Sindrom Menkes : Penyebab – Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Sindrom Menkes adalah suatu kondisi yang diturunkan yang mempengaruhi cara tubuh dalam mengatur kadar tembaga di dalam darah. Penyakit ini terutama mengenai sistem saraf dan jaringan penyambung, dengan

Sindrom Menkes atau Menkes syndrome yang juga disebut dengan penyakit Menkes adalah sebuah kondisi kelainan genetik langka di mana penyerapan mineral tembaga di dalam tubuh tidak terjadi secara normal [1,2,3,4,5,6].

Karena hal itu, tubuh menjadi kekurangan tembaga yang berakibat pada kerapuhan dan kekeringan pada rambut, kelemahan otot, mengendurnya kulit, hingga tubuh kejang [1,2,3,4,5,6].

Tinjauan
Sindrom Menkes adalah suatu kondisi rendahnya kadar tembaga di dalam tubuh secara abnormal yang disebabkan oleh kelainan genetik.

Fakta Tentang Sindrom Menkes

  1. Sindrom Menkes jauh lebih rentan terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan prevalensi 1 dari 35.000 kelahiran bayi laki-laki [1,2].
  2. Anak perempuan dapat lahir dengan kondisi kelainan genetik sindrom Menkes, namun tidak mengalami gejalanya, melainkan hanya sebagai pembawa gen cacat [1,2].
  3. Prevalensi sindrom Menkes di Australia adalah 1 dari 50.000 hingga 1 dari 100.000 kelahiran [2].
  4. Di Indonesia, data epidemiologi sindrom Menkes belum diketahui secara jelas.

Penyebab Sindrom Menkes

Sindrom Menkes merupakan sebuah penyakit yang berhubungan dengan kromosom X di mana kelainan genetik disebabkan utamanya oleh mutasi gen [1,2,3,4].

Gen ATP7A mengalami perubahan atau mutasi, padahal gen inilah yang berperan penting dalam produksi enzim ATPase yang mengatur kadar tembaga di dalam tubuh [1,2,3,4].

Penderita sindrom Menkes memiliki kadar mineral tembaga di dalam tubuh yang tidak seimbang [1,2,3,4].

Kadar tembaga pada usus dan ginjal tergolong tinggi dan berlebihan, sementara tembaga pada hati dan otak justru sangat rendah [1,2].

Padahal, tembaga merupakan jenis mineral penting untuk mendukung fungsi dan struktur tubuh [1,2].

Sebagai akibat dari gangguan dan keabnormalan kadar tembaga, pigmentasi kulit dan rambut menjadi salah satu dampaknya [2].

Hal ini disebabkan oleh berkurangnya aktivitas cuproenzyme tyrosinase [1,2,3,4].

Sementara itu, pembentukan jaringan lunak dalam tubuh juga menjadi tidak sempurna, seperti halnya dinding pembuluh darah dalam untuk terbentuk kuat karena penurunan aktivitas cuproenzyme lysine oxidase [2].

Karena wanita memiliki 2 buah kromosom X, maka ketika salah satu kromosom X di dalam tubuh tidak bekerja dengan baik, mereka masih memiliki kromosom X lainnya [2].

Hal ini menjadi alasan mengapa wanita memiliki risiko lebih kecil mengalami gejala sindrom Menkes dan hanya menjadi pembawa gen cacatnya saja [1,2].

Sementara itu, pria memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala-gejala sindrom Menkes karena di dalam tubuh pria hanya ada 1 buah kromosom X [1,2].

Maka ketika kromosom X yang ia warisi dari sang ibu, risiko penyakit Menkes meningkat [2].

  • Wanita yang di dalam tubuhnya membawa kromosom X yang cacat memiliki 50% peluang untuk memiliki anak laki-laki yang tidak akan mengalami sindrom Menkes dan 50% peluang memiliki anak laki-laki yang akan mengembangkan sindrom Menkes.
  • Wanita yang di dalam tubuhnya membawa kromosom X abnormal memiliki peluang 50% memiliki anak perempuan yang normal dan tidak menjadi pembawa gen abnormal di dalam tubuhnya dan peluang 50% lainnya memiliki anak perempuan yang membawa gen abnormal tanpa gejala.
  • Pria dengan kondisi sindrom Menkes memiliki kemungkinan untuk menurunkan gen abnormal kepada anak perempuannya di mana sang anak perempuan menjadi pembawa gen abnormal tanpa gejala.
  • Pria dengan kondisi sindrom Menkes tidak dapat menurunkan gen abnormal ke anak-anak laki-lakinya karena pria hanya mewariskan kromosom Y kepada keturunan laki-laki.
Tinjauan
Mutasi gen ATP7A (gen yang menghasilkan enzim ATPase sebagai pengatur kadar tembaga di dalam tubuh) menjadi penyebab utama sindrom Menkes dapat terjadi. Hal ini berhubungan dengan ketiadaan atau ketidakfungsian kromosom X pada bayi laki-laki sehingga sindrom Menkes lebih rentan terjadi pada laki-laki dengan gejala, sedangkan perempuan lebih berisiko sebagai pembawa gen cacatnya saja.

Gejala Sindrom Menkes

Sindrom Menkes umumnya ditandai dengan sejumlah gejala yang berhubungan dengan kulit serta rambut, seperti [1,2,3,4] :

  • Kulit kering
  • Rambut kasar
  • Rambut berwarna gading, putih atau keabuan
  • Rambut keriting
  • Rambut tipis
  • Rambut tampak kusut
  • Bayi baru lahir dengan kondisi sindrom Menkes umumnya memiliki kondisi jaundice (bagian putih mata dan kulit menguning karena kelebihan bilirubin di dalam darah).
  • Suhu tubuh lebih rendah dari normalnya atau hipotermia.

Namun pada beberapa kasus, penderita pun dapat mengalami fase tanpa gejala (asimptomatik) yang juga disebut dengan fase normal; hanya saja fase ini hanya akan dialami selama 2-3 bulan saja [2].

Tinjauan
Pada beberapa kasus memang penderita mengalami sindrom Menkes tanpa gejala, namun biasanya gejala utama sindrom Menkes meliputi gangguan dan kelainan pada kulit serta rambut. Selain itu, hipotermia dan jaundice juga dapat menyertai selain masalah kulit dan rambut.

Pemeriksaan Sindrom Menkes

Untuk memastikan bahwa seseorang, khususnya bayi yang baru lahir mengalami sindrom Menkes atau bukan, beberapa metode pemeriksaan berikut umumnya perlu diterapkan.

  • Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan

Gejala fisik pada sindrom Menkes begitu nampak, terutama dari kondisi kulit dan rambut [1,2].

Dokter perlu memeriksa keduanya lebih dulu yang diikuti dengan pengajuan sejumlah pertanyaan kepada keluarga pasien terkait riwayat medis [1,2].

Riwayat kesehatan keluarga pasien menjadi informasi penting bagi dokter dalam menegakkan diagnosa [1,2].

  • Evaluasi Biokimia / Tes Darah

Pemeriksaan ini bertujuan memeriksa kadar tembaga sekaligus ceruloplasmin di dalam tubuh pasien [1,2].

Pada kasus sindrom Menkes, biasanya kadar keduanya cenderung rendah, yakni antara 0-55 microgram/dL dan 10-160 mg/dL [1].

Padahal, kadar normal keduanya adalah antara 70-150 microgram/dL dan 200-450 mg/dL; rentang antara kadar normal dan kadar pada kondisi sindrom Menkes terlalu jauh, terutama pada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan [1].

Untuk pemeriksaan cepat, biasanya dokter akan menggunakan analisa katekolamin plasma yang menjadi indikator dari kurangnya kadar hidroksilase dopamin [1,2].

  • MRI Otak

Pemeriksaan lainnya yang juga penting untuk mengetahui bagaimana kondisi otak pasien adalah dengan penempuhan MRI scan khusus untuk otak [1,4].

  • Sinar-X

Rontgen atau sinar-X merupakan pemeriksana penunjang yang juga umumnya digunakan oleh dokter untuk mengetahui apakah terjadi kelainan pada tulang pasien [1,4,5].

Dokter menggunakan metode pemeriksaan ini umumnya untuk mengetahui secara jelas gambar rekaman aktivitas listrik pada otak pasien [1].

Meski EEG adalah metode diagnosa yang diterapkan untuk memeriksa pasien epilepsi, dokter juga dapat menggunakannya untuk mendiagnosa adanya kelainan atau gangguan otak lain.

Hasil pemeriksaan EEG memiliki akurasi yang lebih tinggi pada rekamannya sehingga dokter dapat menegakkan diagnosa.

  • Tes Genetik Molekular

Tes genetik ini pun kemungkinan diperlukan dan dokter akan merekomendasikannya untuk membuktikan bahwa terdapat mutasi pada gen ATP7A yang menyebabkan sindrom Menkes terjadi [2].

Tes genetik molekular ini menjadi metode pemeriksaan skrining yang efisien, terutama pada bayi yang baru lahir [2].

  • Pemeriksaan Prenatal

Bagi para ibu hamil, terutama usia kehamilan awal, sebaiknya periksakan kondisi janin secara rutin ke dokter [1,2,4].

Pemeriksaan prenatal sangat berguna untuk mendeteksi adanya kelainan genetik secara dini, termasuk adanya mutasi gen seperti mutasi gen ATP7A [1,2].

Pemeriksaan ini jauh lebih dianjurkan bagi para ibu hamil yang diketahui memiliki riwayat keluarga dengan kelainan genetik atau beberapa kondisi penyakit bawaan [1,2].

Tinjauan
Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes darah (tes kadar tembaga), MRI otak, sinar-X, EEG, tes genetik molekular dan pemeriksaan prenatal adalah sejumlah metode diagnosa yang dianjurkan untuk mendiagnosa sindrom Menkes secara tepat.

Pengobatan Sindrom Menkes

Penanganan sindrom Menkes diterapkan sesuai dengan tingkat keparahan dari mutasi gen ATP7A dan seberapa baik fungsi gen ini di dalam tubuh pasien [1].

Karena mutasi gen ATP7A menjadi penyebab utama tubuh mengalami kekurangan mineral tembaga, maka tujuan penanganan sindrom Menkes adalah memenuhi kebutuhan mineral tembaga di dalam tubuh pasien serta enzim-enzim yang dibutuhkan tubuh untuk bekerja dengan baik [1].

Histidin tembaga atau copper histidine dianggap sebagai penanganan yang memiliki efektivitas paling besar daripada pemenuhan tembaga secara oral [1,2,3,4,5,6].

Efektivitas dari metode penanganan ini dapat lebih terlihat pada pasien sebelum usia 3 minggu. Beberapa manfaat copper histidine antara lain adalah [1] :

  • Mengatasi gejala pada rambut dan kulit.
  • Menambah berat badan pasien.
  • Meningkatkan kemampuan sosial kognitif pasien.
  • Meningkatkan tonus otot.

Selain copper histidine, terdapat beberapa bentuk penanganan lainnya yang dapat membantu meredakan gejala sindrom Menkes, yaitu [1,4] :

  • Selang makan untuk membantu pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan seimbang.
  • Selang gastrotomi atau G-tube yang dapat membantu pasien dengan disfagia.
  • Antiepileptik untuk pasien yang mengalami kejang.
  • Prosedur bedah untuk pasien yang mengalami komplikasi urologis.
  • Terapi bicara, terapi okupasi dan terapi fisik untuk mendukung pengobatan medis.
  • Alat bantu ortopedi untuk pasien dengan masalah jaringan ikat.
Tinjauan
Copper histidine, selang makan (feeding tube), G-tube, antiepileptik, prosedur bedah, hingga alat bantu ortopedi dapat membantu menangani gejala maupun komplikasi penderita sindrom Menkes. Pengobatan sindrom Menkes disesuaikan dengan jenis kondisi gejala serta tingkat keparahannya.

Komplikasi Sindrom Menkes

Ketika sindrom Menkes terlambat dalam pendeteksiannya, beberapa risiko komplikasi yang dapat terjadi antara lain meliputi [1,2] :

  • Tubuh kejang
  • Infeksi berulang (termasuk infeksi pernapasan)
  • Kebutaan
  • Hematoma subdural (penggumpalan darah)
  • Keterlambatan tumbuh kembang
  • Osteoporosis atau penurunan kepadatan tulang
  • Patah tulang
  • Emfisema atau gangguan kesehatan bersifat kronis yang diakibatkan oleh kantong udara kecil di paru-paru yang mengalami gangguan serta keruksakan.
  • Sindrom tanduk oksipital
  • Pecahnya arteri pada otak
  • Kematian

Risiko kematian tetap tinggi pada penderita sindrom Menkes terutama pada saat menginjak usia 3 tahun; hal ini dapat disebabkan oleh keterlambatan atau ketidaktepatan dalam penanganan [1].

Tinjauan
Walaupun gejala utama sindrom Menkes meliputi gangguan dan kelainan pada kulit maupun rambut, sejumlah risiko komplikasi dapat berkaitan dengan fungsi penglihatan, kesehatan tulang, keterlambatan tumbuh kembang, infeksi yang akan terjadi berulang kali, hingga kematian (apabila tak segera ditangani).

Pencegahan Sindrom Menkes

Belum diketahui bagaimana cara mencegah agar sindrom Menkes tidak terjadi sama sekali karena kondisi ini merupakan kelainan genetik [5].

Namun untuk mendeteksi dan menangani secara dini, para ibu hamil sangat dianjurkan untuk menempuh tes dan konseling genetik pada masa awal-awal kehamilan secara rutin.

Pada pemilik keluarga dengan riwayat kelainan genetik, periksakan rutin kondisi kehamilan untuk mengetahui kondisi janin dan perkembangannya.

Tinjauan
Tidak terdapat langkah pencegahan untuk sindrom Menkes, namun setidaknya ibu hamil dapat melakukan konseling genetik pada awal kehamilan atau bahkan saat merencanakan kehamilan.

1. Praveen Kumar Ramani & Bindu Parayil Sankaran. Menkes Kinky Hair Disease. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. National Organization for Rare Disorders (NORD). Menkes Disease. National Organization for Rare Disorders (NORD); 2021.
3. Zeynep Tümer & Lisbeth B Møller. Menkes disease. European Journal of Human Genetics; 2010.
4. Rahul Ojha & Asuri N Prasad. Menkes disease: what a multidisciplinary approach can do. Journal of Multidisciplinary Healthcare; 2016.
5. Michael Woods, MD, FAAP. Menkes Syndrome. Winchester Hospital; 2021.
6. B Sarkar, K Lingertat-Walsh, & J T Clarke. Copper-histidine therapy for Menkes disease. The Journal of Pediatrics; 1993.

Share