Beberapa orang dapat memiliki kebiasaan buang air besar setelah makan. Kebiasaan ini membuat orang tersebut merasa seolah makanan langsung keluar setelah memasuki perut[1, 2].
Tetapi faktanya, diperlukan waktu 1-2 hari untuk makanan mencapai bagian akhir saluran pencernaan. Sehingga meskipun kita langsung buang air tidak lama setelah makan, kemungkinan kita mengeluarkan sisa makanan yang dicerna sejak kemarin[1].
Kebanyakan kasus sering buang air besar (BAB) setelah makan tidak disebabkan oleh adanya gangguan yang memerlukan penanganan medis[2, 3].
Daftar isi
Terjadinya sering BAB setelah makan umumnya disebabkan oleh resfleks gastrokolik. Namun, dorongan BAB setelah makan juga dapat timbul akibat kondisi tertentu seperti inkontinensia fekal dan diare.
Sering kali penyebab dari sering buang air besar setelah makan ialah suatu refleks yang menstimulasi kontraksi di dalam usus besar, disebut sebagai refleks gastrokolik[1, 2].
Refleks gastrokolik merupakan suatu reaksi tidak disadari normal terhadap makanan yang masuk ke perut. Akan tetapi, intensitas dari refleks gastrokolik dapat berbeda antara satu orang dengan yang lain[1, 3].
Saat makanan mencapai perut, tubuh akan melepas hormon tertentu. Hormon ini akan menstimulasi usus besar untuk berkontrasi untuk memindahkan sisa makanan di sepanjang usus besar. Kontraksi ini dapat menyebabkan dorongan untuk buang air besar[1, 3].
Pada beberapa orang, refleks gastrokolik bersifat ringan dan tidak menimbulkan gejala. Sementara pada orang tertentu, refleks gastrokolik dapat terasa intens dan dorongan untuk BAB setelah makan terasa berat[1, 3].
Beberapa orang mengalami refleks gastrokolik secara lebih sering dan lebih intens dibandingkan orang lain pada umumnya[3].
Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan sindrom iritasi usus memiliki refleks gatrokolik yang sangat reaktif dengan kontraksi tekanan tinggi dalam merespon makanan[2].
Konsumsi makanan tertentu dan gangguan pencernaan dapat memicu refleks gastrokolik yang lebih kuat dan berlangsung lama, misalnya[1, 3]:
Ketika kondisi tertentu memperburuk refleks gastrokolik, penderita biasanya juga mengalami gejala lain, seperti[1, 3]:
Kondisi lain yang berpotensi menyebabkan dorongan untuk BAB ialah inkontinensia fekal. Orang dengan inkontinensia fekal tidak dapat mengendalikan atau mengatur BAB mereka dengan baik. Pada kasus berat, terkadang feses dapat keluar dari rektum dengan sendirinya tanpa peringatan[1, 3].
Inkontinensia fekal dapat bersifat ringan seperti keluarnya sedikit feses saat kentut hingga kasus berat di mana penderita sepenuhnya kehilangan kendali terhadap aktivitas BAB[3].
Inkontinensia fekal relatif mudah dibedakan dari efek refleks gastrokolik intens. Penderita inkontinensia fekal dapat BAB kapan saja, tidak hanya terjadi setelah makan[1, 3].
Penderita dapat mengalami inkontinensia fekal akibat beberapa hal, meliputi[1, 3]:
Terkadang dorongan untuk BAB tidak berkaitan dengan refleks gastrokolik, tapi akibat diare. Diare merupakan kondisi umum yang biasanya hanya berlangsung selama 1 atau 2 hari. Diare yang berlangsung selama 1 minggu atau lebih, dapat mengindikasikan adanya infeksi atau kelainan pencernaan[1, 3].
Diare terus menerus umumnya disebabkan oleh[1, 3]:
Pada kebanyakan kasus, sensasi dorongan untuk BAB setelah makan tidak mengharuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Refleks gastrokolik merupakan reaksi normal terhadap makanan yang memasuki perut[1].
Akan tetapi, sebaiknya memeriksakan diri ke dokter jika mengalami gejala berikut[1, 3]:
Refleks gastrokolik merupakan reaksi normal tubuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan. Pencegahan terjadinya refleks juga tidak dapat dilakukan[1, 3].
Meski demikian, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membantu mengurangi intensitas dari refleks gastrokolik dan dorongan BAB yang terkait[1].
Berikut beberapa cara mengurangi intensitas BAB setelah makan[1, 3]:
Jika mengalami sering BAB setelah makan disertai gejala perut lainnya, sebaiknya memeriksakan diri ke dokter. Bergantung pada durasi dan tingkat keparahan gejala, dokter dapat melakukan tes untuk mendiagnosis ada tidaknya kondisi kesehatan yang dapat menjadi pemicu.
Jika ditemukan kondisi tertentu, mengobati kondisi tersebut dapat membantu mengurangi intensitas refleks gastrokolik.
Jika BAB setelah makan disebabkan oleh diare atau inkontinensia fekal, dokter dapat memberikan penanganan untuk mengatasi kondisi tersebut.
Konsumsi makanan tertentu cenderung menyebabkan respon gastrokolik yang lebih intens, seperti makanan berlemak atau berminyak, produk susu (yogurt, keju) dan makanan tinggi serat (sayuran dan gandum utuh).
Untuk mengidentifikasi jenis makanan yang dapat memicu peningkatan intensitas BAB setelah makan, dapat dibuat jurnal harian untuk mencatat berbagai makanan yang dikonsumsi serta respon sistem pencernaan setelah memakannya.
Menghindari jenis makanan pemicu refleks gastrokolik dapat membantu meringankan gejala.
Pada beberapa orang, stress dapat menyebabkan peningkatan intensitas refleks gastrokolik sehingga makin sering BAB setelah makan. Untuk mengurangi intensitas, dapat dilakukan aktivitas yang membantu mengurangi stress, seperti olahraga dan meditasi.
1. Jenna Fletcher, reviewed by Kevin Martinez, M.D. What causes people to poop right after eating? Medical News Today; 2019.
2. Sara Ringer. The Gastrocolic Reflex: “Food Goes Right Through Me!” Inflammatory Bowel Disease; 2016.
3. Erica Cirino, reviewed by Kevin Martinez, M.D. Why Do I Have to Relieve Myself Immediately After Eating? Healthline; 2020.