Daftar isi
Bromidrophobia merupakan salah satu jenis fobia spesifik di mana seseorang mengutamakan kebersihan diri karena rasa takut berlebihan terhadap bau badan tak sedap [1,2].
Ketakutan, kecemasan dan kepanikan berlebih juga dirasakan penderita terhadap situasi yang mampu memicu bau badan menjadi tidak sedap [1,2].
Tak hanya bau badan diri sendiri, namun seseorang dengan bromidrophobia akan takut terhadap bau badan orang lain [1,2].
Tinjauan Bromidrophobia atau bromidrosiphobia adalah fobia spesifik atau ketakutan berlebih dan cendeurng irasional terhadap bau badan atau takut mencium bau badan tidak sedap.
Berikut ini adalah sejumlah kondisi atau faktor yang mampu meningkatkan risiko seseorang mengalami bromidrophobia, yakni :
Kecenderungan merasa khawatir dan takut berlebihan dapat dialami oleh seseorang ketika memiliki anggota keluarga (khususnya orang tua) dengan kondisi mental serupa [3,4].
Seseorang memiliki risiko lebih besar memiliki fobia spesifik atau gangguan kecemasan ketika dalam keluarganya, terutama orang tua yang menderita kondisi serupa [3,4].
Germaphobia atau mysophobia, yakni kondisi ketakutan berlebih terhadap kuman mampu menjadi salah satu faktor peningkat risiko bromidrophobia [2,5,6].
Ketakutan berlebih yang dimiliki oleh penderita germaphobia atau mysophobia biasanya tidak hanya berlaku terhadap kuman [6].
Penderita germaphobia pun mengalami ketakutan terhadap debu, kotoran apapun, bakteri, hingga infeksi penyakit [6].
Kondisi ini dapat berkembang menjadi bromidrophobia di mana seseorang menjadi terlalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan karena takut bau tak sedap mengganggu aktivitasnya.
Fobia spesifik umumnya dipicu oleh pengalaman traumatis atau tidak menyenangkan [3,4].
Bromidrophobia dapat berkembang dalam diri seseorang apabila pernah mengalami hal-hal buruk mengenai bau badan sendiri maupun orang lain [3,4].
Memiliki kondisi bau badan tak sedap dan pernah dirundung karena hal ini pun mampu membuat seseorang mudah mempunyai trauma.
Selain mysophobia atau germaphobia, gangguan obsesif kompulsif pun mampu menjadi salah satu alasan mengapa seseorang mengalami bromidrophobia [2].
Siapa saja dapat mengalami bromidrophobia, yakni sebuah gangguan mental di mana penderita akan melakukan berulang kali suatu hal agar tidak cemas atau takut [2].
Para penderita gangguan obsesif kompulsif, pada dasarnya mereka akan mengalami kecemasan dan ketakutan berkepanjangan [7].
Agar rasa cemas dapat hilang, maka penderita akan melakukan sesuatu secara berulang, seperti misalnya membersihkan rumah berkali-kali atau mencuci tangan berkali-kali karena khawatir terserang penyakit [7].
Tinjauan Beberapa faktor yang dikaitkan dengan timbulnya bromidrophobia antara lain adalah faktor genetik, faktor pengalaman traumatis, mysophobia, germaphobia, hingga gangguan obsesif kompulsif.
Penderita bromidrophobia dapat mengalami sejumlah gejala fisik, gejala perilaku dan gejala psikologis sebagai berikut yang perlu dikenali dan diwaspadai [1,2,3,4] :
Penderita bromidrophobia seperti penderita fobia spesifik lainnya, sebab mereka akan menghindari segala hal, baik itu orang maupun situasi yang tidak mengenakkan (dalam hal ini adalah bau badan tak sedap) [2].
Gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih buruk bagi kualitas hidup penderita apabila diabaikan.
Tinjauan Gejala bromidrophobia pada umumnya meliputi gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku di mana penderita dapat merasakan pusing, gemetaran, sesak nafas, mual, berkeringat, hingga kehilangan kesadaran saat berhadapan dengan penyebab rasa takutnya. Selain itu, penderita bromidrophobia dapat menghindari aktivitas berat yang memicu keringat dan bau badan, begitu pula dengan kerumunan orang.
Seperti pada kasus fobia spesifik lain, pemeriksaan untuk gejala yang mengarah pada ketakutan berlebih terhadap bau badan akan meliputi pemeriksaan fisik serta evaluasi psikologis.
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pasien tidak mengalami penyakit atau luka apapun terkait dengan rasa takutnya.
Sementara itu, pemeriksaan psikologis perlu ditempuh oleh pasien di mana terapis umumnya menggunakan kriteria diagnosa dari DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) [8].
Panduan kriteria diagnosa ini akan memudahkan terapis dalam memastikan apakah penderita benar-benar mengalami fobia terhadap bau badan [8].
Berikut ini merupakan sejumlah kriteria yang mampu menegakkan diagnosa penderita dengan gejala bromidrophobia [8,9].
Terapis juga biasanya akan memberi pertanyaan seputar apa saja gejala yang terjadi atau dialami oleh pasien, baik psikologis maupun fisik [8].
Pasien dapat memberi tahu terapis juga mengenai apa saja faktor pemicu timbulnya gejala dan bagaimana pasien mengatasi atau mengendalikannya [8].
Informasikan pula kepada terapis mengenai hal-hal yang selalu memperburuk kondisi gejala maupun hal-hal yang bisa membuat gejala mereda [8].
Riwayat medis pasien maupun keluarga pasien juga perlu diketahui oleh terapis [8].
Segala pengalaman tak menyenangkan yang bahkan pernah pasien alami dan menyebabkan trauma dapat diceritakan kepada terapis [8].
Hal ini akan membantu terapis dalam menegakkan diagnosa sekaligus menentukan metode penanganan/perawatan yang paling sesuai dengan kondisi pasien [8].
Tinjauan Dalam mendiagnosa bromidrophobia, terapis umumnya menggunakan panduan DSM-5. Pasien yang memenuhi kriteria yang ada pada DSM-5 otomatis terdiagnosa mengalami fobia spesifik, terutama dalam hal ini terhadap bau badan. Selain itu, sebelum evaluasi psikologis pemeriksaan fisik juga perlu ditempuh oleh penderita.
Kondisi fobia spesifik tidak sebaiknya ditangani secara mandiri oleh penderita.
Mendatangi psikiater atau psikolog adalah keputusan terbaik, terutama psikiater atau psikolog profesional dan terpercaya.
Beberapa metode penanganan untuk mengatasi gejala bromidrophobia antara lain adalah :
Terapi perilaku kognitif merupakan metode psikoterapi yang umumnya efektif menangani gejala fobia spesifik [1,2,10].
Maka untuk kondisi bromidrophobia pun, pasien dapat menempuh terapi ini agar terapis dapat membantu mengubah reaksi, perilaku dan pikiran negatif tentang bau badan sendiri maupun orang lain [1,2,10].
Gejala-gejala yang berkaitan dengan kecemasan secara berlebihan pun dapat ditangani dengan terapis menerapkan teknik relaksasi yang pasien nantinya praktekkan [1,2,10].
Melalui terapi eksposur, terapis juga akan mendampingi pasien dalam melatih dan meningkatkan toleransi terhadap aroma tubuh sendiri melalui serangkaian aktivitas yang lebih berat [1,2,3,4,10].
Jika pasien bromidrophobia cenderung menghindari aktivitas berat atau aktivitas terlalu banyak agar tubuh tidak berkeringat, terapis akan menerapkan hal sebaliknya [1,2,3,4,10].
Terapi semacam ini dilakukan dengan mengekspos pasien kepada situasi yang menyebabkan timbulnya rasa takut [1,2,3,4,10].
Banyak penderita fobia spesifik yang pada akhirnya dapat mengatasi gejala fobianya melalui metode hipnosis [10].
Hipnosis sendiri perlu dilakukan oleh hipnoterapis profesional, terpercaya, berpengalaman dan bersertifikat agar pasien merasa aman selama menjalani proses terapi [11].
Hipnoterapis dalam hal ini akan membuat pasien merasa rileks namun tetap fokus pada pembicaraan yang akan diulang-ulang [11].
Hipnoterapis melalui kalimat-kalimatnya akan memandu pasien dalam bentuk sugesti agar sejumlah kebiasaan, reaksi atau perilaku tertentu dapat berhenti [11].
Bagi pasien yang juga ingin melupakan pengalaman tak menyenangkan yang memicu bromidrophobia, hipnosis merupakan salah satu jalan terbaik [11].
Terjadi aktivitas signifikan pada otak, terutama bagian otak pengendali kesadaran dan tindakan pasien [11].
Maka tingkat efektivitas dari hipnosis sebagai solusi bagi fobia spesifik tergolong tinggi [11].
Hipnosis pun kerap digunakan untuk mengatasi insomnia dan gangguan stres pasca trauma [11].
Pemberian obat-obatan anticemas dan antidepresan tentunya akan dilakukan oleh dokter apabila memang diperlukan [1].
Penggunaan obat-obat ini bertujuan utama meredakan kecemasan dan dapat dikombinasi bersama dengan terapi-terapi yang pasien sedang jalani.
Tinjauan Penanganan bromidrophobia meliputi psikoterapi (terapi perilaku kognitif dan terapi eksposur), hipnosis, serta penggunaan obat anticemas maupun obat antidepresan.
Seperti pada kasus fobia spesifik lainnya apabila gejala tidak segera memperoleh perawatan yang tepat, kondisi penderitanya dapat memburuk.
Beberapa risiko komplikasi yang perlu diwaspadai dan dihindari dari kondisi bromidrophobia adalah [2,3] :
Tinjauan Risiko komplikasi bromidrophobia dapat berupa penghindaran jangka panjang terhadap tempat-tempat kurang higienis, aktivitas berat dan padat, hingga situasi yang terdapat banyak orang.
Tidak diketahui cara pasti dalam mencegah kondisi fobia spesifik, termasuk dalam kasus bromidrophobia.
Namun untuk meminimalisir risiko buruknya gejala atau komplikasi bromidrophobia, pemeriksaan dan penanganan gejala secara dini sangat dianjurkan.
Tinjauan Belum diketahui cara mencegah bromidrophobia, namun penanganan dini akan membantu agar gejala tidak berujung pada komplikasi yang lebih membahayakan kondisi penderita.
1. Anonim. Fear of body smells - Bromidrosiphobia or Bromidrophobia. Fear Of; 2020.
2. Lisa Fritscher & Daniel B. Block, MD. Understanding Bromidrophobia or Fear of Smelling Bad. Verywell Mind; 2020.
3. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
4. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
5. Lisa Fritscher & Steven Gans, MD. How to Treat Mysophobia or the Fear of Germs. Verywell Mind; 2020.
6. Owen Kelly, PhD & Akeem Marsh, MD. How Being a Germaphobe Can Be a Symptom of OCD. Verywell Mind; 2020.
7. Hannah Brock & Manassa Hany. Obsessive-Compulsive Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. Lisa Fritscher & Daniel B. Block, MD. DSM-5 Diagnostic Criteria for a Specific Phobia. Verywell Mind; 2021.
9. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed. Washington, DC; 2013.
10. Chandan K. Samra & Sara Abdijadid. Specific Phobia. National Center for Biotechnology Information; 2021.
11. Ann Williamson. What is hypnosis and how might it work?. Palliative Care; 2019.