Down syndrome atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai sindrom down adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya kelainan kromosom pada manusia. Kromosom merupakan sekumpulan gen dalam tubuh yang menentukan bagaimana tubuh bayi terbentuk dan berfungsi, baik selama masa kehamilan maupun setelah lahir [1].
Pada umumnya, bayi lahir dengan 46 kromosom pada tubuh. Akan tetapi, bayi dengan kondisi down syndrome memiliki salinan tambahan pada kromosom 21, sehingga kelainan ini dapat disebut sebagai trisomi 21 [1].
Usia 30 tahun ke atas pada ibu hamil merupakan faktor risiko utama bayi mengalami down syndrome. Efek yang timbul pada bayi dengan kondisi ini adalah adanya gangguan pada sistem lokomotor, saraf, dan peredaran darah [1].
Kromosom 21 tambahan mengarah pada perkembangan fisik yang terjadi di antara bayi dengan kondisi down syndrome. Setiap bayi yang mengalami kelainan ini memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda, tetapi ada beberapa karakteristik fisik umum yang dapat diperhatikan [1].
Adapun karakteristik fisik yang paling umum adalah sebagai berikut :
Bayi dengan kondisi down syndrome biasanya memiliki berat badan yang kurang saat lahir. Pertumbuhan mereka juga cenderung lebih lambat karena adanya gangguan muskuloskeletal [2].
Muskuloskeletal adalah sistem kompleks yang menunjang bentuk tubuh dan terdiri dari otot, tulang, sendi, hingga ligamen. Ketika muskuloskeletal terganggu, hal ini juga dapat meningkatkan risiko penurunan massa tulang dan menyebabkan terjadinya patah tulang secara berkala [2].
Struktur anatomi telinga pada bayi down syndrome biasanya lebih kecil dan posisinya lebih rendah daripada bayi yang normal. Hal itu terjadi karena adanya kelainan struktural, yaitu penyempitan pada telinga bagian dalam [2].
Kondisi ini dapat mengakibatkan pendengaran mereka menjadi terganggu. Selain itu, bayi dengan kondisi down syndrome akan rentan terkena infeksi pada telinga [2].
Bayi dengan kondisi down syndrome kebanyakan memiliki wajah yang mirip. Mereka memiliki bentuk wajah yang bulat dengan dagu yang lebih kecil.
Selain itu, wajah mereka cenderung datar, terutama pada bagian jembatan hidung di antara kedua mata. Hal ini menyebabkan bayi down syndrome terlihat mengalami penuaan dini [2].
Hampir semua bayi dengan kondisi down syndrome memiliki ujung mata yang sipit. Bentuk matanya terlihat seperti kacang almon dengan kemiringan sedikit ke atas [2].
Pada kulit bagian dalam mata terdapat lipatan kecil yang disebut dengan lipatan epikanthic. Selain itu, terdapat bintik-bintik kecil berwarna putih pada bagian iris mata yang dikenal sebagai bintik-bintik brushfield [2].
Selain keempat karakteristik fisik di atas, adapun beberapa karakteristik fisik lain yang dapat dilihat dari bayi down syndrome adalah sebagai berikut :
Down syndrome merupakan salah satu penyebab paling utama bayi mengalami kecacatan fisik dan motorik sehingga seringkali menghadapi berbagai masalah. Masalah yang sering terjadi di antaranya terdapat gangguan pada sistem pembelajaran dan memori, penyakit jantung bawaan, penyakit alzheimer, leukemia, kanker dan penyakit Hirschprung (HD) [3].
Oleh karena itu, perlu adanya diagnosis sejak dini yang dilakukan oleh orang tua, baik sebelum maupun sesudah bayi lahir. Orang tua harus menyadari kondisi bayi mereka sehingga dapat didiagnosis dan diobati dengan cepat dan tepat [3].
Adapun diagnosis yang dapat dilakukan sebelum bayi lahir adalah sebagai berikut :
1. Tes skrining
Tes skrining dapat memberikan informasi kepada calon ibu mengenai kemungkinan tinggi rendahnya janin tersebut mengalami down syndrome selama masa kehamilannya. Tes skrining biasanya mencakup kombinasi tes darah yang mengukur jumlah berbagai zat dalam darah ibu dan hasil USG [3].
Selama USG, salah satu hal yang diamati adalah cairan di belakang leher bayi. Cairan pada wilayah tersebut dapat menunjukkan masalah genetik [3].
2. Tes diagnostik
Tes diagnostik bertujuan untuk menemukan adanya perubahan pada kromosom dan biasanya dilakukan setelah hasil tes skrining dinyatakan positif. Jenis tes diagnostik meliputi CVS (memeriksa bahan dari plasenta), amniosentesis (memeriksa cairan ketuban), dan PUBS (pemeriksaan darah dari tali pusar) [3].
Sementara itu, pengobatan yang dapat dilakukan setelah bayi lahir adalah sebagai berikut :
Down syndrome adalah kondisi seumur hidup. Meskipun kehidupan menjadi lebih baik oleh perawatan medis dan terapi, tidak ada pengobatan yang benar-benar menyembuhkan bayi dengan kondisi down syndrome [1].
1. Stylianos E. Antonarakis, Brian G. Skotko, Michael S. Rafii, Andre Strydom, Sarah E. Pape, Diana W. Bianchi, Stephanie L. Sherman, & Roger H. Reeves. Down syndrome. 6(1): 9. Nature Reviews Disease Primers; 2020.
2. Faisal Akhtar, Syed Rizwan A. Bokhari. Down Syndrome. StatPearls Publishing; 2022.
3. Ambreen Asim, Ashok Kumar, Srinivasan Muthuswamy, Shalu Jain, & Sarita Agarwal. Down syndrome: an insight of the disease. 22(1): 41. Journal of Biomedical Science; 2015.