Daftar isi
Gangguan obsesif kompulsif atau yang dikenal dengan istilah OCD (Obsessive Compulsive Disorder) merupakan salah satu jenis gangguan kesehatan mental [1,2,3,4].
Penderita gangguan ini akan secara berulang kali melakukan tindakan tertentu yang didasari rasa takut dan cemas secara berlebihan.
Gangguan obsesif kompulsif dapat dialami oleh anak-anak, remaja hingga orang dewasa (biasanya pada usia dewasa awal).
Seringkali penderita sadar betul bahwa dirinya mengalami kondisi ini karena tindakan dan pikirannya yang berlebihan, namun umumnya mereka tak dapat menghindari semudah itu.
Tinjauan Gangguan obsesif kompulsif atau Obsessive Compulsive Disorder (OCD) adalah gangguan mental di mana penderitanya mengalami kecemasan atau ketakutan berlebih sehingga mendasarinya untuk bertindak sesuatu berulang kali.
Penyebab gangguan obsesif kompulsif sendiri belum diketahui jelas, hanya saja terdapat teori atau dugaan kuat mengenai beberapa faktor berikut yang menjadi peningkat risiko terjadinya gangguan ini pada seseorang [1,2,4] :
Beberapa hal lain yang juga perlu diketahui serta diwaspadai sebagai peningkat risiko seseorang dalam memiliki gangguan obsesif kompulsif adalah:
Penderita depresi dan gangguan kecemasan jauh lebih rentan mengalami gangguan obsesif kompulsif [1,2].
Tidak hanya depresi dan gangguan kecemasan, bentuk gangguan mental lainnya pun mampu menjadi pemicu bagi penderitanya untuk mengembangkan kondisi gangguan obsesif kompulsif.
Mengalami insiden tidak menyenangkan dan membekas dalam ingatan dapat menjadi pemicu seseorang mengalami gangguan mental, termasuk gangguan obsesif kompulsif [1,2].
Stres dan trauma mampu meningkatkan tekanan dan gangguan pada pikiran penderitanya.
Kekerasan fisik, pelecehan, atau perundungan (pernah dibully) termasuk kondisi yang membuat seseorang mengalami stres dan trauma berkepanjangan.
Memiliki sifat perfeksionis dapat menjadi salah satu faktor atau alasan seseorang mengembangkan kondisi gangguan obsesif kompulsif tanpa disadarinya [1].
Seseorang yang terlalu teliti, rapi dan disiplin berkaitan dengan risiko OCD yang meningkat pada diri orang tersebut.
Seseorang dengan orang tua atau saudara kandung yang memiliki gangguan obsesif kompulsif dapat meningkatkan potensi dirinya mengalami gangguan yang sama [4].
Gangguan obsesif kompulsif dapat terjadi pada anak-anak sekalipun [1,2,4].
Umumnya, infeksi bakteri Streptococcus adalah faktor utama yang mampu meningkatkan risiko anak menderita gangguan obsesif kompulsif.
Gejala gangguan obsesif kompulsif biasanya dapat terjadi secara tiba-tiba dan bahkan menjadi lebih serius saat infeksi bakteri ini menyerang anak-anak.
Tinjauan Penyebab pasti gangguan obsesif kompulsif belum diketahui, namun sejumlah faktor seperti genetik, trauma, stres, infeksi bakteri (pada anak), penyakit mental lain serta pribadi perfeksionis mampu meningkatkan risikonya.
Gangguan obsesif kompulsif dapat menimbulkan sejumlah gejala yang mampu menghambat penderitanya dalam beraktivitas normal [1,2,4].
Pada saat seseorang memiliki pikiran obsesif, maka biasanya kecemasan dan ketakutan akan terus melanda.
Meski hampir setiap orang memiliki rasa takut dan cemas, penderita gangguan obsesif kompulsif memiliki tingkat kecemasan dan ketakutan yang terbilang tidak wajar serta berlebihan.
Perilaku kompulsif adalah perilaku yang dilakukan oleh penderita OCD secara berulang kali supaya rasa takut dan cemasnya bisa berkurang.
Biasanya jika perilaku berulang-ulang sudah dilakukan, penderita akan merasa lebih lega.
Ada beberapa penderita yang sebenarnya sadar bahwa perilaku mereka berlebihan, namun ada pula yang menganggapnya biasa dan tidak menyadari bahwa hal tersebut berlebihan.
Tingkat keparahan gejala gangguan obsesif kompulsif pada masing-masing penderita berbeda-beda.
Namun jika penderita gejala gangguan obsesif kompulsif memiliki kondisi stres berat dan berkepanjangan, gejala OCD akan semakin buruk.
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Jika gejala-gejala yang telah disebutkan terjadi dan menghambat aktivitas, maka sudah seharusnya segera ke dokter dan memeriksakan diri.
Temui ahli kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater untuk berkonsultasi supaya gejala dapat segera diatasi dan tidak mengakibatkan komplikasi.
Tinjauan Gangguan obsesif kompulsif ditandai dengan dua macam gejala, yaitu gejala pikiran obsesif dan perilaku kompulsif.
Ketika gejala mulai nampak atau disadari, maka untuk mengonfirmasi bahwa gejala mengarah pada gangguan obsesif kompulsif penderita sebaiknya segera menempuh sejumlah metode diagnosa ini.
Pemeriksaan dengan metode ini meliputi diskusi bersama dengan ahli kesehatan mental mengenai perasaan, pikiran hingga riwayat serta pola gejala yang dialami [1,2].
Psikolog atau psikiater juga perlu tahu apakah gejala-gejala yang dialami sampai menghambat kegiatan harian pasien.
Psikolog atau psikiater juga akan meminta izin pada pasien untuk membicarakan riwayat hubungan dengan keluarga dan teman pasien sekaligus riwayat kesehatan mereka.
Selain pemeriksaan psikologis pasien, pemeriksaan fisik juga diperlukan untuk mampu menegakkan diagnosa [1].
Pemeriksaan fisik pasien akan membantu dokter atau psikolog dalam mendeteksi adanya masalah kesehatan tertentu yang menimbulkan gejala OCD.
Penanganan gangguan obsesif kompulsif bukan bertujuan untuk menyembuhkan, melainkan mengendalikan gejala agar tidak mengakibatkan komplikasi apalagi menjadi lebih buruk hingga menghambat aktivitas penderitanya.
Penanganan akan didasarkan pada tingkat keparahan gejala yang pasien alami, namun pada umunya terapi obat dan psikoterapi adalah metode pengobatan yang utama.
1. Terapi Obat
Beberapa jenis obat kemungkinan akan diresepkan untuk mengendalikan gejala-gejala gangguan obsesif kompulsif.
Berikut ini adalah obat-obat yang umumnya digunakan pasien penderita gangguan obsesif kompulsif [1,2,4].
Namun, pasien juga perlu mengonsultasikan efek samping dari obat yang diresepkan untuk mewaspadai berbagai gangguan kesehatan yang berpotensi muncul selama atau usai menggunakan obat tersebut.
Pastikan bahwa obat jenis antidepresan yang diresepkan juga aman sebab beberapa diantaranya berisiko meningkatkan potensi pasien berpikir untuk bunuh diri.
Jika pasien sedang mengonsumsi obat lain, konsultasikan apakah interaksi dengan obat resep antidepresan akan baik-baik saja.
Ini karena obat lain yang sebelumnya sudah digunakan akan menjadi tidak efektif ketika pasien mengonsumsi obat antidepresan.
Ketika obat resep dokter memberikan efek yang tidak baik bagi tubuh dan cenderung bersifat adiktif, segera hentikan pemakaian atau berkonsultasi dengan dokter lebih lanjut.
2. Psikoterapi
Terapi perilaku kognitif adalah jenis psikoterapi yang banyak digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan mental [1,2,3,4,5].
Pasien gangguan obsesif kompulsif pun dapat menempuh terapi ini untuk mengatasi gangguan perasaan atau pikiran negatif tertentu.
Dengan bantuan ahli profesional, pasien akan dibimbing untuk mengungkapkan obsesi atau ketakutan tertentu terhadap suatu peristiwa maupun benda pemicu gejala gangguan obsesif kompulsif.
Terapi ini memerlukan waktu yang cukup lama, namun pasien akan dibantu dalam meningkatkan kualitas hidup ketika berhasil menangani pikiran obsesif dan perilaku kompulsifnya.
3. Terapi Lainnya
Beberapa terapi lain kerap digunakan sebagai penanganan gangguan obsesif kompulsif, yaitu antara lain :
Untuk penderita gangguan obsesif kompulsif dengan usia 18 tahun ke atas dan penanganan secara tradisional tidaklah efektif, maka metode DBS akan diterapkan.
Prosedur ini dilakukan dengan menanam elektroda pada area otak tertentu di mana dari elektroda tersebut akan terhasilkan impuls listrik yang akan menjadi pengatur impuls yang tak normal.
Metode terapi lainnya yang juga kini lebih sering digunakan untuk menangani OCD adalah TMS atau transcranial magnetic stimulation yang memanfaatkan BrainsWay Deep Transcranial Magnetic Stimulation, yaitu sebuah alat khusus.
Metode penanganan ini lebih dianjurkan dan direkomendasikan bagi penderita gangguan obsesif kompulsif yang berusia antara 22-68 tahun ketika terapi obat dan psikoterapi biasa tidak efektif.
Pada prosedur TMS ini, pada kulit kepala pasien yang dekat dengan area dahi akan dipasang koil elektromagnetik.
Alat ini berguna sebagai perangsang sel-sel saraf otak dan mengendalikan gejala-gejala gangguan obsesif kompulsif yang dialami pasien.
Tinjauan Obat antidepresan, psikoterapi dan terapi lainnya (TMS / Transcranial Magnetic Stimulation dan DBS / Deep Brain Stimulation) adalah metode-metode pengobatan bagi penderita gangguan obsesif kompulsif tergantung pula dari tingkat keparahannya.
Gejala-gejala gangguan obsesif kompulsif dapat berkembang menjadi komplikasi serius ketika penderita mengabaikannya.
Walau terdapat kemungkinan gejala dapat membaik dan hilang, selalu ada pula potensi untuk gejala dapat memburuk dan berakibat pada komplikasi seperti [2,8] :
Meminimalisir atau memperkecil risiko gangguan obsesif kompulsif hampir tidak memungkinkan karena belum diketahui pasti bagaimana upaya mencegahnya [2].
Namun, mengatasi stres dengan benar dan positif adalah salah satu cara agar stres berat dan berkepanjangan tidak terjadi sehingga tak berakibat pula pada timbulnya OCD.
Selain itu, pencegahan dianjurkan untuk meminimalisir risiko komplikasi.
Dengan memeriksakan gejala secara dini dan mengatasinya, maka risiko perburukan gejala dan komplikasi dapat ditekan.
Tinjauan Pencegahan gangguan obsesif kompulsif dapat dilakukan dengan mengelola stres dengan baik serta segera memeriksakan gejala agar komplikasi dapat dihindari.
1. Jill N. Fenske, MD. & Ketti Petersen, MD. Obsessive-Compulsive Disorder: Diagnosis and Management. American Family Physician; 2015.
2. Hannah Brock & Manassa Hany. Obsessive-Compulsive Disorder (OCD). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
3. Warih Andan Puspitosari. Terapi Kognitif dan Perilaku pada Gangguan Obsesif Kompulsif. Mutiara Medika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan; 2009.
4. Phillip J. Seibellcorresponding & Eric Hollander. Management of Obsessive-Compulsive Disorder. F1000 Prime Reports; 2014.
5. Fugen Neziroglu, Jill Henricksen, & Jose A Yaryura-Tobias. Psychotherapy of obsessive-compulsive disorder and spectrum: established facts and advances, 1995-2005. The Psychiatric Clinics of North America; 2006.
6. Candace Borders, Frank Hsu, Alexander J. Sweidan, Emily S. Matei, & Robert G. Bota. Deep brain stimulation for obsessive compulsive disorder: A review of results by anatomical target. Mental Illnes Journal; 2018.
7. Luca Cocchi, Andrew Zalesky, Zoie Nott, Geneviève Whybird, Paul B. Fitzgerald, & Michael Breakspear. Transcranial magnetic stimulation in obsessive-compulsive disorder: A focus on network mechanisms and state dependence. NeuroImage: Clinical; 2018.
8. Anargyros Kouris, Kalliopi Armyra, Christos Christodoulou, Alexandros Katoulis, Irene Potouridou, Revekka Tsatovidou, Dimitrios Rigopoulos, & Georgios Kontochristopoulos. Quality of life, anxiety, depression and obsessive-compulsive tendencies in patients with chronic hand eczema. Contact Dermatitis; 2015.