Daftar isi
Pantophobia yang juga dikenal dengan istilah panophobia dan omniphobia merupakan fobia spesifik di mana seseorang memiliki rasa takut berlebih dan cenderung irasional terhadap segala hal [1,2].
Berasal dari bahasa Yunani, panto sendiri berarti semua atau segala hal; maka pantophobia adalah ketakutan ekstrem yang bersifat sangat luas terhadap banyak hal berbeda [1,2].
Pantophobia pun selama berabad-abad dikenal sebagai sebuah kondisi kecemasan berlebih yang sulit dikendalikan karena bersifat intens dan persisten [1,2,3,6].
Pantophobia bahkan sempat dipelajari sebagai sebuah reaksi panik oleh literatur sains pada abad ke-18 [3,6].
Respon panik ini bisa timbul dalam berbagai bentuk, seperti ketakutan tiba-tiba seperti sedang diteror, kekhawatiran ekstrem, ketegangan pada tubuh, detak jantung mendadak lebih cepat, kulit memucat, dan nyeri fisik [1,2,3].
Tinjauan Pantophobia merupakan sebuah kondisi takut berlebih dan irasional terhadap segala hal atau banyak hal yang berbeda.
Belum diketahui secara jelas apa yang dapat menjadi penyebab seseorang mengalami ketakutan terhadap berbagai hal.
Namun seperti pada kondisi fobia lainnya, berikut ini adalah faktor-faktor yang mampu meningkatkan risiko seseorang mengalami pantophobia :
Trauma dapat terjadi pada siapa saja, terutama ketika masih usia kanak-kanak [1,2,4,5].
Fobia rata-rata berkembang dari usia anak karena salah satunya mengalami hal-hal tak menyenangkan [1,2,4,5].
Baik itu cedera, kecelakaan, maupun kekerasan fisik serta mental bisa membuat seseorang mengalami fobia atau gangguan kecemasan [1,2,4,5].
Faktor genetik atau keturunan menjadi salah satu faktor paling potensial dibalik kecemasan dan ketakutan berlebih yang dialami seseorang [2,4,5].
Anggota keluarga (khususnya orang tua) dengan kondisi gangguan kecemasan atau fobia mampu menurunkan kondisi serupa kepada anak-anaknya [2,4,5].
Oleh sebab itu, seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki riwayat gangguan mental tertentu berpotensi lebih besar untuk mengalami hal yang sama atau serupa [2,4,5].
Faktor jenis kelamin pun turut berperan meningkatkan risiko pantophobia, terutama pada wanita [7].
Ini karena gangguan kecemasan lebih berisiko terjadi pada wanita daripada pria [7].
Jumlah wanita dengan gangguan kecemasan lebih besar daripada pria dengan kondisi sama [7].
Faktor lingkungan menjadi salah satu alasan mengapa seseorang bisa mengembangkan fobia, termasuk pantophobia [1,2,4,5].
Entah itu saudara atau teman, ketika seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki gangguan kecemasan atau ketakutan terhadap kondisi atau obyek tertentu, risiko untuk mengembangkan rasa cemas dan takut yang sama cukup besar [1,2,4,5].
Tinjauan Trauma karena pernah mengalami hal tidak menyenangkan, faktor genetik/keturunan, faktor lingkungan, serta jenis kelamin (wanita lebih berpotensi besar mengalami fobia dan kecemasan) menjadi faktor peningkat risiko pantophobia.
Penderita pantophobia umumnya merasakan cemas setiap waktu dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tidak wajar dibandingkan dengan kecemasan biasa yang dialami orang lain.
Seperti pada kasus fobia lainnya, pantophobia dapat menimbulkan gejala fisik, gejala psikologis, maupun gejala perilaku seperti berikut [1,2,4,5] :
Seseorang dengan pantophobia dapat berteriak atau menangis kencang ketika dihadapkan pada beberapa hal berbeda dalam satu waktu yang menimbulkan ketakutannya.
Karena rasa takut dan cemas berlebihan ini, penderita kerap merasa energinya terkuras sehingga menjadi lemah, letih dan lesu.
Perbedaan gangguan kecemasan dan panik yang dialami penderita fobia dengan kecemasan biasa adalah rasa cemas, takut dan panik pada fobia akan bertahan lama [8].
Bahkan ketika pemicunya sudah tidak ada, perasaan, reaksi, maupun perilaku negatif tersebut masih terasa begitu nyata [8].
Hal ini kemudian bisa sampai pada tahap segala rutinitas menjadi terhambat karena penderita cenderung menghindari hal-hal yang ia takuti [8].
Tinjauan Gejala fisik seperti pusing, mual, berkeringat lebih banyak, sesak nafas, hingga gemetaran dan pingsan dapat terjadi pada penderita pantophobia saat berada di sekitar obyek atau situasi yang ditakuti. Karena rasa takut, panik dan cemas yang besar, penderita pun cenderung menghindari segala hal yang berhubungan dengan obyek maupun situasi yang membuatnya takut.
Tidak terdapat metode khusus untuk memeriksa dan mendiagnosa fobia spesifik.
Evaluasi psikologis menggunakan panduan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th Edition) adalah yang utama dilakukan oleh para ahli kesehatan mental [9].
Dokter akan memeriksa apakah gejala-gejala yang pasien alami masuk dalam kriteria diagnostik DSM-5 sebagai berikut [9] :
Terapis umumnya akan memeriksa fisik pasien, menanyakan gejala apa saja yang sempat dialami, baik itu gejala psikologis maupun gejala fisik [9].
Terapis perlu tahu apakah di keluarga pasien ada yang pernah atau sedang menderita gangguan kecemasan maupun fobia tertentu [9].
Terapis pun mengumpulkan informasi tentang apa saja faktor, obyek atau situasi yang mampu memicu timbulnya gejala-gejala pantophobia [9].
Pasien juga perlu menginformasikan kepada terapis mengenai bagaimana biasanya pasien menghadapi rasa takut tersebut [9].
Atau setidaknya, pasien bisa memberi tahu terapis hal-hal apa saja yang dapat membuat kecemasan menjadi lebih buruk maupun menjadi lebih baik [9].
Untuk memastikan kondisi pasien, terapis juga biasanya akan menanyakan tentang apa saja yang tengah mengganggu pikiran dan perasaan pasien [9].
Pasien kemungkinan perlu membuat daftar apa saja yang membuatnya stres belakangan, seperti masalah pekerjaan, masalah di sekolah, masalah rumah tangga, atau lainnya [9].
Terapis pun perlu mengetahui obat dan suplemen apa saja yang pernah atau tengah dikonsumsi pasien (termasuk herbal maupun vitamin) [9].
Tinjauan Pemeriksaan gejala pantophobia untuk memastikan kondisi pasien biasanya dilakukan dengan kriteria diagnostik DSM-5 disertai pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan pasien.
Gangguan kecemasan maupun fobia biasanya ditangani dengan psikoterapi yang seringkali dikombinasi bersama pemberian obat-obatan antidepresan.
Terapi ini sudah banyak diterapkan pada pasien penderita fobia dengan hasil yang tergolong efektif [2].
Terapi perilaku kognitif berfokus pada identifikasi masalah yang menimbulkan reaksi negatif dari pasien [2].
Setelah teridentifikasi, maka terapis akan membantu pasien mengubah dan memperbaiki pikiran, reaksi, dan perilaku pasien yang negatif dan cenderung irasional [2].
Dengan proses pengubahan dan perbaikan ini, biasanya gejala akan berkurang secara bertahap dan tentunya pasien tetap perlu melakukan pemeriksaan bahkan ketika gejala sudah tidak lagi dirasakan [2].
Terapi eksposur merupakan metode dan proses pemaparan pasien kepada obyek maupun situasi yang menyebabkan rasa takut berlebih itu muncul [1,2,4,5].
Pasien yang menjalani terapi ini akan dibantu oleh terapis dalam mengenali gejala dan pemicunya [10].
Pasien juga akan memelajari teknik pernafasan supaya mampu mengontrol rasa takut, panik dan cemas ketika berhadapan dengan sumber ketakutan [10].
Terapis pun dapat menyediakan serta menunjukkan video, audio, maupun gambar obyek yang ditakuti oleh pasien; pemaparan seperti ini biasanya dilakukan pada porsinya sehingga tidak berlebihan [10].
Terapis juga akan mengorek perlahan dan dalam tentang pengalaman traumatis pasien yang artinya pasien diminta untuk mengingat kembali kejadian tak menyenangkan di masa lalu [10].
Namun dengan demikian, terapis mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi pada pasien lalu membantu agar pikiran dan reaksi negatif pasien bisa diubah menjadi positif [10].
Untuk meredakan kecemasan, obat-obatan yang dapat digunakan oleh pasien sambil menempuh terapi adalah SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors), SNRI (selective norepinephrine reuptake inhibitors) dan benzodiazepine [4].
Obat-obat ini diresepkan untuk meredakan gejala kecemasan yang sudah tergolong parah [4].
Jika sebelumnya jarang berolahraga atau bahkan tidak pernah, maka pasien dapat mulai rutin melakukannya [1,2,11].
Mulai dari latihan konsentrasi, latihan Yoga, olahraga dan meditasi akan sangat membantu dalam mengelola stres dan gejala gangguan kecemasan, termasuk kecemasan terkait fobia [1,2].
Menerapkannya sehari-hari baik semua atau salah satunya secara bergantian sangat bermanfaat bagi tubuh dan pikiran [1,2].
Olahraga seminggu setidaknya 3 kali lebih dianjurkan agar stres dapat dikelola secara lebih baik [11].
Terapi satu ini baik bagi para penderita pantophobia maupun fobia spesifik lainnya [1,12].
Tujuan penempuhan terapi ini adalah untuk membantu pasien lebih menyadari bagaimana cara otak dalam menciptakan realita [1,12].
Terapi ini bermanfaat dalam mengubah atau memperbaiki pikiran dan imajinasi negatif yang kerap timbul ketika berhadapan dengan sumber ketakutan [1,12].
Tinjauan Penanganan pantophobia adalah seperti pada penanganan fobia spesifik pada umumnya, yakni melalui psikoterapi (terapi perilaku kognitif dan terapi eksposur), obat-obatan, perubahan pola hidup, serta terapi neuro linguistic programming.
Risiko komplikasi paling tinggi pada penderita pantophobia adalah kecemasan yang semakin intens [1,2,4].
Ketika hal ini terjadi, tak hanya kesehatan mental yang semakin terganggu, hubungan sosial atau pergaulan, bahkan performa di sekolah maupun dalam pekerjaan akan terpengaruh secara negatif [1,2,4].
Isolasi diri hingga keinginan bunuh diri adalah kemungkinan komplikasi terburuk karena pasien selalu merasa sedang dalam bahaya [13].
Dengan sumber ketakutan yang beragam dan cukup banyak, tingkat stres pasien menjadi lebih tinggi di mana jika gejala tak ditangani segera, gejala semakin tidak dapat dikendalikan.
Tinjauan Peningkatan kecemasan maupun stres diikuti dengan isolasi diri, terhambatnya kehidupan sehari-hari, penurunan kualitas hidup hingga keinginan dan aksi bunuh diri adalah risiko komplikasi yang perlu diwaspadai.
Belum diketahui bagaimana cara mencegah fobia spesifik, termasuk pantophobia.
Namun bila gejala-gejala mulai timbul, memeriksakan diri secara dini sangat dianjurkan.
Kondisi yang cepat terdiagnosa juga akan lebih cepat memperoleh penanganan sehingga mampu meminimalisir risiko komplikasi.
Tinjauan Pemeriksaan gejala pantophobia secara dini akan membantu pasien mendapatkan penanganan secepatnya supaya meminimalisir risiko komplikasi.
1. Jacob Olesen. Fear of Everything Phobia – Panophobia or Pantophobia. FearOf; 2015.
2. Anonim. What is Panophobia? Exploring Your Mind; 2021.
3. Marc-Antoine Crocq, MD. The history of generalized anxiety disorder as a diagnostic category. Dialogues in Clinical Neuroscience; 2017.
4. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
5. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
6. Marc-Antoine Crocq, MD. A history of anxiety: from Hippocrates to DSM. Dialogues in Clinical Neuroscience; 2015.
7. Johan Nilsson. Generalized Anxiety Disorder (GAD) and Anxiety Symptoms in Older Adults. Gothenburg University Publications Electronic Archive; 2019.
8. Lisa Fritscher & David Susman, PhD. How Phobias Differ From Other Mental Disorders. Verywell Mind; 2020.
9. Lisa Fritscher & Daniel B. Block, MD. DSM-5 Diagnostic Criteria for a Specific Phobia. Verywell Mind; 2020.
10. David Sars & Agnes van Minnen. On the use of exposure therapy in the treatment of anxiety disorders: a survey among cognitive behavioural therapists in the Netherlands. BMC Psychology; 2015.
11. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BMC Health Services Research; 2018.
12. Mahishika Karunaratne. Neuro-linguistic programming and application in treatment of phobias. Complement Therapies in Clinical Practice; 2010.
13. Kristyna Vrbova, Jan Prasko, Marie Ociskova, Michaela Holubova, Krystof Kantor, Antonin Kolek, Aleš Grambal, & Milos Slepecky. Suicidality, self-stigma, social anxiety and personality traits in stabilized schizophrenia patients – a cross-sectional study. Neuropsychiatric Disease and Treatment; 2018.