Sejak munculnya covid-19 anosmia menjadi topik yang banyak dibicarakan, karena anosmia diduga menjadi gejala awal pada covid-19. Namun, beberapa orang juga ada yang menyangkal pendapat tersebut.
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui kebenaran dari berita tersebut agar terhindar dari adanya kesalahan informasi yang membingungkan. Berikut ini fakta tentang anosmia:
Meski selama ini indra penciuman sering dianggap remeh, tetapi apabila indra penciuman terganggu maka kualitas hidup seseorang juga akan menurun. Hal ini dikarenakan seseorang yang menderita anosmia akan mengalami kesulitan dalam penciuman masakan atau lainnya, berkurangnya nafsu makan, cemas, hingga depresi.
Indra penciuman berfungsi untuk mendeteksi adanya peringatan bahaya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mendeteksi adanya kebocoran gas, asap kebakaran, dan mengetahui makanan yang sudah basi. Maka dari itu, terjadinya anosmia dapat mempengaruhi dan menurunkan kualitas hidup seseorang[1].
Manusia bisa merasakan rasa makanan dan minuman karena indra penciuman dan pengecap berfungsi dengan baik. Selama ini semua orang mengira bahwa indra pengecap yang dapat mengidentifikasi rasa dari makanan ataupun minuman, tetapi anggapan tersebut kurang benar, karena sebenarnya indra penciuman yang dapat mengidentifikasi suatu rasa dari makanan maupun minuman baik itu asin, manis, asam, pahit, dan umami(gurih).
Oleh karena itu, seseorang yang mengalami anosmia juga akan mengalami dysgeusia. Dysgeusia adalah perubahan persepsi rasa pada indra pengecap yang menyebabkan mulut terasa pahit dan tidak enak.
Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat sistem saraf yang menghubungkan antara hidung dan mulut. Maka dari itu, apabila indra penciuman mengalami gangguan biasanya hal serupa juga terjadi pada indra pengecap[3].
Cara kerja indra penciuman terjadi ketika udara masuk melalui hidung dan diterima oleh saraf penciuman. Selanjutnya saraf ini mengirimkan sinyal ke otak dan otak akan mengenali aroma tersebut.
Indra penciuman tidak dapat berfungsi dengan baik apabila cara kerja tersebut terganggu, termasuk pada kasus anosmia ini. Anosmia dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya tumor hidung, polip, rinitis alergi, cedera kepala, dan infeksi virus.
Selain itu, anosmia juga bisa disebabkan karena bawaan dari lahir atau genetik dan penyakit demensia, seperti penyakit parkinson maupun alzheimer. Anosmia juga dapat terjadi secara mendadak dan ada kalanya tidak disertai dengan gejala lain, yang menjadi indikasi covid-19, karena infeksi virus SARS-CoV-2 di otak[2].
Anosmia dapat sembuh dengan cara memeriksakan dan berkonsultasi tentang kondisi yang dialami kepada otolaryngologis, dokter khusus yang memeriksa bagian kepala, leher, telinga, hidung, dan tenggorokan(dokter THT). Hal ini sangat penting dilakukan agar anosmia dapat ditangani dengan cara yang tepat dan terhindar dari bertambah parahnya anosmia yang diderita.
Dokter THT akan melakukan uji penciuman untuk mengetahui seberapa parah anosmia yang diderita. Kemudian dari hasil uji penciuman tersebut dokter akan mendiagnosis apa yang menjadi penyebab anosmia pada pasien.
Apabila anosmia disebabkan karena konsumsi obat-obatan tertentu, maka dokter akan menganjurkan untuk mengurangi dosis obat atau menghentikan penggunaan obat. Namun, apabila anosmia terjadi karena adanya tumor hidung atau polip maka dokter akan menyarankan untuk melakukan operasi pembedahan.
Anosmia juga dapat disembuhkan dengan cara melakukan pelatihan penciuman secara intens dua kali sehari dengan jangka waktu paling sedikit empat bulan[1,4].
Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa anosmia dapat terjadi karena bawaan dari lahir atau genetik dan faktor usia. Anosmia yang disebabkan oleh faktor tersebut biasanya tidak dapat diobati dan disembuhkan.
Meski beberapa kasus anosmia ada yang disebabkan oleh faktor genetik, tetapi anosmia yang disebabkan oleh faktor tersebut sangat jarang terjadi[1,2].
Beberapa orang yang terserang anosmia dapat sembuh dan pulih dengan sendirinya dan tanpa adanya pengobatan, terutama anosmia yang terjadi akibat paparan covid-19. Anosmia yang diakibatkan oleh covid-19 biasanya dapat sembuh dalam delapan hari hingga tiga minggu setelah terpapar virus[5].
Covid-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus corona yang menyerang sistem pernapasan akut. Menurut penelitian, orang yang terpapar covid-19 mengalami disfungsi penciuman, salah satunya anosmia karena virus corona merupakan virus yang menyerang sistem pernapasan dan masuk melalui hidung.
Dari penelitian tersebut, juga dilaporkan bahwa 50% pasien covid-19 mengalami gangguan penciuman. Maka dari itu, anosmia termasuk ke dalam salah satu gejala awal dari covid-19 meskipun anosmia juga dapat disebabkan oleh faktor lain.
Jadi, anosmia memang menjadi salah satu gejala yang terjadi pada covid-19, tetapi tidak semua orang yang mengalami anosmia sudah pasti terpapar covid-19. Sebaiknya periksakan diri ke dokter apabila mengalami anosmia agar mendapat penanganan yang tepat dan terhindar dari salah diagnosis[3].
1. Sanne Boesveldt, Elbrich M Postma, Duncan Boak, Antje Welge-Luessen, Veronika Schöpf, Joel D Mainland, Jeffrey Martens, John Ngai, and Valerie B Duffy. Anosmia—A Clinical Review. 42(7): 513–523. Chemical Senses; 2017.
2. Pauline P. Huynh, BA, Lisa E. Ishii, MD, MHS, Masaru Ishii, MD, PhD. What Is Anosmia. 324(2):206. JAMA; 2020.
3. Davis C. Thomas, BDS, DDS, MSD, MSc Med, MSc, Sita Mahalakshmi Baddireddy, BDS, MDS, Divya Kohli, BDS, MDS. Anosmia A review in the context of coronavirus disease 2019 and orofacial pain. VOLUME 151, EDISI 9, P696-702. The Journal of the American Dental Association; 2020.
4. Anonim. Smell Disorders. National Institute on Deaafness and Other Communication Disorders; 2017.
5. Nabilla Tashandra. Catat, Ini Perbedaan Anosmia Akibat Covid-19 dan Flu Biasa. Kompas.com; 2021.