Autisme merupakan jenis kelainan pada saraf di mana saraf berkembang secara abnormal sehingga kemudian menjadi penyebab seorang anak mengalami gangguan interaksi sosial dan perilaku [1,2].
Meski autisme terjadi pada anak, tidak semua kondisi autisme terdeteksi pada masa kanak-kanak [1,2].
Pada beberapa kasus autisme, tanda-tandanya justru terdeteksi saat anak sudah tumbuh dewasa, terutama laki-laki [1,2].
Umumnya, autisme pada anak akan terlihat saat usianya menginjak 2 tahun walaupun ada pula yang kurang dari itu atau lebih dari itu [1,2].
Sejumlah gejala gangguan perilaku dan gangguan interaksi sosial yang terjadi pada anak dengan autisme antara lain [1,2] :
- Memiliki pola aktivitas yang sama setiap hari dan anak akan cenderung marah ketika berubah.
- Sensitivitas terhadap suara, sentuhan, dan cahaya sangat tinggi.
- Sensitivitas terhadap rasa sakit kurang karena anak tidak merespon.
- Memilih makanan yang sama terus-menerus, termasuk tekstur makanan tertentu.
- Menggerakkan tubuhnya secara berulang, seperti ayunan tubuh ke depan belakang atau mengibas-ngibaskan tangannya.
- Memiliki sikap dan gerak tubuh yang tidak seperti anak lainnya, salah satunya adalah anak dapat berjalan berjinjit.
- Menghindari kontak fisik saat berkomunikasi dengan orang lain.
- Cenderung tak merespon ketika seseorang memanggilnya walaupun sebenarnya tak ada yang salah dengan fungsi pendengaran.
- Memilih bermain sendiri dan tidak ingin berbagi maupun berbicara dengan orang lain saat menggunakan waktunya.
- Senang berada di dunia sendiri sehingga lebih sering tampan menyendiri.
- Tidak memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain.
- Tidak pernah mengekspresikan emosinya.
- Kesulitan dalam memahami petunjuk maupun pertanyaan yang simpel.
- Berbicara dengan nada datar.
- Menghindari kontak mata setiap berkomunikasi dengan orang lain.
- Senang mengulang kata tanpa pemahaman penggunaan kata tersebut.
- Kesulitan dalam memulai percakapan maupun saat harus meneruskannya.
Terdapat juga sejumlah kondisi lain yang dapat penderita autisme alami, yakni [3] :
Saat seorang pengidap autisme mulai terbatas dalam interaksinya dengan orang lain serta dalam kemampuan bicara, hal ini sudah seharusnya memperoleh penanganan [1,2].
Terutama apabila anak tidak mampu memberi respon baik dari ekspresi wajah maupun gestur tubuh, kondisi ini sebaiknya segera melalui perawatan [1,2].
Untuk membantu penderita autisme pulih dan mengalami peningkatan keterampilan dasar, berikut ini adalah jenis-jenis terapi untuk anak autis yang dapat diandalkan.
Daftar isi
1. Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis)
Applied Behaviour Analysis (ABA) adalah jenis terapi di mana terapis akan mengawali prosedur dengan memahami perilaku pasien lalu mengubahnya [2,4].
Tidak sekadar pemahaman terhadap perilaku pasien, terapis pada terapi ABA ini akan mengajarkan keterampilan baru kepada para pasien [2,4].
Dari peningkatan keterampilan tersebut, perilaku yang cenderung negatif dari pasien dapat berkurang atau berubah nantinya [2,4].
Beberapa jenis keterampilan yang akan terapis ajarkan dan bimbing pada pasien autisme adalah [2,4] :
- Meningkatkan kemampuan bahasa agar komunikasi anak dengan orang lain lebih baik dan lancar.
- Meningkatkan kemampuan pengelolaan perilaku anak terutama saat dalam situasi interaksi sosial.
- Membantu mengurangi perilaku negatif anak, terutama jika anak suka melakukan tindakan agresif.
- Meningkatkan fokus, perhatian, daya ingat, dan sisi akademis anak.
- Meningkatkan keterampilan dalam bersosialisasi, termasuk bermain dan berbagi dengan orang lain.
- Memampukan anak belajar merawat diri sendiri.
Terapis akan sangat sabar selama proses terapi ini, salah satunya dalam mengajarkan anak sampai paham dan mampu mengikuti petunjuk secara verbal [4,5].
Selain itu, terapis akan mengajarkan anak membaca dan menulis, menirukan gerakan dan ucapan orang lain, merespon panggilan atau perkataan orang lain, serta mendeskripsikan suatu obyek [4,5].
ABA adalah jenis terapi yang akan dibantu oleh terapis bersertifikasi sehingga program pengajaran ini harus diterapkan oleh seorang profesional di bidangnya.
Jika pun orang tua atau guru ingin menerapkan metode ini, mereka perlu melalui pelatihan lebih dulu dari ahlinya agar dapat melakukan penerapan secara tepat.
Jika ingin mengetahui lebih detail mengenai terapi ABA, penting untuk berkonsultasi dengan dokter yang menangani si kecil secara langsung.
2. Terapi Okupasi
Terapi okupasi merupakan jenis terapi yang mampu membantu orang-orang dengan gangguan pada mental, keterbatasan fisik, hingga kelainan kemampuan kognitif [2,6,7].
Terapi ini umumnya harus berada di bawah pengawasan dan pendampingan dokter spesialis rehabilitasi medis [2,6,7].
Perawatan ini akan memampukan anak dengan autisme untuk dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari secara normal seperti anak lainnya [6,7].
Terapi okupasi biasanya juga akan meliputi terapi kognitif, rehabilitasi fisik, penilaian aktivitas kehidupan sehari-hari, serta bantuan atau dukungan ketersediaan alat bantu apabila pasien membutuhkannya agar mampu beraktivitas mandiri [6,7].
3. Floortime
Floortime adalah jenis terapi lainnya bagi anak penderita autisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Stanley Greenspan [8].
Floortime pada dasarnya merupakan terapi bermain sebab fokus aktivitas terapi adalah dengan mengajak anak bermain untuk menstimulasi perkembangan kecerdasan serta emosi anak [2,8].
Namun pada terapi ini, anak akan menentukan permainan apa yang ingin dimainkan sesuai ide dan minatnya [2,8].
Anak dapat memberikan arahan, namun saat orang tua mengikuti arahan tersebut, orang tua bisa memberi tantangan kepada anak agar kecerdasannya terstimulasi [2,8].
Dengan floortime yang dilakukan khususnya oleh orang tua anak penderita autisme, anak akan mengalami beberapa manfaat ini [8] :
- Kreativitas meningkat melalui aktivitas menggambar dan menyusun cerita maupun elemen imajinasi.
- Merasa diapresiasi, disayang, diterima, lebih berempati, dan lebih percaya diri.
- Keterampilan motorik halus dan kasar meningkat.
- Potensi sensorik meningkat, terutama dengan keterlibatan ketujuh sistem indera.
- Memiliki karakter mental yang berkembang dengan sehat.
- Mengalami kedekatan dengan orang tua secara emosional.
- Kemampuan dalam berpikir logis dan memecahkan masalah meningkat.
- Kemampuan berkomunikasi meningkat, terutama secara reseptif, ekspresif, verbal dan non-verbal.
Floortime adalah terapi yang dapat dilakukan oleh orang tua dengan anak setiap hari dengan durasi 20-30 menit per harinya agar kedetakan terbangun secara lebih sehat [2,8].
4. Terapi Visual
Terapi visual adalah terapi yang memanfaatkan metode PECS (picture exchange communication) maupun penggunaan metode pembalajar lewat video [9,10].
Anak autis biasanya kaya akan imajinasi sehingga proses pemahaman mereka akan suatu hal jauh lebih mudah [9,10].
Melalui visualisasi, anak-anak autisme diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berkomunikasi sekaligus meningkatkan keterampilannya [9,10].
Video yang biasanya digunakan untk menerapi anak autis ini adalah video modeling, video games, atau sistem komunikasi elektronik lainnya sesuai dengan minat sekaligus pilihan terapis [9,10].
5. Terapi Fisik
Fisioterapi atau terapi fisik juga merupakan salah satu terapi untuk anak autis yang bertujuan meningkatkan kemampuan motorik [11,12].
Anak dengan autisme biasanya mengalami gangguan perkembangan pervasif di mana perkembangan otak lebih lambat dan kemampuan motorik juga terhambat [11,12].
Terapi fisik akan membantu dalam hal tersebut, termasuk meningkatkan kemampuan koordinasi tubuh anak, kemampuan dasar dalam berolahraga, dan mengembangkan kekuatan ototnya [11,12].
6. Intervensi Perilaku Verbal
Intervensi perilaku verbal atau intervensi komunikasi merupakan jenis terapi yang umum ditempuh oleh anak-anak dengan gangguan spektrum autisme [13].
Tujuan terapi ini pun hampir sama dengan beberapa terapi lainnya, yakni meningkatkan kemampuan komunikasi dan perilaku anak autis secara verbal maupun nonverbal [13].
Anak-anak autis yang mengalami kesulitan bicara karena masalah bahasa dan kemampuan komunikas dapat mengalami perkembangan setelah melalui terapi ini [13].
Anak-anak dengan autisme yang membutuhkan intervensi komunukasi sebagai salah satu terapi bermanfaat adalah yang mengalami [13] :
- Ketidaksesuaian dalam menggunakan kata.
- Keterbatasan dalam penggunaan kata.
- Penggunaan kalimat, frase atau kata yang sama secara berulang.
- Ketidakmampuan dalam memulai atau meneruskan sebuah percakapan dengan orang lain.
- Ketidakmampuan dalam berbicara dengan orang lain.
- Keterbatasan dalam gestur tubuh dan ekspresi wajah.
Masalah-masalah tersebut seringkali tak disadari orang tua sebagai penghambat anak dalam berperilaku [13].
Kondisi-kondisi tersebut juga membuat kemampuan sosialisasi anak sangat kurang dan mengakibatkan kualitas hidup anak tidak maksimal [13].
Oleh sebab itu, terapi komunikasi sangat dibutuhkan oleh anak penderita autisme [13].
7. Terapi Sensori Integrasi
Pada anak-anak penderita autisme, perkembangan sensori integrasinya bisa saja mengalami gangguan [14].
Hal ini dapat berpengaruh negatif pada perilaku anak dan proses belajarnya [14].
Sensori integrasi sendiri adalah proses otak dalam mengatur dan menginterpretasikan informasi sensorik yang diterima dari luar tubuh (rasa, bau, suara, penglihatan, gerakan dan sentuhan) [14].
Melalui terapi sensori integrasi, anak autis akan memperoleh stimulus sensorik secara berulang dan bertahap namun terstruktur sehingga kemampuan belajar serta perilaku akan berkembang baik [14].
Tidak hanya itu, terapi ini sangat menolong anak dalam memroses informasi sensorik yang didapat oleh otaknya secara normal [14].
Jika terapi sensori integrasi telah dilalui oleh anak, biasanya hal ini akan diikuti dnegan penempuhan terapi okupasi [14].
Namun sebenarnya, terapi sensori integrasi dapat dilakukan di rumah di mana orang tua dan pengasuh bekerja sama menciptakan aktivitas-aktivitas tertentu yang berkaitan dengan terapi ini [14].
Setelahnya, anak bisa menjalani terapi okupasi dengan bantuan terapis profesional di bidang ini.
8. Terapi EIBI (Early Intensive Behavioural Intervention)
Anak penyandang autisme khususnya pada usia balita dapat menjalani terapi EIBI, yakni terapi yang menerapkan metode terstruktur dengan keterlibatan orang tua maupun anggota keluarga dekat lainnya [15].
EIBI adalah jenis terapi yang memiliki efektivitas tinggi dalam meningkatkan kemampuan anak berperilaku dasar yang baik [15].
Seiring perjalanan terapi ini, anak dapat merespon panggilan atau suara dari orang lain dan bahkan setidaknya dapat berbicara kepada orang tuanya ketika meminta sesuatu [15].
Perkembangan kemampuan dan perilaku anak penyandang autisme dapat terjadi cukup cepat menggunakan terapi ini [15].
9. Terapi DTT (Discrete Trial Training)
Terapi DTT tergolong sebagai terapi perilaku yang juga cukup efektif bagi para penyandang autisme [16].
Keterampilan dasar anak autis dapat meningkat dengan memanfaatkan penggunaan barang yang dekat dan mudah di sekitarnya [16].
Perantara belajar anak dalam terapi ini biasanya hanya memanfaatkan mainan atau makanan di sekitar anak, seperti misalnya saat ingin fokus mengajarkan warna merah, terapis dapat meminta anak menunjuk atau mengambilkan makanan atau mainan berwarna merah [16].
Pada terapi DTT, berikut ini adalah beberapa kemampuan yang umumnya anak peroleh dari menjalani terapi DTT [16].
- Melakukan aktivitas mandiri sederhana sehari-hari, seperti menggunakan alat makan maupun ketika harus berpakaian sendiri.
- Menulis dengan baik.
- Berbicara dan berinteraksi dengan orang lain secara jelas dan lebih baik.
Terapis dalam hal ini akan menyediakan hadiah sebagai penghargaan terhadap usaha anak. Ketika dihargai, anak akan lebih mudah dalam mengingat hal-hal yang telah ia pelajari dari terapi [16].
Biasanya, terapi DTT perlu dilakukan berulang supaya anak lebih mudah dan cepat dalam menguasai kemampuan-kemampuan tersebut [16].
Demikian sejumlah jenis terapi untuk anak autis yang umumnya dapat ditempuh oleh anak-anak penderita autisme dengan bantuan tenaga profesional maupun orang tua serta pengasuh.