Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Virus terus berubah secara konstan, tak terkecuali SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19. Variasi genetik akan terjadi seiring berjalannya waktu dan dapat menimbulkan varian baru yang bisa memiliki
Sejak bulan Desember 2020 telah dilaporkan kemunculan berbagai varian baru dari virus corona yang diketahui sebagai penyebab COVID-19. Varian-varian baru ini adalah hasil dari mutasi, dan di Indonesia pertama kali terdeteksi di Karawang.
Varian dari virus bisa muncul bila terjadi perubahan, atau mutasi, terhadap gen virus tersebut. Virus RNA seperti virus corona memang secara alami akan berubah secara bertahap. Faktor geografis bisa menyebabkan terjadinya varian yang berbeda di tiap daerah. [3]
Mutasi pada virus, termasuk virus corona yang menyebabkan pandemik COVID-19, bukanlah suatu hal yang baru atau tidak disangka-sangka. Sejak awal terjadinya pandemi, virus SARS-CoV-2 memang telah bermutasi.
Sebagian besar hasil mutasi ini tidak terlalu mencolok bahkan tidak terdeteksi, namun ada kalanya, serangkaian mutasi menghasilkan varian yang bisa menginfeksi manusia lebih cepat dari varian sebelumnya sehingga penyakit lebih mudah menular. Hal inilah yang sekarang sedang menjadi kekhawatiran global. [1, 2, 3, 4, 5]
Varian yang pertama kali muncul adalah D614G, di Australia dan India pada bulan Mei 2020. Kemudian di bulan Desember 2020, terdeteksi kemunculan varian B.1.1.7 di Inggris, diikuti oleh varian B.1.351 di Afrika Selatan, bersamaan dengan varian-varian baru di Los Angeles dan Ohio, Amerika Serikat. [1, 2, 3, 4, 5, 6]
Seluruh varian baru ini tampaknya lebih mudah menular dibandingkan varian-varian sebelumnya.
Daftar isi
Pada bulan Desember 2020, Inggris menemukan varian yang disebut mutasi virus corona B117 dengan sejumlah besar mutasi.
Varian ini lebih cepat dan lebih mudah menyebar dibandingkan varian-varian lainnya. Di bulan Januari 2021, dilaporkan bahwa varian ini mungkin berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian dibandingkan dengan varian lainnya, namun masih dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk membenarkan hal tersebut. [1]
Sejak itu, varian ini juga telah terdeteksi di banyak negara lain di seluruh dunia.
Sebagian besar varian baru diduga lebih mudah menular karena mutasi pada spike protein-nya, yaitu bagian dari virus yang mengikat pada sel-sel tubuh manusia, termasuk yang ditemukan di Inggris ini.
Varian B117 diduga 50% lebih menular dibandingkan varian sebelumnya.
Ada 17 perubahan genetik pada varian B117 dari Inggris. Mutasi pada versi ini terjadi pada spike protein yang merupakan selubung luar dari SARS-CoV-2 sehingga menyebabkan permukaannya lebih bergerigi.
Protein pada permukaan virus ini yang bersifat mengikat pada sel-sel tubuh manusia. Semakin kasar permukaannya, semakin mudah ia menempel pada sel-sel di hidung, paru-paru dan bagian tubuh lainnya. [3]
Di Afrika Selatan, varian lain yang disebut B.1.351 muncul secara terpisah dari B117. Pertama kali terdeteksi di awal Oktober 2020, varian ini memiliki beberapa mutasi yang serupa dengan B117.[1]
Varian B.1.351 mengalami mutasi pada spike proteinnya yang bersifat mengikat pada sel-sel tubuh manusia.
Varian ini mungkin akan lebih resisten terhadap vaksin virus corona yang saat ini telah mulai digunakan. Tetapi, vaksin yang masih dalam tahap pengujian tampaknya bisa memberikan perlindungan dari parahnya penyakit akibat infeksi B.1.351.
Virus corona varian baru ini tidak mengakibatkan kondisi yang lebih parah pada orang yang terinfeksi, bila dibandingkan varian sebelumnya, namun dia bisa menginfeksi ulang orang yang telah sembuh dari COVID-19 akibat varian awal. Infeksi yang kedua kali biasanya lebih ringan. [3]
Pada awal Januari 2021, varian yang dinamakan P.1 pertama kali diidentifikasi pada tubuh seorang warga negara Brazil yang melakukan perjalanan ke Jepang.
Varian ini ditemukan saat warga Brazil tersebut menjalankan pemeriksaan rutin di bandara. Varian baru ini terdiri dari sejumlah mutasi tambahan yang bisa membuatnya tidak dikenali oleh sistem kekebalan tubuh manusia. [1]
Serupa dengan varian baru dari virus corona lainnya, varian P.1 juga memiliki kemampuan lebih kuat untuk melekat ke sel-sel tubuh manusia akibat mutasinya.
Sejak awal terjadinya pandemi, gejala yang dialami oleh mereka yang terinfeksi oleh virus corona mengalami perubahan atau pertambahan. Misalnya, di awal kemunculan SARS-CoV-2, orang yang terinfeksi mengeluhkan gejala-gejala serupa influenza.
Setelah itu mulai muncul gejala-gejala baru seperti kehilangan daya penciuman dan perasa, diare, hingga happy hypoxia. Hal ini terjadi karena virus corona mengalami mutasi, sehingga tanda infeksi yang ditimbulkannya pun mengalami perubahan.
Dari laporan yang dikumpulkan, terutama pada mereka yang terinfeksi varian B117, gejala yang umum dialami termasuk batuk, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, sakit tenggoroka dan demam. [5]
Hanya sekitar 15 persen orang melaporkan kehilangan indera perasa dan penciuman, dibandingkan 19 persen pada kasus infeksi varian virus corona yang terdahulu.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa respon imun yang dihasilkan oleh vaksin yang telah ada saat ini mungkin kurang efektif untuk melawan beberapa jenis varian baru dari virus corona ini. [3]
Namun perlu diingat bahwa respon imun melibatkan banyak komponen, dan berkurangnya kemampuan salah satu dari komponen ini bukan berarti vaksin tersebut tidak bisa memberikan perlindungan yang dibutuhkan manusia.
SARS-CoV-2 masih akan terus dipelajari, diawasi, dan pengetahuan mengenai virus ini masih akan terus bertambah. Tetapi, untuk saat ini, sebagian besar ahli percaya bahwa vaksin yang sedang dikembangkan serta yang sudah beredar bisa memberikan perlindungan dari varian yang lama maupun baru karena vaksin sebenarnya bisa membangun respon imun yang luas, baik pada antibodi inang maupun sel perantara. [6]
Sejumlah perubahan atau mutasi yang dialami oleh virus tidak lantas membuat vaksin menjadi tidak efektif. Tetapi saat ini berbagai studi masih terus dilakukan di seluruh dunia untuk memastikan hal tersebut.
Jika dibutuhkan, maka vaksin yang saat ini masih dalam tahap pengembangan bisa dirubah komposisi antigennya dalam waktu singkat untuk menyesuaikan kebutuhan perlindungan atas varian virus corona yang masih akan terus mengalami mutasi. [6]
Hingga saat ini, tidak ada varian baru virus corona yang membutuhkan strategi pencegahan yang berbeda dari yang sudah ada. Ini artinya, kita harus tetap menjalankan protokol kesehatan yang selama ini telah ada. [1, 2, 3, 4, 5, 6]
Kedisiplinan manusia sangat penting dalam hal penyebaran virus. Semakin banyak orang yang terinfeksi, semakin besar kemungkinan terjadinya mutasi virus corona. Membatasi penyebaran virus dengan memakai masker, menjaga jarak, serta menjaga kebersihan tangan berarti juga membatasi kesempatan bagi virus untuk bermutasi.
Langkah-langkah pencegahan penularan di ruang-ruang publik juga harus terus dilakukan, termasuk yang telah disebutkan diatas serta memastikan ventilasi dalam ruangan dalam keadaan baik serta membatasi kerumunan manusia dalam jarak dekat di ruangan yang tertutup. [3]
1. Division of Viral Diseases. About Variants of the Virus that Causes COVID-19. Centers for Disease Control and Prevention; 2021.
2. Julia Ries, Jennifer Chesak. The Coronavirus Is Mutating: What We Know About the New Variants. Healthline; 2021.
3. Robert Bollinger, M.D., M.P.H., Stuart Ray, M.D. New Variants of Coronavirus: What You Should Know. John Hopkins Medicine; 2021.
4. Mary Van Beusekom. New COVID variant with 5 mutations identified in California. CIDRAP - Center for Infectious Disease Research and Policy; 2021.
5. Michelle Crouch. Most Common Symptoms of the U.K. Coronavirus Variant. American Association of Retired Persons; 2021.
6. Dr Soumya Swaminathan. Episode #20 - COVID-19 - Variants & Vaccines. World Health Organization; 2021