah peradangan pada mata, tumor, cedera mata, atau bahkan degenerasi makula sehingga lebih rentan terjadi pada lansia.
Jenis ablasi retina ini adalah yang paling umum dan banyak diderita di mana penyebab utamanya adalah robekan atau lubang pada retina.
Karena terdapat lubang atau robekan di bagian retina, ini menjadi peluang bagi cairan untuk melaluinya dan akhirnya terkumpul di bawah retina.
Sebagai dampaknya, retina terlepas dari jaringannya.
Kebutaan paling berpotensi terjadi pada jenis ablasi retina ini karena pada area retina lepas, suplai darah pun terhenti sehingga area retina tak dapat berfungsi dengan baik lagi.
Pertambahan usia menjadi faktor utama yang meningkatkan risiko ablasi retina regmatogen.
Ini karena semakin tua, cairan berbentuk gel yang ada di dalam mata (vitreous) mengalami konsistensi yang berubah, menjadi jauh lebih cair, serta dapat menyusut.
Jenis ablasi retina ini ditandai dengan lepasnya retina dari bagian belakang mata karena jaringan parut yang terdapat pada permukaan retina terus berkembang.
Bagi penderita diabetes yang mengalami kesulitan dalam mengendalikan kadar gula darah maupun kondisi penyakit degeneratif lainnya, maka risiko mengalami ablasi retina traksional pun semakin tinggi.
Tinjauan Terdapat tiga jenis kondisi ablasi retina yang patut diwaspadai, yaitu ablasi retina eksudatif, ablasi retina regmatogen (yang paling umum dijumpai), serta ablasi retina traksional.
Beberapa faktor berikut ini perlu dikenali dan diwaspadai sebagai peningkat risiko ablasi retina pada banyak orang [5,6,7] :
Ablasi retina umumnya tak menyebabkan rasa sakit sama sekali sehingga cukup sulit untuk mendeteksinya di awal.
Bahkan pada banyak kasus, kebutaan kerap terjadi tiba-tiba karena tak adanya gejala nyeri yang dirasakan oleh penderita.
Hanya saja, beberapa gejala berikut perlu diwaspadai untuk segera memeriksakan diri ke dokter spesialis mata [3,4,6,7].
Kapan seharusnya memeriksakan diri ke dokter?
Walau tidak disertai rasa nyeri sebagai gejala, bila salah satu atau beberapa gejala yang telah disebutkan mulai terjadi, jangan ragu untuk menemui dokter spesialis mata.
Tidak ada salahnya secepatnya memeriksakan mata untuk mendeteksi penyebab gejala dan memastikan apakah gejala tersebut berkaitan dengan ablasi retina.
Pemeriksaan dan penanganan secara dini dapat meminimalisir risiko kebutaan akibat ablasi retina.
Untuk memastikan bahwa gejala yang dialami adalah mengarah pada ablasi retina, dokter perlu melakukan beberapa metode diagnosa seperti di bawah ini.
Oftalmoskopi adalah metode pemeriksaan yang dokter biasanya gunakan untuk memeriksa retina pasien [1,3,4].
Tak hanya bagian retina, melalui oftalmoskopi, dokter dapat mendeteksi adanya ketidaknormalan atau gangguan pada pembuluh darah, bagian dalam dan belakang mata, serta cakram optik.
Tingkat akurasi metode pemeriksaan ini diketahui sangat tinggi sebagai pendeteksi penyakit-penyakit mata yang serius dari gejala awal terjadi.
Pada umumnya, USG adalah metode tes pemindaian yang dokter akan terapkan apabila perdarahan terjadi pada mata pasien [1,7].
Karena timbul perdarahan, biasanya memeriksa secara langsung menggunakan oftalmoskop menjadi lebih sulit karena retina tidak nampak jelas.
Walaupun gejala hanya dialami pada salah satu mata, dokter akan tetap memeriksa kondisi kedua mata.
Dokter juga meminta pasien untuk datang kembali untuk pemeriksaan ulang dalam beberapa minggu ketika robekan atau lubang pada retina tidak teridentifikasi pada pemeriksaan pertama.
Namun jika dalam beberapa hari setelah pemeriksaan pertama terjadi gejala baru, jangan ragu untuk segera menemui dokter dan mengonsultasikannya.
Tinjauan Pemeriksaan yang biasanya digunakan untuk mendeteksi ablasi retina adalah metode oftalmoskopi dan USG mata. Dari hasil kedua metode pemeriksaan ini, baru dokter dapat menentukan pengobatan terbaik bagi pasien.
Ablasi retina umumnya ditangani dengan cara yang berbeda-beda, sebab dokter akan menentukan metode perawatan berdasarkan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh.
Dokter mata akan mengecek lebih dulu dan mempertimbangkan dari segi apakah retina yang berlubang atau robek sudah lepas atau belum.
Pada kasus retina yang belum terlepas seluruhnya, tindakan medis berikut inilah yang biasanya diterapkan agar retina tidak jadi lepas serta membantu agar penglihatan pasien membaik.
Penanganan ini juga disebut dengan metode terapi laser di mana tujuan utamanya adalah membakar jaringan pada area sekeliling robekan retina serta mencegah retina terlepas [3,4].
Kriopeksi merupakan metode penanganan ablasi retina yang juga tergolong umum, yaitu dilakukan dengan membuat robekan retina membeku supaya tidak jadi terlepas dan tetap menempel [1,3,4,7].
Pada kasus yang sudah lebih serius atau ketika retina telah lepas, maka dokter selalu merekomendasikan prosedur operasi sebagai langkah penanganan terbaik.
Pada prosedur ini, dokter menggunakan silikon yang akan ditempatkan dari sklera (sisi luar bagian putih mata) di mana tujuan penggunaan silikon di sini adalah sebagai pelekat antara dinding bola mata dan retina [1,3,4,5].
Scleral buckling dapat membuat retina kembali pada posisinya semula.
Pada pasien ablasi retina dengan retina yang lepasnya sudah terlampau parah, pemasangan silikon oleh dokter pun berbeda, yaitu melingkari mata dan dibuat permanen tanpa menghalangi penglihatan.
Vitrektomi adalah metode lainnya yang juga kerap digunakan untuk mengatasi ablasi retina [1,3,4,5].
Vitrektomi diterapkan dengan tujuan mengeluarkan cairan vitreus serta jaringan penarik retina secara lebih mudah.
Selanjutnya, prosedur dilanjutkan dengan menyuntikkan silikon ke mata supaya retina tetap lekat di posisinya.
Ke depannya, silikon tersebut tidak perlu diganti ataupun diangkat, sebab cairan tubuh secara alami akan menjadi penggantinya.
Prosedur penanganan ablasi retina ini diterapkan dengan cara memberikan suntikan langsung yang berisi gelembung gas ke mata pasien [1,4,5].
Tujuan penyuntikan ini adalah untuk memberi tekanan pada retina dan mengembalikannya pada posisi sebelumnya.
Tindakan pneumatic retinopexy adalah jenis perawatan yang dokter kemungkinan besar ambil bagi pasien dengan kondisi retina terlepas sedikit.
Kondisi dan Perawatan Usai Operasi Retina
Bagi pasien ablasi retina yang harus menjalani prosedur operasi retina, setelahnya terdapat beberapa langkah perawatan yang perlu diketahui [5].
Ablasi retina adalah kondisi medis yang rata-rata dapat disembuhkan hanya dengan sekali operasi, walaupun pada beberapa kasus pasien harus menjalani beberapa kali operasi.
Tingkat keparahan lepasnya retina dan prosedur operasi retina menjadi penentu apakah penglihatan pasien dapat diperbaiki atau tidak.
Pada pasien dengan kondisi makula yang sudah benar-benar lepas, kebutaan permanen menjadi risiko komplikasi yang tak dapat dihindarkan.
Bahkan langkah operasi tak mampu membantu mengatasi kondisi makula yang sudah terlepas.
Tinjauan Pengobatan ablasi disesuaikan dengan tingkat keparahan lepasnya retina. Secara umum, kriopeksi dan fotokoagulasi adalah penanganan bagi kasus retina yang terlepas sedikit. Untuk kasus lebih parah, penanganan dilakukan dengan scleral buckling, vitrektomi, atau pneumatic retinopexy.
Risiko komplikasi jauh lebih besar justru pasca penanganan ablasi retina.
Tergantung dari prosedur medis apa yang ditempuh pasien dalam mengobati ablasi retina, berikut ini adalah kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang perlu diwaspadai [1,3,5] :
Beberapa upaya pencegahan ablasi retina dapat dilakukan, yakni dengan melakukan hal-hal di bawah ini [7].
Tinjauan - Pencegahan terbaik ablasi retina adalah dengan penggunaan pelindung mata saat melakukan aktivitas dengan risiko cedera mata tinggi. - Pengecekan kesehatan secara rutin (pemeriksaan mata, tekanan darah dan gula darah) juga merupakan upaya penting meminimalisir risiko ablasi retina.
1) Kyle Blair & Craig N. Czyz. 2020. National Center for Biotechnology Information. Retinal Detachment.
2) Anonim. 2018. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Gambaran Kelainan Refraksi Tidak Terkoreksi pada Program Penapisan oleh Unit Oftalmologi Komunitas Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo di Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2017.
3) Subhadra Jalali, MS. 2003. Community Eye Health Journal. Retinal Detachment.
4) Scott Fraser & David Steel. 2010. Clinical Evidence. Retinal detachment.
5) Anonim. Better Health Channel. Retinal detachment.
6) Anonim. 2019. National Eye Institute. At a glance: Vitreous Detachment.
7) Anonim. 2019. National Eye Institute. At a glance: Retinal Detachment.