Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Skizofreniform merupakan penyakit mental dengan gejala seperti skizofrenia namun dengan gejala kurang dari 6 bulan. Skizofrenia sendiri adalah suatu penyakit yang membuat penderitanya sulit untuk membedakan
Daftar isi
Skizofreniform merupakan salah satu jenis penyakit mental dengan gejala yang mirip dengan skizofrenia [1,2,3].
Namun, yang membedakannnya dari skizofrenia adalah skizofreniform menimbulkan gejala yang hanya dialami tidak sampai 6 bulan [3].
Sama dengan skizofrenia, skizofreniform membuat penderitanya tak mampu membedakan imajinasi dan halusinasi dengan realita.
Pada penderita skizofreniform, cara mereka meluapkan emosi, cara berpikir hingga cara berperilaku menjadi terpengaruh.
Dokter biasanya akan langsung mendiagnosa pasien dengan skizofrenia apabila gejala terjadi lebih dari 6 bulan dan bukan lagi tergolong sebagai kondisi skizofreniform [3].
Tinjauan - Skizofreniform adalah salah satu gangguan psikologis atau gangguan kesehatan mental di mana penderita tak dapat membedakan halusinasi dan realita. - Perbedaannya dari skizofrenia adalah gejala skizofreniform terjadi kurang dari 6 bulan.
Penyebab pasti skizofreniform belum diketahui jelas hingga kini, namun beberapa faktor di bawah ini sangat kuat diyakini oleh para peneliti sebagai peningkat risiko skizofreniform.
Ada kemungkinan cukup besar bahwa skizofreniform merupakan sebuah kondisi yang diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya [1,2,3,4].
Bila orang tua memiliki riwayat skizofreniform atau kondisi gangguan mental tertentu, maka besar risiko untuk anak mewarisi kondisi tersebut.
Risiko boleh tinggi untuk menurunkan kondisi gangguan mental tertentu, namun tidak semua orang tua dengan keadaan tersebut akan benar-benar dapat menurunkannya kepada sang anak.
Beberapa kasus skizofreniform dipicu oleh faktor lingkungan, seperti kejadian tertentu yang membuat seseorang trauma [1,2,3,4].
Stres atau tekanan dari luar serta interaksi sosial yang buruk mampu menjadi peningkat risiko seseorang menderita skizofreniform.
Selain faktor keturunan dan lingkungan, masalah pada otak pun mampu menjadi salah satu pemicu skizofreniform [3,5].
Jika terdapat zat-zat tertentu di dalam otak (neurotransmitter) yang tidak seimbang, maka pengiriman sinyal serta pesan ke organ lainnya menjadi terganggu [5].
Ketika transmisi pesan tidak berjalan dengan baik dan normal, gejala skizofreniform pun akan muncul.
Tinjauan Faktor genetik, faktor lingkungan, dan ketidakseimbangan zat dalam otak (neurotransmitter) mampu meningkatkan risiko seseorang mengalami skizofreniform.
Walau skizofreniform dan skizofrenia adalah dua kondisi berbeda, faktor pembeda utama adalah lama timbulnya gejala di mana skizofreniform lebih sebentar daripada skizofrenia.
Namun dari segi bentuk gejala yang disebabkan, berikut ini adalah deretan gejala yang dapat dianggap mirip dengan skizofrenia [1,2,3,4,6].
Tinjauan Halusinasi, delusi, tubuh lemah dan kelelahan, penarikan diri dari interaksi sosial dan hal-hal yang disenangi, serta tidak merawat diri dengan baik merupakan tanda-tanda umum skizofreniform.
Untuk memastikan kondisi apa yang dialami oleh pasien dengan gejala yang menyerupai skizofrenia dan skizofreniform, beberapa metode diagnosa perlu diterapkan.
Bila pasien atau keluarga pasien mengeluhkan adanya gejala fisik, maka penting bagi dokter untuk memeriksa fisik pasien lebih dulu [3,14].
Ada kalanya gejala fisik dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan pada kepribadian, mental dan jiwa penderita.
Meski demikian, tidak ada tes laboratorium khusus untuk mendiagnosa skizofreniform dan dokter umumnya menerapkan tes pemindaian dan tes darah [3].
Selain pemeriksaan fisik pasien, dokter juga menanyakan seputar riwayat medis maupun riwayat gejala kepada pasien maupun keluarga pasien.
Untuk menegakkan diagnosa, ada kemungkinan dokter pun ingin tahu sedetail mungkin riwayat medis keluarga pasien.
Jika keluarga pasien memiliki riwayat skizofreniform atau kondisi psikosis lainnya, maka semakin besar kemungkinan pasien mengalaminya karena faktor genetik [3].
Jika dari hasil pemeriksaan tersebut tidak didapati adanya gejala fisik yang berpotensi menimbulkan gejala, maka dokter segera merujukkan pasien kepada psikolog atau psikiater.
Ahli kesehatan mental dan jiwa akan lebih akurat dan membantu dalam pemeriksaan maupun penanganan gejala yang dialami pasien.
Oleh dokter ahli kesehatan mental seperti psikiater atau psikolog, evaluasi psikologis pasti diterapkan kepada pasien melalui wawancara khusus [3,15].
Selain itu, observasi perilaku dan cara pikir terhadap pasien juga akan dilakukan untuk menegakkan diagnosa.
Untuk menghasilkan diagnosa terbaik, maka biasanya kriteria diagnostik dari DSM-5 atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th Edition dijadikan panduan [6].
Buku referensi standar kriteria diagnosa penyakit mental tersebut banyak digunakan, termasuk dalam proses diagnosa skizofreniform.
Jika pasien memenuhi karakteristik gejala yang disebutkan pada DSM-5, terutama mengalami gejala antara 1-6 bulan (tidak lebih dari 6 bulan), dapat dipastikan pasien menderita skizofreniform [3,6].
Berikut ini adalah kriteria diagnostik DSM-5 yang digunakan sebagai panduan dalam memeriksa dan menentukan hasil diagnosa skizofreniform adalah [3,6] :
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, dan evaluasi psikologis (melalui wawancara dengan pasien dan observasi perilaku pasien) merupakan metode diagnosa untuk kondisi skizofreniform.
Bila dari hasil pemeriksaan fisik dan psikologis menunjukkan bahwa pasien benar-benar mengalami skizofreniform, terapi obat dan psikoterapi dibutuhkan oleh pasien [3].
Tujuan pengobatan dengan pemberian obat serta psikoterapi adalah untuk menstabilkan kondisi pasien, meredakan gejala dan melindungi diri pasien.
Obat-obatan yang diresepkan oleh dokter bertujuan mengatasi gangguan berpikir, halusinasi maupun delusi pasien.
Jenis obat yang diberikan kepada pasien adalah antipsikotik, lebih tepatnya antipsikotik atipikal yang meliputi [3,7] :
Jenis obat antipsikotik pun mampu menimbulkan sejumlah efek samping, maka konsultasikan secara rinci dengan dokter mengenai dampak pemakaian jangka pendek maupun panjang.
Psikoterapi adalah jenis terapi yang membantu pasien dalam mempelajari sekaligus memahami penyakit yang dideritanya [3,8].
Psikoterapi juga bertujuan membantu pasien untuk mengatasi masalah sehari-harinya yang berkaitan dengan skizofreniform.
Melalui terapi ini, pasien diharapkan mampu mengatasi rasa stres yang memicu gejala skizofreniform.
Terapi keluarga pun tergolong sebagai psikoterapi yang secara efektif membantu pasien lebih cepat pulih [3,9].
Meski gejala sudah mereda dan kondisi pasien dianggap membaik, pasien tetap sebaiknya melanjutkan perawatan selama 12 bulan ke depan [3].
Perawatan lanjutan biasanya meliputi pengurangan dosis obat sambil pihak medis memantau kambuhnya gejala pada pasien.
Penting untuk mengedukasi diri pasien dan keluarga pasien tentang jenis penyakit mental yang dialami oleh pasien [10].
Hal ini bertujuan agar tanda-tanda awal kekambuhan gejala dapat segera diatasi dengan tepat.
Untuk kasus skizofreniform di mana pasien sudah pada tahap yang sangat berat dan parah, mereka memerlukan perawatan di rumah sakit [3,11].
Rawat inap adalah jalan terbaik bagi pasien yang mencoba melukai diri sendiri maupun orang lain.
Petugas medis akan membantu mengawasi pasien hingga kondisi mereka lebih stabil sambil memberikan terapi obat.
Tinjauan Penanganan skizofreniform biasanya meliputi pemberian obat-obatan antipsikotik, psikoterapi, dan rawat inap (apabila pasien memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri).
Sekitar dua per tiga penderita skizofreniform memiliki kondisi skizofrenia di mana skizofrenia di sini merupakan salah satu risiko komplikasi [1,2,3].
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa skizofreniform menimbulkan gejala yang tidak sampai 6 bulan, namun jika lebih dari 6 bulan, maka kondisi sudah tergolong sebagai skizofrenia [3,6].
Gangguan skizoafektif dan gangguan bipolar adalah risiko komplikasi lainnya yang perlu diwaspadai oleh pasien [3,12].
Ketika gejala skizofreniform berlanjut lebih dari 6 bulan, gangguan suasana hati psikotik lebih mudah untuk berkembang.
Pada beberapa kasus skizofreniform lainnya yang tidak segera ditangani dapat berujung pada depresi berat [13].
Jika depresi ini tak juga segera mendapatkan perawatan, maka risiko penderita mengakhiri hidup atau bunuh diri lebih tinggi [13].
Tinjauan Skizofrenia, depresi berat, skizoafektif, gangguan bipolar, hingga keinginan/aksi bunuh diri dapat menjadi risiko komplikasi skizofreniform yang perlu diwaspadai.
Hingga kini belum ada cara khusus untuk mencegah skizofreniform karena penyebabnya tidak diketahui jelas.
Namun, pemeriksaan gejala secara dini akan membantu penanganan gejala secara awal sehingga peluang pemulihan pasien lebih besar.
Dengan menangani gejala skizofreniform sejak kemunculannya, hal ini dapat meminimalisir risiko komplikasi yang berpotensi menghambat kelangsungan hidup pasien [3].
Ketika skizofreniform tidak segera ditangani, skizofrenia dapat terjadi.
Bila penderita sudah di tahap kondisi skizofrenia, penyakit ini akan jauh lebih sulit ditangani dan bersifat jangka panjang.
Tinjauan Belum terdapat cara efektif dalam mencegah skizofreniform. Namun dengan penanganan dini, risiko perburukan gejala dan komplikasi dapat dihindari.
1. Doris T. Tan DO. Handbook of Emergency Psychiatry: CHAPTER 10 - The Acutely Psychotic Patient. Elsevier; 2007.
2. Ravinder N Bhalla, MD, David Bienenfeld, MD, & Francisco Talavera, PharmD, PhD. Schizophreniform Disorder. Medscape; 2018.
3. Cleveland Clinic medical professional. Schizophreniform Disorder. Cleveland Clinic; 2020.
4. Jitender Aneja, Kartik Singhai, & Karandeep Paul. Very early-onset psychosis/schizophrenia: Case studies of spectrum of presentation and management issues. Journal of Family Medicine and Primary Care; 2018.
5. Carol A. Tamminga, MD & Deborah R. Medoff, PhD. The biology of schizophrenia. Dialogues in Clinical Neuroscience; 2000.
6. Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Impact of the DSM-IV to DSM-5 Changes on the National Survey on Drug Use and Health. Rockville (MD): Substance Abuse and Mental Health Services Administration (US); 2016.
7. Krutika Chokhawala & Lee Stevens. Antipsychotic Medications. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. Julie P. Gentile, MD & Parker Niemann, MD. Supportive Psychotherapy for a Patient with Psychosis. Psychiatry; 2006.
9. Alejandra Caqueo-Urízar, Mar Rus-Calafell, Alfonso Urzúa, Jorge Escudero, & José Gutiérrez-Maldonado. The role of family therapy in the management of schizophrenia: challenges and solutions. Neuropsychiatric Disease and Treatment; 2015.
10. Hatsumi Yoshii, Yuichiro Watanabe, Hideaki Kitamura, Jun Chen, & Kouhei Akazawa. Effect of an education program on improving knowledge of schizophrenia among parents of junior and senior high school students in Japan. BioMed Central Public Health; 2011.
11. Philip D. Harvey, PhD, David A. Loewenstein, PhD, & Sara J. Czaja, PhD. Hospitalization and Psychosis: Influences on the Course of Cognition and Everyday Functioning in People with Schizophrenia. HHS Public Access; 2014.
12. Laura F Martin, Mei-Hua Hall, Randal G Ross, Gary Zerbe, Robert Freedman, & Ann Olincy. Physiology of schizophrenia, bipolar disorder, and schizoaffective disorder. The American Journal of Psychiatry; 2007.
13. John Kasckow, Kandi Felmet, & Sidney Zisook. Managing Suicide Risk in Patients with Schizophrenia. HHS Public Access; 2011.
14. Stephen M. Lawrie, Bayanne Olabi, Jeremy Hall, & Andrew M. McIntosh.Do we have any solid evidence of clinical utility about the pathophysiology of schizophrenia? World Psychiatry; 2011.
15. Eva Norlin Bagge, Eva Esbjörnsson, & Katharina S Sunnerhagen. Cognitive screening and behavioural observation of functional ability in patients with multiple episode schizophrenia: an exploratory study. British Medical Journal; 2017.