Daftar isi
Sciophobia adalah salah satu jenis fobia spesifik yang terdengar aneh dan tampaknya lebih jarang dijumpai daripada fobia-fobia lain [1,2].
Sciophobia adalah ketakutan berlebih terhadap bayangan di mana rasa takut penderitanya bersifat irasional dan persisten [1,2].
Walau jarang terdengar fobia seperti ini, nyatanya ada beberapa orang yang mengalami kecemasan berlebihan setiap melihat bayangan [1,2].
Seperti pada kondisi fobia lainnya, belum diketahui jelas apa faktor yang mampu menyebabkan sciophobia.
Terdapat berbagai teori dan dugaan bahwa fobia spesifik seperti sciophobia dapat terjadi pada diri seseorang karena beberapa faktor seperti berikut :
Fobia spesifik yang seseorang alami dapat terjadi karena adanya faktor genetik [1,3,4,5,6].
Bila terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat fobia spesifik, gangguan kecemasan, depresi atau gangguan mental lainnya, maka anggota keluarga yang lain pun memiliki risiko lebih tinggi mengalami kondisi serupa [1,3,4,5,6].
Seseorang dengan riwayat kesehatan pada keluarga yang mengalami gangguan kecemasan saja mampu menjadi faktor dibalik berkembangnya sebuah fobia, termasuk sciophobia [1,3,4,5,6].
Selain faktor genetik, fobia spesifik paling kerap dikaitkan dengan penderita fobia yang dulu pernah mengalami kejadian traumatis [1,3,4,5].
Pengalaman tidak mengenakkan yang berhubungan dengan bayangan dapat menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang begitu ketakutan ketika melihat bayangan [1,3,4,5].
Pola asuh keluarga juga terkadang berpengaruh terhadap kondisi mental seseorang [4].
Orang tua atau pengasuh yang memiliki ketakutan terhadap bayangan bisa saja memengaruhi seorang anak untuk juga menghindari sumber ketakutannya itu [4].
Hal ini bisa kemudian menjadikan anak berkembang dengan rasa takut irasional terhadap benda atau hal yang sama (dalam kasus ini adalah bayangan) [4].
Faktor lingkungan pada beberapa kasus mampu menyebabkan sciophobia, terutama dalam bentuk rumah hantu dan film horor [2].
Orang-orang yang mudah takut, terutama yang memiliki rasa takut terhadap kegelapan bisa dengan mudah terpicu mengembangkan kondisi sciophobia [2].
Beberapa kasus fobia spesifik terjadi pada diri seseorang karena stres berkepanjangan yang dialaminya [3].
Stres yang tidak segera memperoleh penanganan berisiko berkembang semakin parah, seperti terjadi gangguan kecemasan hingga depresi [3,4,5].
Lama-kelamaan pun kemampuan untuk mengelola rasa stres dalam diri berkurang sehingga banyak hal dan situasi yang kemudian membuat mudah takut dan cemas [3,4,5].
Seiring waktu, bukan tidak mungkin sebuah fobia dialami sebagai akibat dari perkembangan stres berat [3,4,5].
Trauma atau cedera pada otak pun bisa menjadi faktor lain yang menjadi penyebab seseorang mengalami fobia [2,4,5].
Ketika otak cedera, terdapat risiko pada otak adanya perubahan struktur zat kimia tertentu [2,4,5].
Seringkali hal ini kemudian membuat rasa takut timbul secara berlebihan dan amigdala terangsang untuk bereaksi fight or flight [2].
Amigdala sendiri adalah kumpulan saraf pada otak yang berbentuk menyerupai kacang almond di mana bila bagian ini rusak, tidak hanya fobia yang bisa berkembang pada diri seseorang [7].
Selain fobia, kerusakan amigdala mampu menjadi pemicu PTSD (post traumatic stress disorder), depresi, kecanduan dan gangguan kecemasan [6,7].
Seperti pada kasus fobia lainnya, sciophobia ditandai dengan gejala fisik, emosional dan psikologis [1,3,4,5,6].
Berikut ini adalah beberapa gejala sciophobia yang perlu diperhatikan dan segera mendapat penanganan [1,3,4,5,6] :
Pada kasus sciophobia yang sudah cukup parah karena gejala terus berkembang, penderitanya bisa benar-benar takut keluar rumah [1,2].
Fobia satu ini mampu menjadi alasan dibalik terhambatnya aktivitas penderita sehari-hari hingga penurunan kualitas hidup [1,2].
Apakah sciophobia berhubungan dengan rasa takut terhadap gelap?
Beberapa ahli meyakini bahwa antara sciophobia dan ketakutan terhadap gelap saling berkaitan [8].
Pada beberapa kasus sciophobia, kemungkinan penderita pernah mengalami kejadian traumatis di kegelapan [8].
Hanya saja, seseorang bisa merasa baik-baik saja ketika sedang berada di kegelapan tanpa bayangan [8].
Seseorang itu juga dapat merasa aman-aman saja ketika berada di tempat terang (tidak gelap sama sekali) [8].
Hanya saja, setiap kali melihat bayangan gelap akan timbul gejala-gejala fisik dan psikologis yang telah disebutkan di atas [8].
Belum ada pemeriksaan khusus untuk sciophobia, namun seperti pada rata-rata kasus pemeriksaan fobia spesifik, evaluasi psikologis akan menggunakan panduan kriteria DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) [9].
Jika pasien memenuhi kriteria diagnosa dari American Psychiatric Association seperti berikut ini, maka dipastikan bahwa pasien benar-benar mengalami gejala fobia spesifik [9].
Selain dari kriteria diagnosa dari panduan DSM-5, terapis atau dokter juga akan menentukan kondisi pasien dengan meminta pasien melakukan beberapa hal ini [10] :
Seperti pada kasus fobia spesifik lainnya, penanganan kondisi sciophobia akan meliputi psikoterapi, pemberian obat-obatan maupun kombinasi keduanya.
Seringkali untuk pemulihan dari gejala yang lebih maksimal, pasien perlu mengubah pola hidup menjadi lebih sehat.
Terapi eksposur adalah bentuk penanganan umum bagi penderita fobia dengan memaparkan situasi kondisi sumber ketakutan kepada pasien secara bertahap dan terkendali [1,3,4,5,6,10].
Terapis akan mengontrol setiap paparan agar pasien menerimanya tidak secara berlebihan.
Hal ini diharapkan mampu membuat pasien terbiasa dengan sumber ketakutannya dan lebih mampu mengendalikan rasa cemas serta takutnya.
Dengan menghadapi sumber ketakutan secara langsung (melalui gambar, video, hingga situasi nyata), pasien dapat mengurangi rasa takut dan cemasnya secara perlahan namun efektif.
Terapi perilaku kognitif adalah jenis terapi psikologis yang berfokus pada peningkatan perilaku dan kognitif pasien [1,3,4,10].
Pasien diharapkan mengalami peruahan pola pikir yang semula negatif menjadi lebih positif selama menjalani terapi ini [1,3,4,10].
Ketika pola pikir berubah menjadi lebih positif, pasien dapat menghasilkan emosi positif dan berperilaku tanpa rasa takut dan cemas [1,3,4,10].
Terapis akan membantu pasien mengidentifikasi penyebab kecemasan dan ketakutan berlebih pada pasien.
Oleh karena itu, terapi ini seirng dianggap kurang menyenangkan karena terapis akan menggali pengalaman pasien, berikut juga perasaan terdalam pasien.
Dokter kemungkinan besar akan mengombinasikan terapi psikologis dengan pemberian obat-obatan antidepresan maupun obat untuk meredakan gejala serangan panik [1,3,4,5,6].
Obat-obatan ini biasanya diberikan untuk penggunaan jangka pendek agar lebih aman bagi tubuh pasien [1].
Untuk memulihkan diri dari gejala sciophobia dan kecemasan berlebih, pasien dianjurkan untuk juga menjaga pola hidup tetap sehat [1].
Bermeditasi, rutin melakukan Yoga, hingga berolahraga setidaknya seminggu 3 kali adalah cara untuk mengelola stres dengan baik [1,11,12].
Meditasi dan beberapa jenis latihan fisik akan membantu melepaskan hormon bahagia dan rileks lebih banyak [1].
Dengan demikian, diharapkan pasien bisa hidup lebih tenang, fokus, dan mampu mengendalikan berbagai gejala sciophobia dan kecemasan [1].
Selain olahraga dan meditasi, pasien dianjurkan untuk membatasi asupan kafein sebab kafein berpengaruh terhadap peningkatan detak jantung, kecemasan, dan tekanan darah [1,13].
Seseorang dengan fobia spesifik, terutama dalam kasus seperti sciophobia mampu mengalami isolasi diri [14].
Tingkat depresi akan semakin tinggi ketika gejala awal sciophobia tidak ditangani dengan benar.
Penderita kemudian cenderung menghindari keluar ruangan, interaksi dengan orang lain, dan berbagai kegiatan lainnya.
Bukan tidak mungkin, keinginan bunuh diri timbul pada diri penderita [15].
Belum terdapat cara efektif untuk mencegah fobia spesifik, termasuk sciophobia karena belum jelas diketahui penyebab pasti fobia itu sendiri.
Namun untuk meminimalisir risiko komplikasi berupa isolasi diri, depresi berat hingga keinginan bunuh diri, gejala fobia sebaiknya mendapat penanganan sedini mungkin.
1. Psych Times. Sciophobia (Fear of Shadows). Psych Times; 2022.
2. American Physiological Society. Why Are We Afraid of Shadows in the Night? Because of Our Brains. American Physiological Society; 2021.
3. Mind. Phobias. Mind; 2021.
4. Serena McNiff & Dina Cagliostro, PhD. Anxiety and Phobia: Symptoms, Causes, and Treatment. Psycom; 2022.
5. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning & Memory; 2017.
6. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. Lancet Psychiatry; 2020.
7. Qais AbuHasan; Vamsi Reddy; & Waquar Siddiqui. Neuroanatomy, Amygdala. National Center for Biotechnology Information; 2021.
8. Riliv. Sciophobia, Fakta Menarik tentang si Fobia Bayangan!. Riliv; 2019.
9. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed. Washington, DC; 2013.
10. Lisa Fritscher & Daniel B. Block, MD. DSM-5 Diagnostic Criteria for a Specific Phobia. Verywell Mind; 2021.
11. Josefien J. F. Breedvelt, Yagmur Amanvermez, Mathias Harrer, Eirini Karyotaki, Simon Gilbody, Claudi L. H. Bockting, Pim Cuijpers, & David D. Ebert. The Effects of Meditation, Yoga, and Mindfulness on Depression, Anxiety, and Stress in Tertiary Education Students: A Meta-Analysis. Frontiers in Psychology; 2019.
12. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BMC Health Services Research; 2018.
13. Gareth Richards & Andrew Smith. Caffeine consumption and self-assessed stress, anxiety, and depression in secondary school children. Journal of Psychopharmacology; 2015.
14. Karen Nikos-Rose. New Study Suggests Ways to Alleviate Social Withdrawal Symptoms in Mental Illnesses. UC Davis; 2020.
15. Josh Nepon, MD, Shay-Lee Belik, Msc, James Bolton, MD FRCPC, & Jitender Sareen, MD FRCPC. The Relationship Between Anxiety Disorders and Suicide Attempts: Findings from the National Epidemiologic Survey on Alcohol and Related Conditions. HHS Public Access; 2011.