Tinjauan Medis : dr. Hadian Widyatmojo, SpPK
Enterobiasis adalah suatu penyakit infeksi akibat cacing enterobius vermicularis. Dalam bahasa sehari-hari, masyarakat di Indonesia lebih mengenalnya dengan cacing kremi. Penyakit ini sebenarnya termasuk
Enterobiasis merupakan salah satu penyakit infeksi cacing yang paling sering terjadi pada berbagai negara. Sebuah penelitian melaporkan bahwa penyakit ini telah menginfeksi hampir 1 milyar manusia di seluruh dunia.
20-42 juta orang di US dilaporkan pernah mengalami penyakit ini. Pengenalan penyakit tetap diperlukan agar anda tetap dapat waspada terhadap enterobiasis. [1]
Daftar isi
Penyakit enterobiasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing dan umumnya terjadi pada anak-anak berumur 5-10 tahun. Walaupun tidak dianggap berbahaya, penyakit ini menyebabkan rasa tidak nyaman yang cukup mengganggu pada penderitanya. [2] [3]
Penyakit Enterobiasis disebabkan oleh infeksi Enterobius vermicularis (Oxyuris) atau lebih dikenal cacing kremi. Cacing kremi dapat ditemukan pada berbagai daerah, terutama pada daerah beriklim sedang dengan kondisi dingin dan lembab yang dapat meningkatkan daya tahan cacing. [1]
Walaupun pasien telah dinyatakan sembuh dari penyakit ini, pasien tetap dapat terinfeksi jika terpapar oleh cacing kembali. Salah satu literatur melaporkan tingginya potensi infeksi berulang pada pasien yang pernah terinfeksi, walaupun pasien telah mengkonsumsi obat anti-cacing. [4]
Hal ini dapat disebakan karena larva yang belum menetas dan cacing muda lebih sulit dibasmi, kemudian setelah menetas, cacing muda akan kembali ke usus besar dan berkembang biak. [2]
Bagaimana Penyakit ini Mulai Menggerogoti Tubuh?
Pada umumnya transmisi infeksi ini terjadi melalui oral-fecal dan pernafasan. Cacing betina dan telur cacing yang tertelan dapat berkembang di dalam tubuh 2-4 minggu hingga menjadi dewasa.
Saat mencapai fase dewasa, cacing kremi akan hidup dengan menempel pada usus besar menyebabkan inflamasi dan gatal pada daerah sekitar anus (priutitis ani). Pada tahap ini, cacing dapat keluar dari kotoran intestinal pasien saat buang air besar dan menjadi salah satu sumber infeksi berikutnya. [2]
Pada umumnya penyebab enterobiasis karena masuknya telur cacing ke dalam tubuh baik melalui air yang tercemar atau tangan yang kotor. Namun umumnya, infeksi ini disebabkan oleh kurangnya kebiasaan sanitasi.
Cacing kremi bersama telurnya tinggal di dalam tanah. Ditambah lagi, kebiasaan pasien yang tidak higienis dapat menyebabkan penyebaran masif [5]. Kebiasaan tersebut antara lain: [5] [6]
Pasien yang telah terinfeksi Enterobiasis dapat menularkan cacing pada celana dalam dan area lainnya yang tanpa disadari dapat bersentuhan dengan orang-orang sekitar. Selain itu, beberapa penelitian juga menyebutkan potensi penyebaran telur lewat debu yang terhirup oleh pasien. [3] [6]
Gejala yang paling umum terjadi pada penderita penyakit Enterobiasis adalah sensasi gatal pada daerah perianal, terutama pada malam hari. Hal ini disebabkan oleh pergerakan cacing pada area anus.
Pada wanita, sensasi gatal juga dapat terjadi pada daerah vulva dan dapat menyebabkan iritasi ringan. Sensasi ini memberikan rasa tidak nyaman dan keinginan untuk menggaruk yang besar pada pasien dan dapat menyebabkan insomnia dan kurang konsentrasi. [2] [6]
Jika pasien menemui gejala tersebut disarankan ke dokter untuk mengkonfirmasi penyakit dan mendapatkan pengobatan.
Selain itu, terdapat beberapa gejala lain yang dapat dirasakan oleh penderita Enterobiasis, seperti: [9]
Jika pasien menggaruk daerah anus terlalu kencang, permukaan kulit anus dapat terluka sehingga dapat menyebabkan iritasi, pendarahan dan eksim.
Gumpalan nanah pada jaringan sekitar anus juga dapat muncul akibat garukkan tersebut. Pada beberapa kasus, luka yang disebabkan oleh garukkan dapat memicu infeksi sekunder dari bakter. [2]
Pada kondisi tertentu, infeksi dari cacing kremi dapat mengganggu sistem syaraf dan otak. Beberapa penelitian menemukan keberadaan cacing dan telur cacing kremi pada pasien meningitis dan gangguan sistem syaraf. Namun hingga saat ini, mekanisme bagaimana cacing kremi dapat melakukan infeksi pada daerah tersebut masih dipertanyakan. [9]
Pada umumnya dokter akan menanyakan apakah pasien mengalami gejala gatal pada daerah perinatal dan berapa lama mengalami keluhan tersebut. Kemudian, uji mikroskopi umumnya diterapkan ntuk mengkonfirmasi hasil diagnosis dokter. [7]
Uji mikroskopi adalah uji yang paling umum digunakan dalam diagnosis Enterobiasis. Terdapat dua jenis uji mikroskopi, yaitu uji scotch tape dan anal swab. Uji ini dilakukan pada pagi hari sebelum pasien membersihkan daerah anus dan area genital. [6]
Uji ini dilakukan dengan menekan area anus beberapa kali dengan plester berbahan selulosa. Kemudian plester ditempel pada kaca preparat untuk mengkonfirmasi keberadaan cacing kremi melalui pengamatan mikroskopi. [6]
Metode ini dilakukan dengan mengoles daerah anus menggunakan batang kaca yang akan ditempatkan pada buffer saline. Kemudian, keberadaan telur cacing dan cacing akan diamati melalui cairan buffer saline menggunakan mikroskopi. [6] [7]
Perlu diketahui bahwa sensitivitas dari uji ini tergolong rendah sehingga diperlukan pengamatan selama 3 hari berbeda untuk meningkatkan sensitivitas dari 50% menjadi 90%. [6]
Pada umumnya, pengobatan enterobiasis adalah dengan obat cacing seperti: [2] [6] [7]
Umumnya dosis yang ditetapkan untuk mengobati infeksi enterobiasis adalah 100-200 mg. Dosis tersebut bersifat tunggal dan dapat ditetapkan pada pasien berumur lebih dari 2 tahun. Persentasi kesuksesan dari pengobatan ini berkisar 90-100%.
Umumnya obat Mebendazole dapat ditoleransi tubuh manusia, namun beberapa efek samping dapat muncul pada beberapa kasus. Efek samping tersebut antara lain, mual, muntah, pert kembung, diare, dan keram.
Dosis yang ditetapkan untuk obat ini dalam mengobati pasien Enterobiasis adalah 200 mg bagi pasien berumur 1 tahun dengan berat di bawah 10 kg, sedangkan pasien dengan umur lebih dari 2 tahun dan berat lebih dari 10kg memerlukan dosis 400mg.
Tingkat kesuksesan dari pengobatan ini adalah 90-100%. Umumnya pasien dapat menerima pengobatan ini, namun obat ini bersifat hepatoxic (berpotensi mengganggu fungsi hati) dan teratogenic (mengganggu perkembangan janin).
Pengobatan ini harus diulang pada minggu kedua dan minggu ke empat setelah pengobatan pertama untuk mencegah infeksi berulang dari cacing kremi. Untuk penyakit dengan gejala yang lebih parah, pengobatan harus diulang setiap 2 minggu sekali selama 16 minggu.
Sementara itu luka pada anus yang disebabkan oleh luka garuk dapat diringankan dengan petroleum jelly.
Terdapat beberapa cara untuk mencegah penyakit Enterobiasis antara lain: [4] [6]
1. Ghan-Shyam Lohiya, Lilia Tan-Figueroa. 2000. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Epidemiology and control enterobiasis in a developmental center.
2. St Georgiev V. 2001. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Chemotherapy of enterobiasis (oxyuriasis).
3. Dong-Hee Kim, Min Kyoung Cho, Mi Kyung Park, Shin Ae Kang, Bo Young Kim, Sang Kyun Park, Hak Sun Yu. 2013. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Environmental Factors Related to Enterobiasis in a Sotheast Region of Korea.
4. Dong-Hee Kim, Hyun-Mi Son, Joo Young Kim, Min Kyoung Cho, Mee Kyung Park, Sin Ye Kang, Bo Young Kim, Hak Sun Yu. 2010. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Parents’ Knowledge about Enterobiasis Might Be One of the Most Important Risk Factors for Enterobiasis in Children.
5. Muhammad Imran Qadir, Usman Riaz. 2019. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Awareness of pinworm disease among students of university.
6. Sebastian Wendt, Henning Trawinski, Stefan Schubert, Ame C. Rodloff, Joachim Mossner, Christoph Libbert. 2019. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. The Diagnosis and Treatment of Pinworf Infection.
7. Bhavneet Bharti, Sahul Bharti, Sumeeta Khurana. 2017. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Worm Infestation: Diagnosis, Treatment and Prevention
8. Anonim. 2018. Mayoclinic. Pinworm infection: Overview.
9. Venkataramana Kandi, Ritu Vaish, Padmavali Palange, Sri Sandhya Koka, Padmajakshi Gurrapu, Mohan Rao Bhoomigari. 2019. American Journal of Infectious Diseases and Microbiology. Enterobius Vermicularis: Does it Invade Nervous System.