Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Sindroma Bloch-Sulzberger adalah suatu kondisi genetik yang menyebabkab munculnya lepuh pada area batang tubuh dan alat gerak sesaat setelah lahir, yang kemudian sembuh, dan meninggalkan bekas berwarna
Daftar isi
Sindrom Bloch-Sulzberger atau yang juga dikenal dengan istilah incontinentia pigmenti merupakan sebuah penyakit genetik yang ditandai dengan luka atau lesi yang timbul lalu berkembang setelah bayi lahir [1,2,3,4,5,6].
Lesi ini muncul pada tubuh dan tungkai namun kemudian akan sembuh dengan sendirinya [2,3,6].
Meski demikian, hiperpigmentasi dapat terjadi sebagai akibatnya, yakni corak bekas luka yang berwarna lebih gelap dari warna kulit mirip berbentuk lingkaran mirip marmer [1,2,3,4].
Tinjauan Sindrom Bloch-Sulzberger atau incontinentia pigmenti adalah penyakit genetik di mana lesi hiperpigmentasi timbul dan berkembang dari bayi lahir atau setelah bayi lahir.
Mutasi genetik menjadi penyebab utama sindrom Bloch-Sulzberger meskipun sebab dari terjadinya mutasi itu sendiri belum diketahui [1,2,3,4].
Mutasi terjadi pada gen NEMO atau IKBKG; kini disebut dengan IKBKG, yaitu kode genetik untuk protein yang mengatur protein-protein lainnya dalam melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan [1,2,3].
Kelainan ini disebabkan oleh kelainan atau kecacatan pada kromosom X sehingga sindrom Bloch-Sulzberger lebih berpotensi dialami oleh bayi perempuan [1,2,3].
Tinjauan Mutasi gen NEMO (sekarang disebut dengan IKBKG) menjadi penyebab utama sindrom Bloch-Sulzberger.
Sindrom Bloch-Sulzberger dapat menimbulkan gejala-gejala fisik yang nampak pada bayi baru lahir, terutama bagian kulit, rambut, mata, kuku dan gigi.
Perubahan pada kulit adalah tanda utama pada kondisi sindrom Bloch-Sulzberger yang dibagi menjadi 4 tahap kondisi menurut usia dan tingkat keparahan luka pada kulit [1,2,3,4].
Umumnya lesi atau luka akan nampak pada tungkai dan lengan dalam bentuk lingkaran, namun selain itu juga dapat timbul di bagian kulit kepala serta wajah [1,2,3,4].
Penderita sindrom Bloch-Sulzberger sekitar 50% mengalami kebotakan atau alopecia [2].
Biasanya pada penderita dengan kondisi alopecia ini, terdapat 2 buah lesi yang kemudian meninggalkan bekas luka [2].
Kebotakan disertai dengan pertumbuhan rambut yang berbeda dari anak-anak pada umumnya karena rambut cenderung keriting, kusam (tidak berkilau) serta bertekstur kasar [2,3,4].
Selain kulit, sindrom Bloch-Sulzberger dapat menyebabkan keabnormalan pada bagian mata, seperti mata yang terlalu kecil dari normalnya saat bayi lahir [1,2,3,4].
Kelainan pada perkembangan pembuluh darah pada membran lapisan retina bisa menjadi penyebab dibalik hal ini [2].
Untuk itu, penanganan sangat diperlukan segera pada bayi yang lahir dengan kelainan seperti ini atau risiko ablasi retina semakin tinggi [2,3,4].
Bila tak cepat ditangani, ablasi retina dapat terjadi dan berakibat pada gangguan penglihatan permanen atau bahkan kebutaan total [2,4].
Kelainan lainnya yang menunjukkan bahwa seorang anak mengalami sindrom Bloch-Sulzberger terdapat pada gigi [1,2,3,4].
50-75% pasien sindrom Bloch-Sulzberger memiliki kontur gigi yang abnormal di mana gigi yang tumbuh berbentuk kerucut [2].
Kelainan pada gigi juga ditandai dengan gigi tumbuh dengan ukuran terlampau kecil (mikrodontia) atau justru tidak adanya pembentukan benih gigi sama sekali (anodontia) [1,2,3].
Selain mata, rambut, kulit dan gigi, kuku penderita sindrom Bloch-Sulzberger juga mengalami kelainan yang disebut juga dengan onychogryphosis [2,3,4].
Onychogryphosis sendiri adalah kondisi kuku yang menebal dan tampak lebih besar dari normalnya [2,3,4].
Selain penebalan kuku, penderita sindrom Bloch-Sulzberger juga memiliki kuku yang bergerigi atau bahkan lahir tanpa kuku sama sekali pada kaki dan tangan [1,2,3,4].
Sindrom Bloch-Sulzberger dapat menimbulkan sejumlah gejala lain, seperti kelainan pada perkembangan payudara, seperti ketiadaan payudara atau bahkan perkembangan puting yang berlebihan [2,3,4].
Tinjauan Gejala sindrom Bloch-Sulzberger meliputi kelainan pada kulit, rambut, mata, kuku, gigi hingga pertumbuhan payudara yang abnormal.
Walau sulit terdiagnosa, bukan berarti sindrom Bloch-Sulzberger sama sekali tidak dapat didiagnosa.
Beberapa metode diagnosa yang dokter umumnya lakukan untuk memastikan kondisi sindrom Bloch-Sulzberger dan juga menentukan pengobatannya antara lain :
Dokter seperti biasa akan memeriksa fisik pasien lebih dulu, di mana dalam hal ini dokter akan mengecek kondisi fisik bayi yang baru lahir [1,2,3].
Karena penyakit genetik atau bawaan lahir kerap berhubungan dengan faktor keturunan, maka dokter kemungkinan akan menanyakan riwayat kesehatan pasien (untuk anak yang sudah lebih besar) maupun keluarga pasien [1,2,3].
Untuk memastikan adanya kondisi mutasi gen IKBKG, maka tes genetik molekuler mungkin akan direkomendasikan oleh dokter [2,3,5].
Agar dokter dapat mengonfirmasi sindrom Bloch-Sulzberger, dokter juga akan menerapkan biopsi kulit, yakni pengambilan sampel jaringan kulit pasien [2,3,5].
Sampel ini kemudian dibawa dokter ke laboratorium supaya dapat menganalisanya secara detail [2,3,5].
Dokter menggunakan 4 kriteria utama berikut untuk memastikan bahwa pasien menderita penyakit sindrom Bloch-Sulzberger [3].
Sementara itu, kriteria minor atau kriteria pendukung seseorang dapat didiagnosa dengan sindrom Bloch-Sulzberger adalah [3] :
Terdapat 4 tahap kondisi sindrom Bloch-Sulzberger yang perlu diketahui menurut tingkatan usia penderitanya, yaitu [2,3] :
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes genetik molekular dan biopsi kulit adalah serangkaian metode pemeriksaan yang umumnya dokter terapkan untuk memastikan kondisi sindrom Bloch-Sulzberger pada pasien. Diagnosa dilakukan berdasarkan kriteria utama dan minor untuk menentukan apakah pasien mengalami sindrom Bloch-Sulzberger dan bukan penyakit genetik lainnya.
Sindrom Bloch-Sulzberger pada dasarnya tidak memerlukan penanganan khusus karena kelainan pada kulit biasanya akan memudar dan hilang sendirinya saat anak beranjak remaja hingga dewasa [1,2].
Hanya saja, terdapat risiko lesi tahap I dan II sindrom Bloch-Sulzberger timbul secara berulang hingga usia dewasa [2].
Meski demikian, tetap terdapat beberapa kondisi penderita yang memerlukan penanganan medis seperti berikut [1,2,3] :
Tinjauan Sindrom Bloch-Sulzberger pada dasarnya tidak membutuhkan penanganan apapun, namun pada beberapa kasus sindrom Bloch-Sulzberger dokter memberikan obat dan terapi sesuai dengan gejala yang dialami pasien.
Meski gejala sindrom Bloch-Sulzberger dapat dikendalikan oleh beberapa penanganan yang dokter berikan, beberapa kasus sindrom ini mampu menimbulkan sejumlah komplikasi.
Komplikasi neurologis paling serius dan patut diwaspadai adalah stroke bawaan yang walaupun jarang terjadi, hal ini dapat mengakibatkan anak mengalami kejang [2,3,4].
Sementara itu, risiko komplikasi sindrom Bloch-Sulzberger lainnya meliputi kelemahan otot atau paralisis (di satu atau kedua sisi tubuh), gangguan intelektual, hingga perkembangan motorik yang lamban [2].
Tinjauan Komplikasi neurologis seperti stroke bawaan dan kejang serta kelemahan otot, gangguan intelektual hingga perkembangan motorik yang terlambat menjadi risiko komplikasi sindrom Bloch-Sulzberger yang perlu diwaspadai.
Belum diketahui cara mencegah agar sindrom Bloch-Sulzberger sama sekali tidak terjadi.
Namun agar lesi tidak mengalami infeksi, maka pemantauan oleh dokter perlu dilakukan terhadap perkembangan kondisi ini [6].
Pemantauan kondisi dapat juga dilakukan oleh dokter gigi dan dokter mata, terutama pada anak usia dini [6].
Tinjauan Belum ada langkah pencegahan untuk sindrom Bloch-Sulzberger, namun pemantauan kondisi oleh dokter sangat dianjurkan agar meminimalisir risiko infeksi pada lesi.
1. Gabriela Franco Marques, Claudio Sampieri Tonello, & Juliana Martins Prazeres Sousa. Incontinentia pigmenti or Bloch-Sulzberger syndrome: a rare X-linked genodermatosis. Anais Brasileiros de Dermatologia; 2014.
2. National Organization for Rare Disorders (NORD). Incontinentia Pigmenti. National Organization for Rare Disorders (NORD); 2021.
3. Angela E Scheuerle, MD, FAAP, FACMG & Matilde Valeria Ursini, PhD. Incontinentia Pigmenti. Gene Reviews; 2017.
4. Cláudia Schermann Poziomczyk, Júlia Kanaan Recuero, Luana Bringhenti, Fernanda Diffini Santa Maria, Carolina Wiltgen Campos, Giovanni Marcos Travi, André Moraes Freitas, Marcia Angelica Peter Maahs, Paulo Ricardo Gazzola Zen, Marilu Fiegenbaum, Sheila Tamanini de Almeida, Renan Rangel Bonamigo, & Ana Elisa Kiszewski Bau. Incontinentia pigmenti. Anais Brasileiros de Dermatologia; 2014.
5. Francesca Fusco, Alessandra Pescatore, Julie Steffann, Ghislaine Royer, Jean-Paul Bonnefont, & Matilde Valeria Ursini. Clinical Utility Gene Card for: incontinentia pigmenti. European Journal of Human Genetics; 2013.
6. Vanessa Ngan & Dr Lydia Chan. Incontinentia pigmenti. DermNet NZ; 2016.