Daftar isi
Aviophobia adalah istilah lain untuk aerophobia, yaitu sebuah fobia spesifik atau rasa takut berlebihan dan irasional pada aktivitas terbang [1,2,3,4,5,8,14].
Penderita aviophobia atau aerophobia pada umumnya enggan untuk memiliki pengalaman terbang, baik itu naik pesawat dan helikopter misalnya, hingga bermain skydiving dan paralayang [1,2,3,4,5,8,14].
Jika seseorang dengan ketakutan biasa hanya akan memejamkan mata atau berpegangan tangan dengan orang terdekat saat hendak take off maupun landing ketika naik pesawat, penderita aviophobia dapat mengalami gejala-gejala fisik serius [1].
Dari mulai menangis dan berkeringat hingga mual dan gemetaran dapat dialami oleh penderita fobia spesifik ini [1].
Tinjauan Aviophobia atau aerophobia merupakan kondisi di mana seseorang takut terbang secara berlebihan; hal ini berhubungan dengan perjalanan naik pesawat serta aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan terbang.
Rata-rata fobia spesifik tidak diketahui secara jelas faktor penyebabnya, termasuk dalam kasus aviophobia.
Namun, tentu saja terdapat sejumlah faktor yang mampu meningkatkan risiko seseorang mengalami ketakutan berlebih terhadap aktivitas terbang.
Beberapa faktor risiko aviophobia yang dimaksud antara lain adalah seperti di bawah ini :
Faktor genetik kerap menjadi faktor risiko fobia spesifik pada seseorang, terutama bila khususnya memiliki orang tua dengan riwayat gangguan kecemasan maupun fobia spesifik [6,7].
Orang tua dengan gangguan mental tertentu dan fobia spesifik dapat membuat sang anak berpeluang mengalami hal yang sama, walaupun fobia spesifik pada anak tidak harus selalu sama dengan fobia yang orang tuanya alami [6,7].
Seorang anak yang melihat bagaimana orang tuanya mengeluarkan reaksi takut ketika sedang naik pesawat atau kegiatan terbang lainnya memiliki peluang lebih besar juga untuk mengalami aviophobia [6,7,8].
Walau fobia spesifik semacam aviophobia ini lebih sering dijumpai pada anak-anak, orang-orang dewasa pun cukup banyak yang menderita fobia ini [6,7].
Tak hanya terpengaruh oleh orang tua, seseorang bisa saja mengembangkan aviophobia karena rasa takut berlebih terhadap aktivitas terbang yang dialami oleh saudara maupun teman dekat [8].
Fobia spesifik umumnya terjadi karena seseorang pernah mengalami peristiwa tak menyenangkan yang kemudian menjadikannya trauma [1,6,7,8].
Pernah mengalami kecelakaan saat naik pesawat atau menonton berita kecelakaan pesawat melalui televisi mampu memicu aviophobia [1,8].
Penderita penyakit tertentu, terutama kondisi medis yang mudah kambuh ketika melakukan perjalanan jarak jauh menggunakan pesawat mampu memicu aviophobia.
Sinusitis adalah salah satunya; penderita akan mengalami rasa pusing disertai nyeri pada telinga maupun hidung terutama saat berada di pesawat [8].
Gangguan kesehatan pada telinga hingga vertigo pun mampu membuat penderitanya merasakan ketidaknyamanan dan ketakutan selama melakukan perjalanan dengan pesawat sehingga kondisi aviophobia berpotensi untuk timbul [8].
Para penderita penyakit kardiovaskular atau gangguan kesehatan jantung pun demikian; kekhawatiran terhadap penyakit yang diderita dapat berkembang menjadi kondisi aviophobia ketika harus naik pesawat saat travelling [8].
Ketakutan berlebih terhadap aktivitas terbang pun dapat terjadi karena faktor-faktor lain seperti halnya seseorang yang harus naik pesawat dan sering melakukan perjalanan lewat udara karena faktor pekerjaan [8].
Seorang anak yang juga harus naik pesawat berkali-kali untuk mengunjungi orang tuanya yang sudah berpisah dan tinggal di kota atau bahkan negara berbeda bisa menjadi faktor yang mengembangkan aviophobia [8].
Aviophobia dapat timbul pada diri anak tersebut sebagai coping mechanism dampak dari perceraian kedua orang tuanya yang menimbulkan trauma [8].
Sejumlah faktor seperti naik pesawat dengan kondisi cuaca yang buruk, terjadinya turbulensi, penundaan penerbangan dapat pula menjadi faktor yang membuat aviophobia memburuk [5].
Tak hanya beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, beberapa kondisi fobia spesifik di bawah ini pun dapat menjadi pemicu seseorang mengalami aviophobia.
Agoraphobia merupakan sebuah rasa takut berlebih dan irasional terhadap lingkungan baru yang masih terasa asing bagi penderitanya [1].
Seseorang dengan agoraphobia akan merasa takut, panik, terjebak, malu, hingga merasa tak dapat melakukan apapun saat berada di situasi maupun tempat tertentu [1].
Ketika berada di pesawat misalnya, penumpang dapat merasa segala hal yang terjadi pada pesawat di luar kendalinya sehingga ia dapat mengalami gejala-gejala aviophobia [1].
Enochlophobia adalah ketakutan berlebih dan irasional terhadap kerumunan atau keramaian yang menyebabkan seseorang dengan kondisi ini akan menghindari tempat-tempat umum, termasuk bandara maupun situasi di dalam pesawat penumpang yang penuh dengan orang [1].
Kondisi ini dapat berkaitan dengan aviophobia karena kemudian penderita enochlophobia akan mengalami kepanikan ketika harus naik pesawat [1].
Claustrophobia adalah fobia spesifik di mana seseorang mengalami rasa takut berlebih dan irasional terhadap tempat atau ruangan yang sempit dan cenderung tertutup [1,8].
Berada di dalam lift dan mobil adalah salah satu contoh situasi yang mampu memicu claustrophobia [1,8].
Bahkan fobia ini pun dapat menjadi pemicu gejala aviophobia pada seseorang, terutama saat berada di dalam pesawat [1,8].
Acrophobia merupakan fobia ketinggian di mana seseorang akan panik, takut dan cemas secara intens ketika berada di ketinggian tertentu [1,8].
Acrophobia sendiri merupakan salah satu jenis fobia spesifik yang paling umum [1].
Ketika seseorang memiliki kondisi acrophobia, maka kemungkinan besar orang tersebut dapat mengembangkan aviophobia (termasuk ketika naik pesawat maupun melakukan olahraga dengan aktivitas terbang seperti skydiving dan paralayang) [1,8,14].
Germaphobia adalah ketakutan berlebih dan irasional terhadap kuman di mana hal ini pun mampu menjadi peningkat risiko aviophobia [8].
Berawal dari ketakutan terlalu dekat dengan orang lain yang tidak dikenal (terutama bersama penumpang lain di pesawat dalam waktu lama) karena takut akan penyebaran kuman, hal ini bisa memicu aviophobia [8].
Ketidaknyamanan bersama dengan orang lain yang asing bagi penderita gangguan kecemasan sosial, terutama saat naik pesawat dan duduk dengan penumpang lain yang tak dikenal, mampu memicu aviophobia pada beberapa kasus [8].
Tinjauan Beberapa faktor yang mampu meningkatkan risiko aviophobia adalah faktor genetik, lingkungan, penyakit tertentu, pengalaman traumatis, dan beberapa fobia spesifik tertentu.
Aviophobia atau aerophobia dapat menimbulkan sejumlah gejala fisik, gejala perilaku dan gejala emosional, terutama saat dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan penderitanya terbang [1,2,3,6,7,8].
Selain kecemasan, kepanikan dan ketakutan intens serta persisten, beberapa gejala lain yang dapat diwaspadai antara lain adalah [1,2,3,6,7,8] :
Pada beberapa orang dengan aviophobia, mereka biasanya sudah merasakan ketidaknyamanan ketika baru menginjakkan kaki di bandara atau bahkan sebelum itu [8].
Gejala-gejala aviophobia akan timbul pada waktu-waktu tersebut, atau justru saat pesawat akan lepas landas [8].
Tinjauan Gejala aviophobia meliputi gejala fisik seperti mual, sesak nafas, detak jantung cepat, pusing hingga berkeringat; gejala perilaku seperti menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan terbang; serta gejala emosional, seperti takut, panik dan cemas secara intens.
Tidak terdapat pemeriksaan khusus untuk mendiagnosa aviophobia sebab seperti pada kasus fobia spesifik lainnya, dokter ahli kesehatan mental akan menggunakan panduan kriteria DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) untuk mengonfirmasi kondisi pasien [9].
Pemeriksaan fisik biasanya akan dilakukan lebih dulu untuk mengetahui adanya riwayat medis pada tubuh pasien, termasuk pengajuan beberapa pertanyaan untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga pasien [10].
Evaluasi psikologis baru kemudian dilakukan setelah pemeriksaan fisik; bila pasien memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini, maka dokter baru dapat mendiagnosa aviophobia [9].
Tinjauan Pemeriksaan aviophobia umumnya meliputi pemeriksaan fisik dan evaluasi psikologis (berdasarkan panduan kriteria DSM-5) seperti diagnosa untuk fobia spesifik lainnya.
Ketika pasien telah benar-benar didiagnosa dengan fobia spesifik aviophobia, maka dibutuhkan penanganan secara profesional dari tim ahli kesehatan mental.
Terapis yang sudah terlatih dan terpercaya (psikolog maupun psikiater) dapat membantu pasien untuk memulihkan diri dari berbagai gejala aviophobia.
Terapi eksposur adalah metode psikoterapi dengan mengekspos pasien pada situasi yang menyebabkan timbulnya rasa takut [1,3,6,7,8,10].
Pemaparan akan dilakukan oleh terapis profesional secara terkontrol dan secukupnya agar tidak berlebihan.
Dalam proses terapi ini, pasien fobia spesifik biasanya akan mengalami kemajuan di mana dirinya akan lebih mudah mengendalikan rasa takutnya [1,3].
Baik itu melalui imajinasi, foto, hingga video dan pemaparan terhadap situasi nyata secara langsung akan dilakukan secara bertahap agar pasien dapat mengatasi perasaan panik, takut dan cemas berlebihannya [1,3,6,7,8,10].
Sama halnya dengan terapi eksposur, selama pasien menempuh terapi perilaku kognitif, terapis profesional akan mendampingi dan membantu dari awal hingga akhir secara bertahap [1,2,8,10].
Tujuan terapi ini adalah memperbaiki dan mengubah pikiran, perasaan dan reaksi negatif pasien terhadap aktivitas terbang menjadi lebih positif [1,2,8,10].
Telah terbukti bahwa beberapa penderita aviophobia berhasil mengatasi fobianya melalui terapi ini.
Efek positif dari terapi ini akan terus dirasakan pasien secara jangka panjang sehingga kecemasan dan ketakutan untuk terbang akan benar-benar bisa dikendalikan oleh diri pasien sendiri nantinya [1,2,8,10].
Hipnosis adalah metode lainnya yang pasien aviophobia dapat tempuh untuk memulihkan diri dari gejala-gejala aviophobi [1,8,10,14].
Hipnoterapis profesional akan membantu pasien untuk berada pada kondisi rileks [1,8,10,14].
Baru kemudian hipnoterapis memberikan sugesti-sugesti positif melalui kata-kata untuk memperbaiki sekaligus mengubah pandangan, reaksi, maupun perilaku negatif pasien terhadap aktivitas terbang [1,8,10,14].
Obat anti cemas hingga obat anti mual kemungkinan besar akan dokter resepkan kepada pasien untuk mengurangi gejala kecemasan maupun mual [8].
Bagi pasien yang harus menempuh perjalanan dengan pesawat, obat-obat ini lebih baik dikonsumsi sebelum penerbangan [8].
Alprazolam dan diazepam adalah jenis obat anti cemas yang umumnya mampu membantu pasien, sementara dimenhydrinate adalah golongan obat antimual yang juga akan mencegah gangguan pencernaan pasien [8,11,12].
Teknik relaksasi pun dapat pasien terapkan di rumah untuk meminimalisir timbulnya gejala-gejala aviophobia setelah beberapa waktu menjalani perawatan [2,10].
Pernapasan dalam, visualisasi hingga relaksasi otot progresif termasuk dalam metode relaksasi yang dapat pasien latih sedikit-sedikit agar pemicu kecemasan dapat dilawan [2,10].
Terbukti beberapa pasien aviophobia yang rutin menjalani latihan ini lebih mampu mengurangi rasa takut terbang [2,10].
Tinjauan Penanganan aviophobia adalah dengan terapi eksposur, terapi perilaku kognitif, hipnosis, obat-obatan (obat anticemas dan antimual), serta latihan relaksasi.
Aviophobia yang tak segera memperoleh penanganan mampu berkembang menjadi lebih buruk.
Gejala-gejala yang dialami pasien dapat menjadi lebih parah, terutama menurunkan kualitas hidup.
Seperti pada kasus-kasus fobia pada umumnya, aviophobia yang diabaikan mampu membuat penderitanya [7,8,13] :
Belum diketahui bagaimana cara mencegah aviophobia sama sekali, namun setidaknya meminimalisir risiko komplikasi dapat diupayakan.
Dengan menyadari gejala awal aviophobia, penderita dapat segera memeriksakan diri dan memperoleh penanganan yang tepat.
Mengedukasi diri tentang proses penerbangan, mengenali berbagai faktor pemicu gejala aviophobia serta melakukan relaksasi rutin sangat dianjurkan [8].
Tinjauan Pemeriksaan dan penanganan gejala aviophobia secara dini dapat menghindarkan penderita dari berbagai komplikasi.
1. Alastair Newport. Aviophobia: How to get over the fear of flying. Travel Daily Media; 2019.
2. H Müller-Ortstein & H P Baumeister. Fear of flying. Zeitschrift fur arztliche Fortbildung und Qualitatssicherung; 1999.
3. Jamie Ducharme. Why Some People Have a Crippling Fear of Flying — and How They Can Overcome It. Time; 2018.
4. Ian Savage. Comparing the fatality risks in United States transportation across modes and over time. Research in Transportation Economics; 2013.
5. Gavin I. Clark & Adam J. Rock. Processes Contributing to the Maintenance of Flying Phobia: A Narrative Review. Frontiers in Psychology; 2016.
6. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
7. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
8. Lisa Fritscher & David Susman, PhD. Aerophobia: The Fear of Flying. Verywell Mind; 2020.
9. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th Ed.). Washington, DC: Author; 2013.
10. Chandan K. Samra & Sara Abdijadid. Specific Phobia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
11. R Elie & Y Lamontagne. Alprazolam and diazepam in the treatment of generalized anxiety. Journal of Clinical Psychopharmacology; 1984.
12. Paul Enarson, MD PhD FRCPC, Serge Gouin, MD CM FRCPC ABP(PEM), & Ran D. Goldman, MD FRCPC. Dimenhydrinate use for children with vomiting. Canadian Family Physician; 2011.
13. Thomas H. Ollendick, Natoshia Raishevich, Thompson E. Davis, III, Cristian Sirbu, & Lars-Göran Öst. Specific Phobia in Youth: Phenomenology and Psychological Characteristics. HHS Public Access; 2012.
14. Jessie Festa & Sarah Gallo. Not Afraid To Fly Anymore: The Unique Way One Traveler Cured Her Aviophobia. Jessie on a Journey - Solo Female Travel Blogger. YouTube; 2020.