Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Kontraktur Dupuytren adalah kondisi dimana tangan mengalami deformitas atau kelainan bentuk yang terjadi selama bertahun-tahun. Kelainan ini membuat salah satu atau lebih jari menekuk ke arah dalam. Jari
Daftar isi
Kontraktur Dupuytren merupakan sebuah kondisi gangguan kesehatan tangan di mana lapisan jaringan bawah kulit telapak tangan yang utamanya terpengaruh [1,2,3,4,5].
Jaringan bawah kulit telapak tangan ini dapat memendek maupun menebal seperti benang dan akan menarik satu atau lebih jari yang berakibat pada tertekuknya posisi jari [1,2,5].
Biasanya, hanya satu sisi tangan saja yang dapat mengalami kondisi ini, namun tidak menutup kemungkinan kedua tangan pun terpengaruh dalam waktu yang sama [4].
Umumnya, jari yang paling rentan terkena kontraktur Dupuytren adalah kelingking serta jari manis [1,2,4,5].
Meski hanya salah satu atau dua jari di awal, bila tak segera mendapatkan penanganan maka kondisi akan semakin serius dan tangan tak lagi berfungsi dengan baik [1,2,5].
Tinjauan Kontraktur Dupuytren adalah sebuah penyakit jari tangan yang disebabkan oleh penebalan lapisan jaringan bawah kulit telapak tangan sehingga memengaruhi kondisi jari (terutama bagian jari manis dan kelingking).
Belum diketahui jelas hingga kini faktor penyebab utama kontraktur Dupuytren.
Sekalipun cedera atau luka pada tangan kerap dikaitkan dengan penyakit ini, sebenarnya tidak ada bukti yang mengarah pada hal tersebut.
Namun untuk faktor risiko, berikut ini adalah beberapa faktor yang mampu meningkatkan peluang seseorang mengalami kontraktur Dupuytren.
Tinjauan Belum jelas penyebab kontraktur dupuytren secara pasti, namun faktor jenis kelamin, faktor genetik, faktor riwayat keluarga, penyakit diabetes, faktor usia, kebiasaan merokok, dan penggunaan alkohol berlebihan mampu memicu penyakit ini.
Kontraktur Dupuytren adalah sebuah kondisi yang berkembang cukup lambat sehingga gejalanya kemungkinan baru dirasakan bertahun-tahun kemudian [2].
Berawal dari kulit telapak tangan yang menebal, biasanya hal ini tak langsung disadari oleh penderita [1,2,3].
Penebalan kulit telapak tangan ini kemudian semakin berkembang dan lama-kelamaan nampak lekukan atau kerutan di kulit tersebut [1,4].
Selain itu, pada telapak tangan bagian tengah akan muncul gumpalan jaringan yang berbentuk benjolan [1,2,3,4].
Ketika disentuh, benjolan ini bersifat sensitif, namun tidak menimbulkan rasa sakit sama sekali [1,2,3,4].
Meski tidak sakit, penderita baru akan menyadari kondisi kontraktur Dupuytren saat hendak meraih atau memegang sesuatu.
Timbul rasa tak nyaman ketika akan memegang sesuatu dengan telapak tangan yang sudah terpengaruh [5].
Selain kesulitan dalam meraih benda, kulit telapak tangan pun berubah mengerut.
Jari manis dan jari kelingking (dua jari yang letaknya paling jauh dari ibu jari) adalah yang paling rentan terkena [1,2,4,5].
Pada beberapa kasus, ada pula yang mengalaminya di jari tengah, sedangkan telunjuk dan ibu jari sangat jarang [2].
Kontraktur Dupuytren dapat terjadi pada salah satu maupun kedua tangan. Namun ketika terjadi pada dua tangan, satu tangan memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi.
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Ketika gejala berupa benjolan timbul di tengah telapak tangan, pastikan untuk segera ke dokter walaupun tidak sakit sewaktu disentuh.
Menempuh pemeriksaan dan melakukan konsultasi dengan dokter bertujuan mengonfirmasi apa penyebab timbulnya benjolan.
Benjolan yang muncul pun tidak selalu menandakan bahwa hal itu merupakan kondisi kontraktur Dupuytren.
Oleh sebab itu perlu diperiksakan agar dapat mengetahui kemungkinan penyebab dan penyebab yang pasti.
Tinjauan Kulit telapak tangan menebal, timbul benjolan di tengah telapak tangan, benjolan tidak terasa sakit saat disentuh, serta kesulitan dalam meraih maupun memegang benda adalah gejala utama kontraktur Dupuytren.
Ketika mengunjungi dokter untuk memeriksakan gejala berupa benjolan atau penebalan kulit di tangan, biasanya beberapa metode diagnosa ini yang diterapkan :
Dokter mengawali prosedur pemeriksaan dengan melihat, menyentuh dan meraba untuk mengetahui kondisi tangan pasien [2].
Dokter juga membandingkan satu tangan pasien dengan tangan lainnya maupun menekan telapak tangan maupun jari pasien.
Dari penebalan kulit maupun benjolan yang timbul, biasanya dapat merujuk pada kontraktur Dupuyren.
Meski demikian, dokter tetap merekomendasikan sejumlah tes penunjang untuk menegakkan diagnosa.
Dokter juga akan menanyakan sejumlah pertanyaan terkait riwayat gejala yang selama ini pasien rasakan [1,2].
Dokter biasanya pun ingin tahu apa saja riwayat medis, kebiasaan maupun pola hidup pasien, serta riwayat kesehatan keluarga pasien.
Prosedur rontgen atau sinar-X juga menjadi salah satu tes penunjang yang kemungkinan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa [1].
Rontgen tangan bertujuan untuk memeriksa apakah tulang tangan pasien mengalami kelainan.
Untuk memastikan apakah pasien menderita penyakit tulang, sendi maupun otot, metode rontgen dapat membantu.
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat medis dan rontgen merupakan metode-metode pemeriksaan yang umumnya digunakan untuk memastikan kondisi kontraktur Dupuytren.
Kontraktur Dupuytren dapat ditangani dengan beberapa metode, yakni sebagai berikut :
Dokter biasanya akan mengobservasi kondisi pasien lebih dulu, terutama bila benjolan tidak terasa sakit [1,2,4,5].
Pengecekan kondisi pasien selama 6 bulan berturut-turut akan membantu bagi dokter untuk melihat perkembangan penyakit pasien [1].
Pada awal kondisi atau gejala, dokter biasanya merekomendasikan terapi fisik dan okupasi yang juga melibatkan penggunaan gelombang ultrasonik [1,2,4,5].
Hal ini bertujuan untuk melatih tangan dan jari-jari pasien; hal ini juga biasanya diterapkan agar adhesi (pelekatan) tidak terjadi.
Dokter juga kemungkinan menyuntikkan obat kortikosteroid pada gejala awal kontraktur Dupuytren, terutama bila keluhan nyeri atau rasa sakit dialami [1,2].
Hanya saja, risiko gejala timbul kembali cukup tinggi, yaitu 50% karena tidak semua pasien kontraktur Dupuytren juga sesuai bila ditangani dengan obat ini.
Terapi radiasi pun dapat direkomendasikan oleh dokter khusus pada tahap awal kondisi kontraktur Dupuytren [1,2,6].
Namun, terapi radiasi hanya akan dianjurkan oleh dokter ketika beberapa komplikasi serius mulai nampak.
Untuk kasus kontraktur Dupuytren ringan, aponeurotomi jarum adalah prosedur invasif yang umumnya dapat menangani dengan baik [1,3,5].
Penggunaan jarum di sini bertujuan utama sebagai pemutus benang jaringan yang berkontraksi dengan jari [1].
Prosedur ini tidak kemudian sepenuhnya mampu mencegah agar kontraktur tidak terjadi kembali.
Kontraktur tetap dapat kambuh, namun prosedur jarum ini dapat pasien tempuh kembali usai berkonsultasi dengan dokter.
Suntikan enzim seperti pemberian injeksi kolagenase juga kiranya diperlukan oleh pasien sehingga dokter kerap merekomendasikannya [1,2,3,4,5].
Pemberian injeksi adalah metode penanganan kontraktur Dupuytren yang dianggap efektif karena terbukti mengurangi kontraktur sebesar 75% meski terdapat risiko kambuh 35% [1].
Namun, waspadai pula beberapa efek samping yang berpotensi terjadi seperti tendon pecah, kulit robek, dan edema [1].
Fasiektomi adalah tindakan bedah yang dapat membantu mengatasi gejala kontraktur Dupuytren [1,3,5].
Manfaat dari fasiektomi dapat dirasakan dalam jangka yang lebih panjang daripada memperoleh penanganan melalui enzim dan jarum [1].
Hanya saja, pemulihan membutuhkan waktu lebih lama apabila pasien memilih jalur operasi.
Tujuan fasiektomi adalah mengoreksi masalah pada jaringan bawah kulit telapak tangan pasien, namun tidak selalu berhasil.
Jika kurang efektif, seluruh jaringan yang berpotensi terpengaruh oleh kontraktur Dupuytren biasanya akan diangkat oleh dokter bedah.
Karena operasi artinya membuat sayatan, luka terbuka akan ditutup dengan penggunaan skin graft [1,7].
Karena membutuhkan waktu lebih lama untuk benar-benar pulih, terapi fisik tidak dapat segera dilakukan.
Terapi fisik dan okupasi kemungkinan baru dapat dijalani oleh pasien berbulan-bulan dari setelah menjalani operasi, menunggu tubuh pasien siap.
Pada kasus kontraktur Dupuytren yang ringan, cukup hindari mengepalkan tangan terlalu kuat atau memegang benda terlalu kuat.
Jika memang harus menggenggam benda kuat-kuat, pastikan untuk mengenakan sarung tangan dengan bantalan tebal agar lebih aman dan nyaman [2].
Jika kondisi persisten atau memburuk, jangan ragu untuk segera mengonsultasikannya dengan dokter.
Tinjauan Observasi, terapi fisik, terapi okupasi, injeksi kortikosteroid, terapi radiasi, aponeurotomi jarum, injeksi kolagenase, operasi dan perawatan mandiri merupakan bentuk penanganan kontraktur Dupuytren.
Bila gejala-gejala kontraktur Dupuytren tak segera ditangani, gejala dapat berkembang semakin buruk sehingga penderita kehilangan fungsi tangannya [1,2,5].
Aktivitas motorik seperti menulis biasanya tidak terlalu terganggu karena lebih membutuhkan jari telunjuk dan ibu jari [1].
Namun untuk aktivitas lain yang memerlukan peran penting jari manis, kelingking, maupun jari tengah, tentunya kontraktur Dupuytren akan sangat menghambat.
Bahkan lama-kelamaan tanpa penanganan yang tepat, tangan tak akan dapat dibuka sepenuhnya [1,2].
Menggenggam benda berukuran besar pun menjadi lebih sulit dan bahkan bisa mustahil.
Tinjauan Kehilangan fungsi tangan merupakan risiko komplikasi yang paling berat, terutama bila kontraktur Dupuytren tak cepat ditangani.
Hingga kini belum diketahui adanya cara yang terbukti efektif dalam mencegah penyakit kontraktur Dupuytren [2].
Bahkan cara untuk menghambat atau sekedar memperlambat perkembangan gejala pun belum tersedia.
Namun dengan deteksi dan penanganan dini, yakni melalui terapi dan rehabilitasi, pasien dapat mempercepat masa pemulihan [2].
Pada kondisi awal, kontraktur Dupuytren masih tergolong ringan, sehingga pengobatan yang diberikan pun meningkatkan peluang meredanya gejala.
Tinjauan Belum terdapat cara mencegah kontraktur Dupuytren, namun deteksi dan penanganan kondisi sejak dini akan setidaknya memperlambat perkembangan gejala dan mencegah risiko komplikasinya.
1. Joel Walthall; Prashanth Anand; & Uzma H. Rehman. Dupuytren Contracture. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. A Bayat & DA McGrouther. Management of Dupuytren's Disease – Clear Advice for an Elusive Condition. Annals the Royal College of Surgeons of England; 2006.
3. Aditya Sood, MD, Angie Paik, BA, & Edward Lee, MD. Dupuytren's Contracture. Open Access Journal of Plastic Surgery; 2013.
4. W A Townley, R Baker, N Sheppard, & A O Grobbelaar. Dupuytren's contracture unfolded. The British Medical Journal; 2006.
5. Rita Grazina, Sérgio Teixeira, Renato Ramos, Henrique Sousa, Andreia Ferreira, & Rui Lemos. Dupuytren’s disease: where do we stand?. EFORT Open Reviews; 2019.
6. Nicolas Betz, Oliver J Ott, Boris Adamietz, Rolf Sauer, Rainer Fietkau, & Ludwig Keilholz. Radiotherapy in early-stage Dupuytren's contracture. Long-term results after 13 years. Strahlentherapy und Onkologie; 2010.
7. M A Tonkin, F D Burke, & J P Varian. Dupuytren's contracture: a comparative study of fasciectomy and dermofasciectomy in one hundred patients. Journal of Hand Surgery; 1984.
8. Risa Esa Nanda Putra. Hubungan Gangguan Muskuloskeletal pada Pasien Diabetes Melitus di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Repository Universitas Diponegoro; 2012.