Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Media sosial telah menjadi kebutuhan bagi dunia modern. Media sosial dapat menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan banyak orang, membantu membangun dan mengembangkan bisnis, menyebarkan berita dengan
Saat ini sebagian besar orang sudah tidak bisa lepas dari media sosial. Meskipun bisa memberikan dampak positif dengan membuat orang tetap saling terhubung, penggunaan media sosial secara berlebihan justru bisa menyebabkan kecemasan, depresi, hingga bunuh diri.
Daftar isi
Saat ini, kebanyakan dari kita mengakses sosial media melalui smartphone atau tablet. Tentu saja ini jadi sangat memudahkan kita untuk tetap terhubunga dengan teman dan keluarga. Tapi, ini juga berarti sosial media menjadi platform bisa diakses setiap saat, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Konektivitas yang luar biasa dan terus menerus ini bisa memicu masalah pengendalian diri. Notifikasi yang terus menerus muncul di layar bisa mempengaruhi konsentrasi dan fokus, menganggu waktu tidur, bahkan membuat orang menjadi budak bagi smartphone-nya.
Platform media sosial memang dirancang untuk menjaring perhatian penggunanya, membuat mereka ingin terus online, dan secara berulang memeriksa gawai atau gadget-nya untuk melihat ada update apa.
Tanpa disadari, sama seperti keinginan untuk berjudi atau kecanduan terhadap nikotin, alkohol, atau obat-obatan, penggunaan media sosial juga bisa menyebabkan ketergantungan psikologis. [1, 4]
Saat seseorang mendapat respon yang diharapkannya atas konten atau post yang ia buat, otaknya akan terpicu untuk melepaskan dopamine, suatu zat kimia yang sama yang muncul ketika seseorang memenangkan perlombaan, makan coklat, atau merokok, misalnya. [1]
Semakin banyak seseorang mendapat penghargaan di media sosial, semakin banyak waktu yang ingin ia habiskan untuk mengaksesnya, meskipun sampai mengorbankan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Meskipun interaksi virtual di media sosial tidak memiliki keuntungan yang sama dengan kontak langsung, namun ia bisa tetap membantu banyak orang untuk saling terhubung dan mendapatkan dukungan positif dan pertolongan yang mereka butuhkan.
Berikut adalah beberapa manfaat dari media sosial: [1, 2, 3, 4]
Riset yang dilakukan atas penggunaan media sosial dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental, terutama penggunanya yang masih berusia anak-anak dan remaja, semakin banyak dilakukan.
Penelitian-penelitian ini berhubungan dengan semakin meningkatnya penggunaan media sosial serta hubungannya dengan berbagai gangguan kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, kesepian, menyakiti diri sendiri, bahkan pemikiran untuk bunuh diri. [1, 2, 3, 4]
Meskipun kita sudah tahu bahwa apa yang kita lihat di sosial media seringkali adalah hasil manipulasi, namun tetap bisa membuat kita merasa insecure atau tidak percaya diri.
Kita juga tahu bahwa kebanyakan orang cenderung hanya membagikan hal-hal yang menarik dan menyenangkan tentang kehidupan mereka, dan jarang sekali tentang masa-masa sulit yang sesungguhnya dialami semua orang. Tapi, tetap saja, bisa menimbulkan rasa cemburu dan ketidakpuasan akan kehidupan diri sendiri.
Meskipun istilah FOMO sudah ada jauh sebelum sosial media ada, namun perasaan ini menjadi semakin sering dialami orang-orang sejak meledaknya penggunaan media sosial.
FOMO membuat orang takut dirinya tidak cukup trendy atau keren ketika melihat teman-teman atau bahkan orang yang tidak dikenal pergi ke tempat-tempat yang sedang hits, atau memakai model baju paling baru.
Hal ini bisa mempengaruhi kepercayaan diri, memicu kecemasan, dan membuat orang malah semakin sering menggunakan media sosial supaya ia tetap tahu apa yang sedang populer di sekelilingnya dan tidak dianggap ketinggalan jaman.
FOMO bisa membuat orang terus menerus memeriksa smartphone-nya untuk melihat notifikasi, atau cepat-cepat membalas semua pesan yang masuk. Kadang-kadang hal ini tetap dilakukan meskipun sedang membawa kendaraan, harus kehilangan waktu tidur dan istirahat, atau lebih mendahulukan interaksi sosial media dibanding hubungan di dunia nyata.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Pennsylvania menemukan bahwa penggunaan Facebook, Snapchat, dan Instagram justru meningkatkan rasa kesepian. Studi ini juga menemukan bahwa mengurangi penggunaan media sosial sebenarnya akan mengurangi rasa kesepian dan memperbaiki kesehatan diri secara keseluruhan. [1]
Manusia membutuhkan kontak face-to-face agar bisa merasa sehat secara mental. Tidak ada yang bisa menurunkan stres dan meningkatkan mood lebih cepat atau lebih efektif daripada pertemuan langsung dengan orang-orang yang perduli dan sayang pada kita.
Semakin seseorang mendahulukan interaksi media sosial dibanding interaksi langsung, semakin tinggi risikonya untuk mengalami gangguan mood seperti kecemasan dan depresi.
Sekitar 10 persen remaja melaporkan bahwa mereka pernah di-bully di media sosial dan banyak pengguna media sosial yang pernah mendapat komentar yang bersifat menghina. [2, 3]
Platform media sosial semacam Twitter bisa menjadi lahan untuk menyebarkan gosip yang bertujuan menyakiti, menyebarkan kebohongan, dan pelecehan yang bisa meninggalkan luka emosional yang dalam bagi korbannya.
Berhubungan dengan cyberbullying yang disebutkan diatas, korban-korban dari kekerasan dan pelecehan virtual yang kondisi mentalnya tidak stabil kemudian terpapar konten yang berisiko seperti tentang melukai diri sendiri dan bunuh diri bisa terpicu untuk terdorong melakukannya.
Sebuah studi atas 400 remaja yang dirawat kerena gangguan psikiatris yang melibatkan tindakan melukai diri sendiri ataupun orang lain, menunjukkan bahwa sejumlah kecil dari mereka pernah menonton konten online tentang bunuh diri (14.8%) atau melukai diri sendiri (16.6%) dalam dua minggu sebelum mereka dirawat. [2, 3]
Membagikan selfie tanpa akhir, segala macam kegiatan pribadi, dan semua yang ada di dalam pikiran di media sosial bisa menyebabkan timbulnya sifat egois dan menjauhkan diri dari hubungan di dunia nyata.
Bila terus berlangsung, hal ini bisa membuat orang kehilangan empati dan tidak perduli akan kondisi sekitarnya.
Keputusan untuk mengurangi atau menjauh dari pengaruh buruk media sosial, pertama-tama, harus datang dari diri sendiri. [1, 2]
Orangtua harus rutin memastikan anak-anaknya yang sudah punya ponsel sendiri tetap bersikap pantas di media sosial. Meskipun orangtua sering tergoda untuk terus menerus memeriksa isi ponsel anaknya, sebaiknya hindari cara ini karena akan membuat anak malah kehilangan rasa percaya dan menyembunyikan banyak hal. [2, 3]
Bangun komunikasi yang baik dengan anak tentang penggunaan media sosial yang sehat agar mereka merasa nyaman untuk bercerita jika mengalami masalah dengan interaksi online. Anak-anak yang kepercayaannya terbangun dengan baik juga tidak akan menghalangi orangtuanya berada di lingkaran media sosial mereka.
1. Lawrence Robinson, Melinda Smith, M.A. Social Media and Mental Health. Help Guide; 2020.
2. Elina Mir, Caroline Novas, Meg Seymour, PhD. Social Media and Adolescents’ and Young Adults’ Mental Health. National Center for Health Research.
3. Jacqueline Nesi. The Impact of Social Media on Youth Mental Health. North Carolina Medical Journal; 2020.
4. Fazida Karim, Azeezat A Oyewande, Lamis F Abdalla. Social Media Use and Its Connection to Mental Health: A Systematic Review. Cureus; 2020.