Penyakit & Kelainan

8 Gejala Sembelit dan Cara Mengatasinya

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Sembelit atau yang dalam istilah medis berarti konstipasi adalah kondisi gangguan medis yang dialami oleh tubuh khususnya sistem pencernaan. Sembelit merujuk pada terhambatnya proses defekasi, baik dalam bentuk minimnya frekuensi ataupun tingkat ke alotan feses yang di luar batas normalnya. Gangguan ini biasa menyerang organ usus besar sebagai kanal terakhir dari proses pencernaan.[1]

Penyebab sembelit paling umum biasanya hanya berkisar pada beberapa hal saja, seperti lambatnya pergerakkan tinja pada usus besar (yang dalam istilah medis yaitu kolon, Ing.: colon), gangguan pada otot lantai pelvis (pelvic floor muscle), serta sindrom iritasi pencernaan (irritable bowel syndrome).[3] Terdapat beberapa gejala yang dapat menjadi tanda terjadinya kondisi gangguan konstipasi, berikut di antaranya:

1. Perasaan tidak nyaman pada sistem pencernaan

Gejala awal biasanya dapat dirasakan pada aktivitas pencernaan yang diiringi dengan rasa tidak nyaman. Hal-hal seperti mual saat sedang atau setelah makan, naiknya asam lambung (atau dalam istilah medis yaitu refluks), rasa ingin buang air besar yang tak kunjung tuntas, dan lain sebagainya, merupakan kluster simptoma yang biasa dikeluhkan.[2] Meski gejala seperti ini bisa dikatakan sebagai gejala awal dan tidak selalu mengindikasikan terjadinya konstipasi, namun keberadaannya perlu untuk diwaspadai.[3][4]

2. Sakit pada bagian rongga perut

Perasaan tidak nyaman pada sistem pencernaan tersebut biasanya juga diikuti dengan rasa sakit atau nyeri di bagian rongga perut. Areal yang dimaksud mencakup ulu hati, bagian atas perut pada lokasi diafragma, hingga bagian pinggul belakang.[1] Gejala ini biasa dialami pada kasus konstipasi dengan keluhan tingkat kekerasan feses yang tidak normal, melihat adanya keterhambatan pada pergerakan usus besar.[3]

3. Terasa kembung dan begah

Terhambatnya pergerakkan usus besar juga dapat menyebabkan rasa kembung dan begah. Produk sisa proses pencernaan yang perlu dibuang melalui proses defekasi memiliki dimensi yang cukup besar apabila sampai tertumpuk pada usus besar. Ketertumpukan ini lantas dapat menimbulkan sensasi pampat yang cukup mengganggu; kekakuan di bagian perut; serta ketidakleluasaan untuk bergerak dan beraktivitas.[2]

4. Perut membesar

Ketika terhambatnya pergerakkan usus telah mampu memampatkan dimensi tinja pada usus besar hingga sedemikian rupa, organ-organ tersebut pun juga akan mengalami pembesaran yang signifikan. Tidak hanya ukuran yang turut membesar, namun bobot di bagian perut pun akan mengalami penambahan massa yang cukup terasa. Apabila gejala ini sudah muncul, langkah medis perlu untuk segera diambil guna menghindari komplikasi yang lebih parah.[5]

5. Mudah lelah

Gejala mudah lelah juga sangat relevan seiring dengan semakin bertambahnya massa timbunan. Dengan bertambahnya beban di bagian perut serta pertumbuhan ukuran organ yang turut membesar, tentu tubuh memerlukan tenaga dan stamina yang lebih dari biasanya untuk dapat bergerak dan beraktivitas. Selain itu proses pencernaan yang terganggu juga tentu dapat mengurangi kemampuan penyerapan nutrisi oleh tubuh – menyebabkan produksi tenaga menjadi berkurang.[4]

6. Pendarahan

Bentuk akut dari konstipasi sendiri biasa disebut komunitas ilmiah dan medis sebagai obstipasi. Obstipasi sendiri merujuk pada gangguan konstipasi yang terlalu dibiarkan menahun hingga akhirnya menghasilkan kerusakan kronik pada bagian organ-organ sistem pencernaan.[3] Kerusakan yang sudah bersifat kronik dapat menghasilkan berbagai komplikasi lain, di mana salah satunya ditandai dengan adanya pendarahan (Ing.: hemorrhage) pada wilayah dubur baik yang keluar bersamaan dengan feses maupun yang menetes keluar pada saat defekasi.[2][4]

7. Munculnya ambeien

Kemunculan ambeien atau wasir perlu untuk diwaspadai. Hal ini disebabkan bukan hanya karena ambeien merupakan salah satu dari gejala obstipasi saja, tetapi juga karena ambeien merupakan dampak komplikasi yang lebih kronis. Ambeien adalah fenomena medis yang merujuk pada penyumbatan pembuluh darah vena di daerah anus. Ambeien yang berupa komplikasi dari konstipasi dapat disebabkan oleh rusaknya jaringan dinding bagian dalam usus besar khususnya rektum, atau juga dikarenakan terlalu kerasnya upaya mengejan saat melakukan defekasi.[5]

8. Perubahan bentuk feses

Terjadinya perubahan bentuk feses dapat terlihat ketika feses sudah berhasil dikeluarkan. Feses yang normal pada umumnya berbentuk memanjang dengan tekstur yang lembek ataupun sedikit encer. Namun feses para penderita konstipasi pada umumnya berbentuk bulat kecil (terkesan seperti kotoran kelinci atau kambing) dan bertekstur keras. Di beberapa kasus, feses bahkan dapat muncul seperti kelereng atau batu kecil. Feses abnormal seperti inilah yang menghambat gerakan usus besar sehingga dapat menimbulkan konstipasi.[2]

Cara Mengatasi Konstipasi

Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam mengatasi konstipasi, yang mana dapat digolongkan menjadi dua: bersifat preventif dan bersifat represif. Untuk cara yang bersifat preventif, biasa diterapkan pada konteks pencegahan ketika konstipasi belum terjadi[3].

Beberapa di antaranya yaitu mengonsumsi asupan kaya serat dan baik untuk sistem pencernaan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, beberapa produk olahan susu seperti yoghurt, dan lain sebagainya; buang air besar secara teratur; tidak membiasakan menahan buang air besar; serta menghindari konsumsi makanan dan minuman yang dapat mengganggu sistem pencernaan seperti makanan pedas, asam, beralkohol, dan lain-lain.[3]

Sedangkan untuk cara yang bersifat represif, berbagai cara yang ada diterapkan pada konteks penanggulangan yaitu apabila kondisi gangguan konstipasi telah terjadi. Beberapa cara represif yang ada misalnya adalah dengan mengonsumsi obat laksatif (pencuci perut), penggunaan pelumas dubur, hingga pelunak feses. Apabila kasus yang ada sudah sampai pada titik obstipasi, langkah-langkah yang lebih serius seperti terapi biofeedback atau pembedahan pun dapat dilakukan.[1][4]

By: Sir Lord Artaz Gang

1) Basilisco, G., & Coletta, M. sciencedirect. Chronic constipation: a critical review. Digestive and Liver Disease. 2013
2) Bharucha, A. E., & Wald, A. sciencedirect. Chronic constipation. In Mayo Clinic Proceedings. 2019
3) Cullen, G., & O'Donoghue, D. sciencedirect, Constipation and pregnancy. Best Practice & Research Clinical Gastroenterology. 2007
4) Feldman, M., Friedman, L. S., & Brandt, L. J. (Eds.). sciencedirect. Sleisenger and Fordtran's gastrointestinal and liver disease E-book: pathophysiology, diagnosis, management: Constipation. 2020
5) Rao, S. S., Lee, Y. Y., & Ghoshal, U. C. (Eds.). sciencedirect. Clinical and basic neurogastroenterology and motility: Chapter 31 - Chronic constipation. 2019

Share