Paraphobia adalah salah satu jenis fobia spesifik di mana seseorang mengalami ketakutan irasional dan berlebihan terhadap gangguan atau penyimpangan seksual [1,2].
Fobia ini dapat terjadi pada seseorang karena sejumlah faktor seperti pengaruh budaya tertentu [1,2].
Seseorang dengan paraphobia dapat mengalami antara takut terhadap penyimpangan seksual yang orang lain miliki dan takut dirinya sendiri memiliki penyimpangan seksual tertentu [1,2].
Penderita paraphobia dapat mengalami kecemasan dan kepanikan berlebih walaupun hanya memikirkan tentang penyimpangan seksual [1,2].
Maka kondisi penderita akan jauh lebih berbahaya dan buruk apabila sampai mengalaminya secara pribadi [1,2].
Penderita paraphobia akan menghindari dan menolak untuk berhubungan seksual dengan seseorang yang diketahui memiliki minat seksual yang tidak sewajarnya dan tidak dianggap normal di masyarakat [1].
Tinjauan Paraphobia adalah fobia (ketakutan irasional dan berlebihan) terhadap penyimpangan seksual baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Daftar isi
Belum diketahui jelas penyebab paraphobia maupun fobia spesifik lain pada umumnya.
Namun beberapa faktor di bawah ini dapat menjadi faktor peningkat risiko atau pemicu timbulnya fobia penyimpangan seksual.
Seperti pada kasus fobia lainnya, faktor genetik cukup menentukan apakah seseorang memiliki risiko mengembangkan kondisi fobia tertentu [1,2,3,4,5].
Jika anggota keluarga inti (khususnya orang tua) mempunyai riwayat depresi, fobia spesifik, atau gangguan kecemasan dan gangguan mental lainnya, maka anak memiliki risiko lebih tinggi mengalami hal serupa [1,2,3,4,5].
Kondisi otak yang mengalami perubahan kimia atau gangguan fungsi dapat meningkatkan risiko kesehatan mental terganggu [1,5].
Tidak hanya fobia, perubahan neurotransmitter dalam otak bisa menjadi penyebab timbulnya kondisi gangguan kecemasan [1,5].
Seseorang bahkan dapat memiliki kondisi paraphobia karena melihat orang tuanya yang menderita gangguan kecemasan atau fobia tertentu [1,2].
Fobia kemudian berkembang dalam diri anak karena mengamati lingkungan keluargannya (dalam hal reaksi dan perilaku) yang juga memiliki kondisi serupa [1,2].
Budaya dan segala hal yang berkaitan dengan keagamaan tertentu dapat pula menjadikan seseorang memiliki paraphobia [1].
Beberapa orang mungkin dibesarkan di tengah keluarga yang menganut adat, budaya atau bahkan kepercayaan tertentu yang berkaitan dengan tabunya hal seksual [1].
Semakin dewasa, seseorang bisa mengembangkan paraphobia di dalam dirinya karena hal ini [1].
Fobia spesifik umumnya dialami oleh seseorang karena pengalaman traumatis yang sempat terjadi di masa lalu (khususnya masa kanak-kanak) [1,2,4,5].
Pengalaman buruk yang berkaitan dengan hal-hal seksual dan membuat trauma tentu akan menumbuhkan rasa panik, cemas dan takut berlebihan seiring anak bertumbuh besar [1,2].
Seseorang yang memiliki kondisi ketakutan berlebih terhadap beberapa hal seperti halnya takut terhadap keintiman, takut penolakan, dan takut dipermalukan/dihina berpotensi menderita paraphobia [1].
Ketakutan-ketakutan tersebut justru dapat menjadi dasar dari timbulnya ketakutan irasional terhadap penyimpangan seksual [1].
Tinjauan Paraphobia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari faktor genetik, keabnormalan fungsi otak, faktor lingkungan, budaya tertentu, pengalaman traumatis, hingga fobia lain yang serupa (seperti takut keintiman dan takut terhadap penolakan).
Gejala paraphobia pada umumnya sama seperti fobia lainnya yang meliputi gejala psikologis, gejala fisik, dan gejala perilaku.
Tidak hanya berlebihan, beberapa tanda paraphobia ini juga akan menghambat aktivitas penderitanya sehari-hari jika tak segera ditangani [1,2,4,5].
Tinjauan Gejala paraphobia umumnya meliputi gejala fisik, psikologis dan perilaku di mana penderita bahkan akan sebisa mungkin menghindari topik pembicaraan mengenai penyimpangan seksual.
Untuk mendiagnosa paraphobia, evaluasi psikologis perlu dilakukan sebagai metode utama.
Evaluasi psikologis akan berdasar pada kriteria DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) [1,6].
Jika gejala pasien memenuhi kriteria-kriteria panduan DSM-5 dari American Psychiatric Association, maka bisa dipastikan pasien mengalami fobia spesifik (dalam hal ini paraphobia) [6].
Melalui pemeriksaan psikologis dengan panduan kriteria DSM-5, dokter baru dapat mengeliminasi sejumlah kondisi mental yang memiliki kemiripan gejala [1].
Beberapa kondisi mental yang perlu dipastikan bukan menjadi penyebab gejala pasien adalah erotophobia (fobia terhadap aktivitas seksual), gangguan obsesif kompulsif, gangguan kepribadian paranoid, skizofrenia, dan gangguan penggunaan obat terlarang [1,7].
Untuk menentukan perawatan yang tepat dan sesuai dengan kondisi pasien, terapis atau dokter perlu mengumpulkan informasi lebih detail lagi tentang kondisi pasien [6].
Oleh sebab itu, pasien kemungkinan akan diminta membuat daftar mengenai gejala apa saja yang dialami ketika dihadapkan pada sumber ketakutan [6].
Pasien juga sebaiknya menginformasikan tentang faktor pemicu, bagaimana cara pasien selama ini mengatasi ketakutannya, serta segala hal yang membuat ketakutan/kecemasan memburuk maupun membaik [6].
Jika pasien mengalami adanya masalah di dalam kehidupan pribadinya, semacam masalah dalam hubungan, masalah dalam pekerjaan, hingga riwayat pengalaman buruk, ada kalanya terapis perlu mengetahuinya juga [6].
Informasi tentang obat apa saja yang selama ini digunakan atau sedang dikonsumsi pun perlu diberitahukan kepada terapis [6].
Suplemen, herbal dan vitamin yang tengah digunakan dapat diinformasikan kepada terapis karena terdapat kemungkinan gejala kecemasan dan kepanikan memburuk karena efek obat tertentu [6].
Tinjauan Pemeriksaan paraphobia meliputi pemeriksaan psikologis dengan panduan kriteria DSM-5.
Fobia spesifik rata-rata memiliki penanganan yang hampir sama, termasuk pada kasus paraphobia yang juga membutuhkan penanganan psikoterapi serta obat-obatan.
Terapi perilaku kognitif adalah metode psikoterapi yang paling umum digunakan dalam mengatasi fobia spesifik maupun gangguan mental lainnya [1,2,8].
Tujuan kombinasi terapi perilaku dan terapi kognitif ini adalah memperbaiki reaksi, perilaku dan pikiran negatif pasien menjadi lebih positif [1,2,8].
Reaksi, perilaku serta pola pikir pasien yang selalu negatif hanya akan memicu keputusasaan serta penarikan diri dari orang lain [1,2,8].
Oleh karena itu, hal ini perlu diubah menjadi lebih baik melalui bantuan terapis (psikolog atau psikiater) di mana seberapa banyak dan lama sesi terapi disesuaikan dengan tingkat kecemasan, jenis gangguan, dan tingkat keparahan gejala pasien [1,2,8].
Durasi terapi perilaku kognitif per sesi adalah 30-60 menit dan pasien akan dibantu agar merasa rileks selama prosedur ini dilakukan [8].
Setelah nyaman, terapis akan menanyai pasien tentang latar belakang pasien sekaligus riwayat trauma pasien sehingga masalah yang selama ini dialami pasien dapat terbagi [8].
Usai pemicu diketahui, akan lebih mudah bagi terapis membantu pasien untuk mengubah reaksi, pola pikir dan perilaku supaya pasien sendiri perlahan mampu menghadapi sumber ketakutannya [8].
Terapi eksposur adalah metode psikoterapi lainnya yang juga membantu menangani gangguan kecemasan maupun fobia spesifik [1,2,4,5,7].
Efektivitas dari terapi ini cukup tinggi untuk penderita paraphobia. Pasien akan didampingi oleh terapis selama proses eksposur terhadap sumber ketakutan [1,2,4,5,7].
Pemulihan akan terjadi secara bertahap namun progresif sampai pasien mampu mengendalikan gejala-gejala yang dialami setiap berhadapan dengan sumber ketakutannya [1,2,4,5,7].
Terapi eksposur umumnya dikombinasikan bersama terapi perilaku kognitif agar reaksi dan pikiran negatif pasien dapat teratasi [1,2,4,5,7].
Apabila paraphobia dialami oleh pasien dan memiliki kaitan dengan budaya atau agama tertentu, maka sebaiknya datang kepada orang yang tepat [1].
Berkonsultasi dengan pemuka agama terpercaya dapat menjadi salah satu cara yang menyertai psikoterapi [1].
Pada beberapa pasien, selain psikoterapi terapis akan meresepkan obat-obatan untuk meredakan gejala serangan panik dan gangguan kecemasan [1,5,7].
Obat-obatan yang umumnya diberikan kepada pasien adalah benzodiazepine dan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors) [1,5,7].
Kombinasi penggunaan obat dan psikoterapi diharapkan lebih bermanfaat dan mempercepat pemulihan pasien [1].
Untuk memaksimalkan pemulihan, pasien pun dianjurkan untuk mulai mengatur pola hidupnya agar menjadi lebih baik serta seimbang.
Melakukan olahraga setidaknya seminggu 3 kali, bermeditasi, melatih pernafasan, maupun melakukan Yoga akan sangat mendukung dalam pengelolaan stres [2,10,11].
Olahraga adalah salah satu cara melepas hormon stres, maka hal ini akan mengendalikan rasa cemas maupun takut dalam diri pasien [2,10].
Sementara itu, meditasi, Yoga dan latihan pernafasan akan membantu menenangkan tubuh sekaligus pikiran [2,11].
Teknik relaksasi diterapkan dalam ketiga aktivitas tersebut yang nantinya dapat pasien praktekkan ketika dihadapkan dengan situasi atau sumber ketakutannya [2,10,11].
Karena paraphobia adalah sebuah kondisi takut berlebih terhadap penyimpangan seksual atau perbuatan seks yang tidak wajar di kalangan masyarakat umum, hal ini perlu dikomunikasikan apabila penderita paraphobia memiliki pasangan [1].
Mengomunikasikan apa yang tidak disukai dari aktivitas seksual membantu menumbuhkan rasa saling menghormati dan mengerti [1].
Jika memang diperlukan, keduanya dapat berkonsultasi dengan psikoterapis agar mendapatkan solusi terbaik dalam sebuah hubungan [1].
Tinjauan Paraphobia umumnya ditangani dengan psikoterapi (terapi eksposur dan terapi perilaku kognitif), obat-obatan antidepresan dan anticemas, perubahan pola hidup, dan komunikasi dengan pasangan mengenai aktivitas seksual yang disukai dan tidak disukai.
Seperti halnya kasus fobia lain yang tak tertangani secara cepat dan tepat, maka akan ada risiko komplikasi serius untuk kondisi penderitanya di masa mendatang.
Beberapa risiko komplikasi paraphobia yang dimaksud antara lain adalah [1,9] :
Paraphobia hingga saat ini belum diketahui pasti bagaimana cara mencegahnya.
Namun ketika gejala yang mengarah pada paraphobia dialami, segera ke psikolog atau psikiater untuk memeriksakan diri.
Penanganan dini tentu akan meminimalisir risiko komplikasi (akibat gejala yang dibiarkan terus memburuk).
Tinjauan Belum ada pencegahan untuk paraphobia, namun setidaknya dengan memeriksakan diri sejak awal dan memperoleh perawatan segera, risiko dapat dicegah agar tidak memburuk.
1. Lisa Fritscher & Daniel B. Block, MD. What Is Paraphobia?. Verywell Mind; 2021.
2. Psych Times. Paraphobia (Fear of Sexual Perversion). Psych Times; 2021.
3. E. K. Loken, J. M. Hettema, S. H. Aggen & K. S. Kendler. The structure of genetic and environmental risk factors for fears and phobias. Cambridge University Press; 2013.
4. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
5. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
6. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed. Washington, DC; 2013.
7. Chandan K. Samra & Sara Abdijadid. Specific Phobia. National Center for Biotechnology Information; 2021.
8. Suma P. Chand; Daniel P. Kuckel; & Martin R. Huecker. Cognitive Behavior Therapy. National Center for Biotechnology Information; 2021.
9. Johns Hopkins Medicine. Phobias. Johns Hopkins Medicine; 2021.
10. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BMC Health Services Research; 2018.
11. Josefien J. F. Breedvelt, Yagmur Amanvermez, Mathias Harrer, Eirini Karyotaki, Simon Gilbody, Claudi L. H. Bockting, Pim Cuijpers, & David D. Ebert. The Effects of Meditation, Yoga, and Mindfulness on Depression, Anxiety, and Stress in Tertiary Education Students: A Meta-Analysis. Frontiers in Psychiatry; 2019.