Daftar isi
Factitious Disorder atau gangguan buatan adalah jenis gangguan kesehatan mental ketika seseorang mengelabui orang lain dengan bertindak seolah sedang mengidap penyakit serius [1,2,3].
Seseorang dengan kondisi gangguan buatan dengan sengaja menciptakan gejala penyakitnya sendiri atau memalsukan kondisi medis, dapat berupa penyakit fisik maupun mental [1,2,3].
Tujuan penderita gangguan buatan dalam hal ini rata-rata adalah untuk menerima perhatian dan perawatan medis [1,2,3].
Penyebab seseorang mengalami gangguan buatan belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa faktor yang mampu meningkatkan risiko gangguan mental ini, seperti [1,3] :
Gangguan buatan sendiri adalah kondisi langka dan sama sekali berbeda dari mengada-adakan penyakit untuk keuntungan pribadi, seperti supaya menang di pengadilan atau supaya tidak masuk kerja [1,2,3].
Orang-orang dengan gangguan buatan ini sadar bahwa mereka membuat bahwa seolah-olah diri mereka mengalami gejala penyakit tertentu, namun seringkali mereka sendiri tak mengerti atas tindakan yang mereka buat tersebut [1,2,3].
Bahkan rata-rata dari penderita gangguan buatan sangat paham bahwa mereka sedang mengalami masalah dengan menciptakan sebuah penyakit [1,3].
Gejala utama gangguan buatan adalah ketika seseorang meniru perilaku orang sakit atau bahkan menciptakan penyakitnya sendiri [1,2,3].
Tidak hanya itu, biasanya penderita gangguan buatan akan melebih-lebihkan gejala seolah-olah penyakit yang dideritanya sangat serius agar orang lain terkelabui [1,2,3].
Penderita gangguan buatan sangat pandai “berakting” agar orang lain percaya pada penyakit yang sedang ia derita sehingga sangat sulit menyadari bahwa kepura-puraan ini merupakan tanda sebuah penyakit mental serius [1,2,3].
Beberapa tanda yang perlu dikenali dari gangguan buatan adalah [1,2,3] :
Apa itu gangguan buatan yang dikenakan pada orang lain?
Gangguan buatan lain yang perlu diketahui adalah gangguan buatan yang dikenakan pada orang lain di mana istilah sebelumnya disebut dengan sindrom Munchausen [4,5].
Kondisi ini adalah saat seseorang secara mengklaim bahwa orang lain memiliki gejala penyakit fisik atau psikologis [4,5].
Hal ini adalah bentuk tindakan merugikan bagi orang yang dianggap sakit [4,5].
Contohnya, A akan mengklaim bahwa B sedang sakit/cedera/masalah kesehatan lainnya dan memberi tahu orang lain bahwa B membutuhkan penanganan medis.
Dengan cara ini, A mengelabui orang lain bahwa B sedang dalam kondisi bahaya karena penyakitnya.
Biasanya hal ini dilakukan orang tua kepada anak atau anak kepada orang tua yang kemungkinan besar membahayakan nyawa orang yang diklaim sedang menderita penyakit [4,5].
Seringkali proses pemeriksaan dan pemastian kondisi gangguan buatan sangat sulit.
Oleh karena itu, gangguan buatan tak mudah terdiagnosa; hal ini biasanya dikarenakan penderita sangat ahli dalam memalsukan kondisinya [1,2].
Pemeriksaan untuk gangguan buatan biasanya dokter dasarkan pada identifikasi gejala yang dibuat-buat seolah nyata oleh pasien [1,2].
Dokter tidak terlalu berfokus pada tujuan pasien memalsukan kondisi penyakitnya.
Untuk proses diagnosa, berikut ini adalah beberapa hal yang dokter perhatikan [1,3,6].
Untuk mengetahui kondisi gangguan buatan secara lebih detail, dokter akan memastikan melalui [1,3,6] :
Belum diketahui adanya terapi standar untuk gangguan buatan karena kondisi ini sulit ditangani.
Penderita gangguan buatan sulit diobati karena diri mereka sendiri enggan mencari pertolongan sekalipun menyadari bahwa berpura-pura sakit adalah hal yang tidak benar [1].
Pendekatan terhadap penderita gangguan buatan perlu dilakukan perlahan, lembut dan tanpa menghakimi [1].
Menuduh seseorang dengan gangguan buatan sedang berakting atau berpura-pura sakit justru membuat orang tersebut bersikap defensif dan sangat marah [1].
Ketika petugas medis tempat ia memeriksakan diri mengetahui bahwa penyakitnya adalah palsu, menuduhnya secara langsung hanya akan membuatnya lari untuk mendapatkan penanganan di rumah sakit atau dokter lain.
Menghindari penuduhan dan penghinaan terhadap penderita gangguan buatan sangat dianjurkan.
Penanganan untuk gangguan buatan pun biasanya bertujuan mengendalikan kondisi dan bukan menyembuhkannya [1,2,3].
Upaya penanganan yang secara umum dapat membantu penderita gangguan buatan meliputi :
Psikoterapi dalam bentuk terapi perilaku dan terapi konseling diharapkan mampu mengendalikan gejala pasien [1,2,3].
Psikoterapi sering digunakan untuk membantu pasien lebih baik pula dalam mengembangkan kemampuan pengendalian stres dan diri [1,2,3].
Apabila memungkinkan, terapis akan merekomendasikan terapi keluarga bagi pasien gangguan buatan [7].
Tujuan terapi keluarga adalah untuk mengedukasi keluarga pasien agar dapat merawat dan mendukung pasien agar lebih baik [7].
Bila diperlukan, pada kasus gangguan buatan yang sudah sangat parah, dokter akan minta pasien menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa [2].
Hal ini bersifat sementara, sebab pasien membutuhkan penanganan yang memadai dengan tingkat keamanan yang tinggi [2].
Bila pasien gangguan buatan diketahui memiliki penyakit psikologis penyerta seperti gangguan kecemasan, depresi atau lainnya, dokter bisa memberikan obat antidepresan dan anticemas [3].
Obat-obatan yang diberikan biasanya membantu pasien untuk selalu tenang dan mengendalikan gejala lebih baik [3].
Selama menjalani penanganan untuk gangguan buatan, penting bagi pasien untuk ditangani satu dokter saja dan tidak berganti-ganti [3].
Satu dokter akan mempermudah pemantauan perkembangan kondisi pasien dan lebih efektif dalam memberikan perawatan karena sudah mengetahui riwayat kesehatan pasien.
Bagaimana prognosis Factitious Disorder (Gangguan Buatan)?
Prognosis untuk penderita gangguan buatan umumnya tergolong buruk karena kebanyakan penderitanya akan menyangkal tindakan dan perilaku mereka [1].
Walau penderita menyadari bahwa diri mereka berada dalam masalah, sangat jarang bagi mereka untuk memeriksakan diri dan menempuh perawatan [1].
Penderita rata-rata tidak berinisiatif untuk menjalani terapi, namun bagi sebagian kecil penderita yang menempuh perawatan menunjukkan adanya kemajuan yang baik dalam kondisi mereka [1].
Pasien gangguan buatan umumnya memiliki kondisi penyerta, yakni gangguan psikologis berupa depresi [1].
Prognosis bagi pasien yang memiliki kondisi penyerta berupa gangguan penggunaan obat terlarang, gangguan suasana hati atau gangguan kecemasan lebih baik [1].
Sementara itu, prognosis akan lebih buruk bagi penderita gangguan buatan yang juga mengidap gangguan kepribadian, seperti borderline personality disorder (gangguan kepribadian ambang) [1].
Orang-orang yang mengalami gangguan buatan biasanya akan melakukan apa saja untuk terlihat sakit dan agar orang-orang di sekitarnya percaya bahwa dirinya sedang sakit [1,3].
Bahkan penderita gangguan buatan rela mengorbankan dirinya secara maksimal dalam hal ini [1,3].
Berikut ini adalah beberapa risiko komplikasi gangguan buatan yang berpotensi semakin buruk apabila terdapat penyakit mental penyerta [1,3].
Belum diketahui bagaimana mencegah gangguan buatan karena penyebabnya sendiri belum jelas [3].
Namun dengan terdeteksi secara dini kondisi ini pada seseorang, maka penanganan dapat segera diberikan [3].
Penderita gangguan buatan dapat menjalani terapi untuk meningkatkan kesehatan mentalnya dan menghindari berbagai risiko komplikasi yang mengancam [3].
1. Kevin T. Carnahan & Anupam Jha. Factitious Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2022.
2. Constanze Hausteiner-Wiehle, Prof. Dr. med. & Sven Hungerer, Prof. Dr. med. Factitious Disorders in Everyday Clinical Practice. Deutsches Ärzteblatt International; 2020.
3. Cleveland Clinic medical professional. Factitious Disorders. Cleveland Clinic; 2020.
4. Marc D Feldman, MD, Mary S Sheridan, PhD, ACSW, Glen L Xiong, MD, Ibrahim Abdulhamid, MD, Guy E Brannon, MD, Michael P Poirier, MD, Barry E Brenner, MD, PhD, FACEP, Angelo P Giardino, MD, PhD, MPH, Robert Harwood, MD, MPH, FACEP, FAAEM, James Li, MD, Jon Donavon Mason, MD, FAAP, FACEP, Caroly Pataki, MD, Francisco Talavera, PharmD, PhD, & Mary L Windle, PharmD. Factitious Disorder Imposed on Another (Munchausen by proxy). Medscape; 2020.
5. Noemi Faedda, Valentina Baglioni, Giulia Natalucci, Ignazio Ardizzone, Mauro Camuffo, Rita Cerutti, & Vincenzo Guidetti. Don't Judge a Book by Its Cover: Factitious Disorder Imposed on Children-Report on 2 Cases. Frontiers in Pediatrics; 2018.
6. Ivano Caselli, Nicola Poloni, Marta Ielmini, Marcello Diurni, & Camilla Callegari. Epidemiology and evolution of the diagnostic classification of factitious disorders in DSM-5. Psychology Research and Behavior Management; 2017.
7. Kamil Jaghab, MD, Kenneth B. Skodnek, MD, & Tanveer A. Padder, MD. Munchausen's Syndrome and Other Factitious Disorders in Children. Psychiatry (Edgmont); 2006.