Daftar isi
Gangguan pelekatan reaktif atau reactive attachment disorder adalah jenis gangguan keterikatan emosional yang biasanya terjadi pada bayi, balita dan anak-anak [1,2,3].
Gangguan atau disfungsi emosional ini menjadikan seseorang kesulitan untuk menjalin hubungan akrab dengan orang lain [1,2,3].
Kasus ini tergolong jarang dijumpai, namun merupakan kondisi yang serius karena seorang anak tidak memiliki hubungan kelekatan atau keakraban yang sehat baik dengan orang tuanya maupun dengan pengasuh [1,2,3].
Sejak usia bayi dan balita, bahkan usia anak yang lebih besar, mereka memerlukan lingkungan yang aman, stabil dan perhatian agar mereka merasa aman dan percaya terhadap orang-orang di sekitarnya [1,2,3,4].
Ini merupakan kebutuhan dasar fisik maupun emosional para anak yang seharusnya bisa diberikan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya kepada si anak [1,2,3,4].
Kebutuhan tersebut sebaiknya dipenuhi secara konsisten, namun tidak semua bayi atau anak lahir di lingkungan yang baik [1,2,3,4].
Salah satu contoh kebutuhan fisik dan emosional yang perlu dipenuhi sejak bayi adalah saat bayi menangis baik karena lapar atau karena perlu ganti popok [3,4].
Tindakan orang tua atau pengasuh yang segera memberi makan atau mengganti popok si kecil sambil melakukan kontak mata, mengusap-usap si kecil, dan bahkan mengajak bicara sambil tersenyum adalah yang paling baik [3,4].
Seorang anak akan tumbuh dengan gangguan dan disfungsi emosional seperti gangguan pelekatan reaktif ketika sejak kecil kebutuhan fisik dan emosionalnya akan sebuah afeksi dari orang terdekat tidak terpenuhi [3,4].
Anak akan menjaga jarak, menutup diri, membatasi diri dan cenderung menjauh dari orang-orang di sekitarnya (termasuk orang tua maupun pengasuh) karena tidak memperoleh perhatian dan keintiman stabil yang seharusnya [3,4].
Meski demikian, tidak semua bayi yang terabaikan dan bahkan mengalami penelantaran semasa kecilnya akan mengalami gangguan pelekatan reaktif saat tumbuh besar [3,4].
Belum diketahui jelas alasan mengapa beberapa anak bisa mengalami gangguan pelekatan reaktif sementara beberapa anak lainnya tidak.
Namun, berikut ini adalah beberapa faktor yang diketahui mampu meningkatkan risiko gangguan pelekatan reaktif [1,3,4] :
Orang tua yang merupakan pemakai narkoba, pecandu alkohol, pelaku kriminal, hingga orang tua dengan gangguan mental serius umumnya dapat melakukan kekerasan terhadap anak [1,3,4].
Kemungkinan lainnya, orang tua dapat mengabaikan kebutuhan anak dan menelantarkannya sehingga anak tumbuh dengan kekurangan rasa kasih sayang [1,3,4].
Meski demikian, ada banyak anak yang mengalami penelantaran sejak masih sangat kecil dan mereka tumbuh secara normal tanpa kondisi gangguan pelekatan reaktif [1,3,4].
Gangguan pelekatan reaktif dapat bermula dari usia bayi dan masih belum diketahui jelas apakah gangguan ini bisa terjadi dan berkembang pada anak usia di atas 5 tahun.
Namun, pada beberapa penelitian menemukan adanya kemungkinan usia 6-8 tahun dan bahkan 13 tahun untuk terdiagnosa gangguan pelekatan reaktif [2].
Berikut ini adalah beberapa gejala utama yang menunjukkan bahwa anak mengalami gangguan pelekatan reaktif [1,2,3,4].
Ketika memeriksakan anak, dokter akan bertanya kepada orang tua mengenai gejala apa saja yang nampak pada anak [3,4].
Dokter juga biasanya perlu mengetahui apakah terdapat riwayat medis tertentu pada anak maupun keluarga pasien [3,4].
Beberapa pertanyaan berikut juga akan dokter ajukan untuk menegakkan diagnosa [3,4].
Karena kondisi gangguan perilaku dan mental memiliki kemiripan antara satu dengan lainnya, dokter perlu menggunakan kriteria diagnosa DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th Edition) untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan selain gangguan pelekatan reaktif [3,4].
Kriteria DSM-5 yang mampu membantu penegakkan diagnosa gangguan pelekatan reaktif adalah [1,3,4] :
Anak dengan gangguan pelekatan reaktif sebenarnya memiliki kemampuan dan kapasitas untuk membangun hubungan akrab dan intim dengan orang tua, pengasuh maupun orang lain [3].
Namun karena pengalaman yang kurang menyenangkan semasa kecilnya, anak tumbuh besar dengan membatasi diri dari keterikatan emosional [3].
Berikut ini adalah beberapa metode penanganan untuk gangguan pelekatan reaktif [1,2,3,4,5].
Orang tua sendiri pun memerlukan sesi kelas meningkatkan kemampuan pola asuh supaya bisa belajar cara efektif dalam mengasuh dan mendidik anak tanpa menyakitinya [3].
Selain terapi psikologis, anak perlu berada di lingkungan yang aman dan stabil [1,3,4,5].
Interaksi atau komunikasi positif dengan orang tua dan orang lain di sekitarnya akan membantu gejala gangguan pelekatan reaktif berkurang [1,3,4,5].
Bagaimana prognosis gangguan pelekatan reaktif?
Prognosis gangguan pelekatan reaktif berpotensi baik apabila gejala teridentifikasi sejak dini dan anak memperoleh penanganan yang tepat [1].
Pasien gangguan pelekatan reaktif yang menjalani penanganan dini memiliki potensi berkembang jauh lebih baik [1].
Hal ini akan jauh lebih bagus jika orang tua pasien berkontribusi besar dalam mendukung dan mendidik sang anak [1].
Namun bagi pasien tanpa adanya dukungan dan perhatian dari orang tua maupun pengasuh, sekalipun telah mendapat penanganan akan cukup sulit mengalami kemajuan [1,4].
Situasi traumatis yang dialami anak mampu memicu stres persisten dan bahkan semakin sulit untuk merasa aman di lingkungan mereka [1,4].
Tidak hanya itu, 52% remaja yang melanggar aturan diketahui memiliki borderline attachment disorder atau gangguan pelekatan reaktif [4,6].
Tanpa penanganan, gejala pada anak bisa semakin buruk saat ia tumbuh semakin besar [1,3].
Gejala dapat berkembang hingga bertahun-tahun kemudian dan risiko komplikasi pun cukup tinggi [1,3].
Beberapa risiko komplikasi yang dimaksud dan rentan dialami penderita gangguan pelekatan reaktif tanpa penanganan adalah [1,3] :
Sebagian kasus gangguan pelekatan reaktif juga berkaitan dengan berkembangnya gangguan kecemasan, depresi, conduct disorder, autisme, oppositional defiant disorder, dan ADHD (attention deficit-hyperactivity disorder) [1].
Sementara untuk gangguan pelekatan reaktif pada anak-anak lebih besar dan orang dewasa masih memerlukan penelitian lebih jauh [1].
Jadi, belum diketahui apakah gangguan pelekatan reaktif merupakan faktor utama yang memengaruhi anak-anak lebih besar dan orang dewasa yang bermasalah [1].
Belum diketahui secara pasti apakah ada cara mencegah gangguan pelekatan reaktif [.
Namun, terdapat beberapa cara dalam menurunkan risiko perkembangan gangguan pelekatan reaktif pada anak [3].
Upaya penurunan risiko dapat dilakukan oleh para pasangan yang hendak menikah dan berencana memiliki anak [3].
Pasangan menikah yang ingin memiliki anak perlu mengetahui hal-hal penting dalam pola asuh atau parenting [3].
Pengetahuan luas mengenai pola asuh anak setidaknya membantu pasangan untuk belajar menjadi orang tua yang mampu memenuhi kebutuhan emosional maupun fisik anak secara benar dan stabil [3].
Berikut ini adalah beberapa hal yang pasangan menikah (baik sebelum maupun setelah menjadi orang tua) bisa lakukan dalam penurunan risiko gangguan pelekatan reaktif [3].
Memastikan bahwa anak merasa disayangi dan diperhatikan adalah sebuah upaya besar untuk meminimalisir risiko gangguan pelekatan reaktif.
1. Elizabeth E. Ellis; Musa Yilanli; & Abdolreza Saadabadi. Reactive Attachment Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Rachel Pritchett, Jennifer Pritchett, Emma Marshall, Claire Davidson, & Helen Minnis. Reactive Attachment Disorder in the General Population: A Hidden ESSENCE Disorder. The Scientific World Journal; 2013.
3. Cleveland Clinic medical professional. Reactive Attachment Disorder (RAD). Cleveland Clinic; 2018.
4. Amy Morin, LCSW & Steven Gans, MD. What Is Reactive Attachment Disorder?. Verywell Mind; 2021.
5. Charles I. Schwartz, MD, FAAP, David Zieve, MD, MHA, & Brenda Conaway. Reactive attachment disorder of infancy or early childhood. Medline Plus; 2020.
6. Kate Moran, Jennifer McDonald, Alison Jackson, Sue Turnbull, & HelenMinnis. A study of Attachment Disorders in young offenders attending specialist services. Child Abuse & Neglect; 2017.