Autisme merupakan jenis kelainan pada saraf di mana saraf berkembang secara abnormal sehingga kemudian menjadi penyebab seorang anak mengalami gangguan interaksi sosial dan perilaku [1,2].
Meski autisme terjadi pada anak, tidak semua kondisi autisme terdeteksi pada masa kanak-kanak [1,2].
Pada beberapa kasus autisme, tanda-tandanya justru terdeteksi saat anak sudah tumbuh dewasa, terutama laki-laki [1,2].
Umumnya, autisme pada anak akan terlihat saat usianya menginjak 2 tahun walaupun ada pula yang kurang dari itu atau lebih dari itu [1,2].
Sejumlah gejala gangguan perilaku dan gangguan interaksi sosial yang terjadi pada anak dengan autisme antara lain [1,2] :
Terdapat juga sejumlah kondisi lain yang dapat penderita autisme alami, yakni [3] :
Saat seorang pengidap autisme mulai terbatas dalam interaksinya dengan orang lain serta dalam kemampuan bicara, hal ini sudah seharusnya memperoleh penanganan [1,2].
Terutama apabila anak tidak mampu memberi respon baik dari ekspresi wajah maupun gestur tubuh, kondisi ini sebaiknya segera melalui perawatan [1,2].
Untuk membantu penderita autisme pulih dan mengalami peningkatan keterampilan dasar, berikut ini adalah jenis-jenis terapi untuk anak autis yang dapat diandalkan.
Daftar isi
Applied Behaviour Analysis (ABA) adalah jenis terapi di mana terapis akan mengawali prosedur dengan memahami perilaku pasien lalu mengubahnya [2,4].
Tidak sekadar pemahaman terhadap perilaku pasien, terapis pada terapi ABA ini akan mengajarkan keterampilan baru kepada para pasien [2,4].
Dari peningkatan keterampilan tersebut, perilaku yang cenderung negatif dari pasien dapat berkurang atau berubah nantinya [2,4].
Beberapa jenis keterampilan yang akan terapis ajarkan dan bimbing pada pasien autisme adalah [2,4] :
Terapis akan sangat sabar selama proses terapi ini, salah satunya dalam mengajarkan anak sampai paham dan mampu mengikuti petunjuk secara verbal [4,5].
Selain itu, terapis akan mengajarkan anak membaca dan menulis, menirukan gerakan dan ucapan orang lain, merespon panggilan atau perkataan orang lain, serta mendeskripsikan suatu obyek [4,5].
ABA adalah jenis terapi yang akan dibantu oleh terapis bersertifikasi sehingga program pengajaran ini harus diterapkan oleh seorang profesional di bidangnya.
Jika pun orang tua atau guru ingin menerapkan metode ini, mereka perlu melalui pelatihan lebih dulu dari ahlinya agar dapat melakukan penerapan secara tepat.
Jika ingin mengetahui lebih detail mengenai terapi ABA, penting untuk berkonsultasi dengan dokter yang menangani si kecil secara langsung.
Terapi okupasi merupakan jenis terapi yang mampu membantu orang-orang dengan gangguan pada mental, keterbatasan fisik, hingga kelainan kemampuan kognitif [2,6,7].
Terapi ini umumnya harus berada di bawah pengawasan dan pendampingan dokter spesialis rehabilitasi medis [2,6,7].
Perawatan ini akan memampukan anak dengan autisme untuk dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari secara normal seperti anak lainnya [6,7].
Terapi okupasi biasanya juga akan meliputi terapi kognitif, rehabilitasi fisik, penilaian aktivitas kehidupan sehari-hari, serta bantuan atau dukungan ketersediaan alat bantu apabila pasien membutuhkannya agar mampu beraktivitas mandiri [6,7].
Floortime adalah jenis terapi lainnya bagi anak penderita autisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Stanley Greenspan [8].
Floortime pada dasarnya merupakan terapi bermain sebab fokus aktivitas terapi adalah dengan mengajak anak bermain untuk menstimulasi perkembangan kecerdasan serta emosi anak [2,8].
Namun pada terapi ini, anak akan menentukan permainan apa yang ingin dimainkan sesuai ide dan minatnya [2,8].
Anak dapat memberikan arahan, namun saat orang tua mengikuti arahan tersebut, orang tua bisa memberi tantangan kepada anak agar kecerdasannya terstimulasi [2,8].
Dengan floortime yang dilakukan khususnya oleh orang tua anak penderita autisme, anak akan mengalami beberapa manfaat ini [8] :
Floortime adalah terapi yang dapat dilakukan oleh orang tua dengan anak setiap hari dengan durasi 20-30 menit per harinya agar kedetakan terbangun secara lebih sehat [2,8].
Terapi visual adalah terapi yang memanfaatkan metode PECS (picture exchange communication) maupun penggunaan metode pembalajar lewat video [9,10].
Anak autis biasanya kaya akan imajinasi sehingga proses pemahaman mereka akan suatu hal jauh lebih mudah [9,10].
Melalui visualisasi, anak-anak autisme diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berkomunikasi sekaligus meningkatkan keterampilannya [9,10].
Video yang biasanya digunakan untk menerapi anak autis ini adalah video modeling, video games, atau sistem komunikasi elektronik lainnya sesuai dengan minat sekaligus pilihan terapis [9,10].
Fisioterapi atau terapi fisik juga merupakan salah satu terapi untuk anak autis yang bertujuan meningkatkan kemampuan motorik [11,12].
Anak dengan autisme biasanya mengalami gangguan perkembangan pervasif di mana perkembangan otak lebih lambat dan kemampuan motorik juga terhambat [11,12].
Terapi fisik akan membantu dalam hal tersebut, termasuk meningkatkan kemampuan koordinasi tubuh anak, kemampuan dasar dalam berolahraga, dan mengembangkan kekuatan ototnya [11,12].
Intervensi perilaku verbal atau intervensi komunikasi merupakan jenis terapi yang umum ditempuh oleh anak-anak dengan gangguan spektrum autisme [13].
Tujuan terapi ini pun hampir sama dengan beberapa terapi lainnya, yakni meningkatkan kemampuan komunikasi dan perilaku anak autis secara verbal maupun nonverbal [13].
Anak-anak autis yang mengalami kesulitan bicara karena masalah bahasa dan kemampuan komunikas dapat mengalami perkembangan setelah melalui terapi ini [13].
Anak-anak dengan autisme yang membutuhkan intervensi komunukasi sebagai salah satu terapi bermanfaat adalah yang mengalami [13] :
Masalah-masalah tersebut seringkali tak disadari orang tua sebagai penghambat anak dalam berperilaku [13].
Kondisi-kondisi tersebut juga membuat kemampuan sosialisasi anak sangat kurang dan mengakibatkan kualitas hidup anak tidak maksimal [13].
Oleh sebab itu, terapi komunikasi sangat dibutuhkan oleh anak penderita autisme [13].
Pada anak-anak penderita autisme, perkembangan sensori integrasinya bisa saja mengalami gangguan [14].
Hal ini dapat berpengaruh negatif pada perilaku anak dan proses belajarnya [14].
Sensori integrasi sendiri adalah proses otak dalam mengatur dan menginterpretasikan informasi sensorik yang diterima dari luar tubuh (rasa, bau, suara, penglihatan, gerakan dan sentuhan) [14].
Melalui terapi sensori integrasi, anak autis akan memperoleh stimulus sensorik secara berulang dan bertahap namun terstruktur sehingga kemampuan belajar serta perilaku akan berkembang baik [14].
Tidak hanya itu, terapi ini sangat menolong anak dalam memroses informasi sensorik yang didapat oleh otaknya secara normal [14].
Jika terapi sensori integrasi telah dilalui oleh anak, biasanya hal ini akan diikuti dnegan penempuhan terapi okupasi [14].
Namun sebenarnya, terapi sensori integrasi dapat dilakukan di rumah di mana orang tua dan pengasuh bekerja sama menciptakan aktivitas-aktivitas tertentu yang berkaitan dengan terapi ini [14].
Setelahnya, anak bisa menjalani terapi okupasi dengan bantuan terapis profesional di bidang ini.
Anak penyandang autisme khususnya pada usia balita dapat menjalani terapi EIBI, yakni terapi yang menerapkan metode terstruktur dengan keterlibatan orang tua maupun anggota keluarga dekat lainnya [15].
EIBI adalah jenis terapi yang memiliki efektivitas tinggi dalam meningkatkan kemampuan anak berperilaku dasar yang baik [15].
Seiring perjalanan terapi ini, anak dapat merespon panggilan atau suara dari orang lain dan bahkan setidaknya dapat berbicara kepada orang tuanya ketika meminta sesuatu [15].
Perkembangan kemampuan dan perilaku anak penyandang autisme dapat terjadi cukup cepat menggunakan terapi ini [15].
Terapi DTT tergolong sebagai terapi perilaku yang juga cukup efektif bagi para penyandang autisme [16].
Keterampilan dasar anak autis dapat meningkat dengan memanfaatkan penggunaan barang yang dekat dan mudah di sekitarnya [16].
Perantara belajar anak dalam terapi ini biasanya hanya memanfaatkan mainan atau makanan di sekitar anak, seperti misalnya saat ingin fokus mengajarkan warna merah, terapis dapat meminta anak menunjuk atau mengambilkan makanan atau mainan berwarna merah [16].
Pada terapi DTT, berikut ini adalah beberapa kemampuan yang umumnya anak peroleh dari menjalani terapi DTT [16].
Terapis dalam hal ini akan menyediakan hadiah sebagai penghargaan terhadap usaha anak. Ketika dihargai, anak akan lebih mudah dalam mengingat hal-hal yang telah ia pelajari dari terapi [16].
Biasanya, terapi DTT perlu dilakukan berulang supaya anak lebih mudah dan cepat dalam menguasai kemampuan-kemampuan tersebut [16].
Demikian sejumlah jenis terapi untuk anak autis yang umumnya dapat ditempuh oleh anak-anak penderita autisme dengan bantuan tenaga profesional maupun orang tua serta pengasuh.
1. Holly Hodges, Casey Fealko, & Neelkamal Soares. Autism spectrum disorder: definition, epidemiology, causes, and clinical evaluation. Translational Pediatrics; 2020.
2. Catherine Lord, Mayada Elsabbagh, Gillian Baird, & Jeremy Veenstra-Vanderweele. Autism spectrum disorder. HHS Public Access; 2020.
3. Dr. Sabrina M. Darrow, PhD, Dr. Marco Grados, MD, Dr. Paul Sandor, MD, Dr. Matthew E. Hirschtritt, MD, MPH, Dr. Cornelia Illmann, PhD, Ms. Lisa Osiecki, BA, Dr. Yves Dion, MD, Dr. Robert King, MD, Dr. David Pauls, PhD, Dr. Cathy L. Budman, MD, Dr. Danielle C. Cath, MD, PhD, Dr. Erica Greenberg, MD, Dr. Gholson J. Lyon, MD, PhD, Dr. William M. McMahon, MD, Dr. Paul C. Lee, MD, MPH, Dr. Kevin L. Delucchi, PhD, Dr. Jeremiah M. Scharf, MD, PhD, & Dr. Carol A. Mathews, MD. Autism Spectrum Symptoms in a Tourette Syndrome Sample. HHS Public Access; 2018.
4. Tri Gunadi. The Effect of Applied Behavior Analysis (ABA) Verbal Behavior to The Ability of Language Development in Early Age Children with Autistic Spectrum Disorder. Jurnal Sosial Humaniora Terapan; 2019.
5. Laurice M. Joseph, Sheila R. Alber-Morgan & Nancy A Neef. Applying behavior analytic procedures to effectively teach literacy skills in the classroom. Psychology in the Schools; 2015.
6. Marije Bolt, Tiska Ikking, Rosa Baaijen, & Stephanie Saenger. Occupational therapy and primary care. Primary Health Care Research & Development; 2019.
7. Iona Novak, PhD, MSc (Hons), BAppSc & Ingrid Honan, PhD, BPysch(Hons). Effectiveness of paediatric occupational therapy for children with disabilities: A systematic review. Australian Occupational Therapy Journal; 2019.
8. Nattakit Praphatthanakunwong, Komsan Kiatrungrit, Sirichai Hongsanguansri, & Kaewta Nopmaneejumruslers. Factors associated with parent engagement in DIR/Floortime for treatment of children with autism spectrum disorder. General Psychiatry; 2018.
9. Marjorie H Charlop-Christy, Michael Carpenter, Loc Le, Linda A LeBlanc, & Kristen Kellet. Using the picture exchange communication system (PECS) with children with autism: assessment of PECS acquisition, speech, social-communicative behavior, and problem behavior. Journal of Applied Behavior Analysis; 2002.
10. Shahzadi Malhotra, Gaurav Rajender, Manjeet S. Bhatia, & Tej B. Singh. Effects of Picture Exchange Communication System on Communication and Behavioral Anomalies in Autism. Indian Journal of Psychological Medicine; 2010.
11. Osnat Atun-Einy, Meir Lotan, Yael Harel, Efrat Shavit, Shimshon Burstein, & Gali Kempner. Physical Therapy for Young Children Diagnosed with Autism Spectrum Disorders–Clinical Frameworks Model in an Israeli Setting. Frontiers in Pediatrics; 2013.
12. Rebecca Downey & Mary Jane K Rapport. Motor activity in children with autism: a review of current literature. Pediatric Physical Therapy; 2012.
13. Autism Speaks. Verbal Behavior Therapy. Autism Speaks; 2021.
14. Katherine E. Guardado & Shane R. Sergent. Sensory Integration. National Center for Biotechnology Information; 2021.
15. Anna Rita Marchi. The Importance of Early Intensive Behavioural Intervention in Autism Spectrum Disorder. Journal of Psychiatry; 2015.
16. Raising Children Network. Discrete Trial Training (DTT). Raising Children Network; 2021.