Daftar isi
Buphthalmos merupakan sebuah istilah medis untuk kondisi pembesaran kornea mata yang terjadi secara tidak normal dan rentan terjadi pada anak [1,4].
Anak-anak yang usianya di bawah 3 tahun berpotensi mengalami buphthalmos yang dapat memengaruhi salah satu atau kedua mata.
Buphthalmos sendiri diketahui merupakan gejala awal glaukoma pada anak di mana hal ini sebaiknya dikonsultasikan sedari dini dengan dokter.
Tinjauan Buphthalmos adalah kondisi kronea mata yang membesar di mana hal ini biasanya merupakan gejala awal dari glaukoma, khususnya glaukoma anak.
Menurut Info Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tentang jumlah penderita glaukoma pada pasien rawat jalan dan rawat inap berdasarkan kelompok umur di rumah sakit di Indonesia tahun 2017 adalah sebagai berikut [3] :
Usia Bayi/Balita | Jumlah Bayi/Balita Rawat Jalan | Jumlah Bayi/Balita Rawat Inap |
0-6 hari | 21 | 41 |
6-28 hari | 28 | 3 |
28 hari – 1 tahun | 119 | 7 |
1-4 tahun | 450 | 22 |
Karena buphthalmos merupakan gejala awal dari glaukoma, maka tentu dapat dikatakan bahwa glaukoma anak merupakan penyebab buphthalmos [1,4].
Glaukoma anak bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan buphthalmos, namun glaukoma diketahui sebagai penyebab paling umum dari sebagian besar kasus buphthalmos.
Apa itu glaukoma dan glaukoma pada anak?
Glaukoma sendiri adalah kondisi ketika tekanan di dalam mata meningkat.
Hal ini dapat disebabkan oleh produksi cairan mata yang juga mengalami peningkatan sehingga terakumulasi dan berlebihan di dalam mata.
Atau, saluran pembuangan cairan tersebut yang mengalami sumbatan juga dapat menjadi penyebab glaukoma.
Sementara itu, glaukoma pada anak adalah kondisi glaukoma yang kerap dikenal dengan istilah glaukoma pediatrik atau glaukoma kongenital [4,5,6].
Pada dasarnya, glaukoma pada anak maupun orang dewasa tetap merupakan kondisi yang sama, yaitu tekanan cairan yang berlebihan di bagian mata namun untuk kasus ini lebih rentan terjadi pada anak-anak atau bayi.
Karena glaukoma terjadi secara dini, risiko kerusakan saraf optik jauh lebih tinggi pada anak.
Disebut dengan glaukoma kongenital karena glaukoma pada anak ini disebabkan faktor bawaan.
Bayi yang baru lahir dapat langsung mengalami kondisi ini di mana umumnya orang tua bayi tidak mampu mengenali tanda-tandanya.
Orang tua menjadi sulit mendeteksi karena bayi baru lahir belum dapat membedakan penglihatan normal dan tak normal sehingga tak dapat menyampaikan keluhan yang dialami.
Namun menurut seorang dokter dari Rumah Sakit Internasional Bintaro, Tangerang bernama Dr. Amyta Miranty, Sp.M tanda-tanda anak usia dini mengalami glaukoma kongenital antara lain adalah [6] :
Selain glaukoma pada anak, terdapat beberapa kondisi yang juga diketahui mampu menjadi penyebab timbulnya kondisi buphthalmos, yaitu :
1. Neurofibromatosis Tipe 1
Neurofibromatosis tipe 1 merupakan kondisi kelainan genetik di mana tumor tumbuh di jaringan saraf [1,7].
Walau umumnya tumor bersifat jinak, ada kemungkinan yang cukup besar tumor ini berkembang ganas.
Mutasi gen NF1 pada kromosom 17 adalah penyebab neurofibromatosis tipe 1 ini.
Di dalam tubuh terdapat neurofibromin (protein pengatur pertumbuhan sel tubuh) yang pada dasarnya diproduksi oleh gen NF1.
Jika mutasi terjadi pada gen ini, kadar neurofibromin akan berkurang karena gangguan pada proses produksi di dalam tubuh.
Sebagai akibatnya, pertumbuhan sel-sel tubuh justru tak terkendali dan berpotensi berkembang menjadi tumor.
Gejala neurofibromatosis tipe 1 sendiri antara lain adalah :
2. Aniridia
Aniridia adalah sebuah kondisi ketika seseorang sama sekali tak memiliki iris mata atau justru yang dimiliki hanya sebagian saja [1,8].
Tanpa adanya iris mata, penampilan bola mata seseorang yang paling menonjol adalah bagian pupil yang membesar.
Pupil mata tanpa adanya iris akan memiliki bentuk yang juga tidak teratur.
Beberapa kondisi yang merupakan gejala dari aniridia antara lain adalah :
Aniridia pun merupakan sebuah kondisi kelainan genetik di mana faktor penyebab utamanya sendiri adalah mutasi genetik yang diturunkan oleh orangtua.
3. Sindrom Sturge-Weber
Sindrom Sturge-Weber merupakan sebuah kondisi yang juga dikenal dengan istilah encephalofacial angiomatosis, yakni timbulnya angioma pada wajah bagian atas serta sebagian area kulit [1,9].
Kelainan bawaan ini tergolong langka dengan penyebab yang hingga kini belum diketahui secara jelas.
Kasus sindrom Sturge Weber sendiri hanya 1 : 50.000 di Amerika Serikat, yakni terjadi pada 8 anak perempuan dan 5 anak laki-laki dengan rentan usia 8-15 tahun.
Meski belum diketahui jelas penyebabnya, terdapat dugaan bahwa sindrom Sturge Weber merupakan sebuah akibat dari terjadinya mutasi spontan sel saat janin berkembang.
Selain adanya risiko pembesaran pada mata, gejala utama pada sindrom Sturge-Weber adalah :
4. Sklerokornea
Sklerokornea merupakan sebuah kondisi kelainan di mana terbentuk jaringan yang serupa dengan sklera yang diciptakan oleh neuroektodermal atau gelombang mesenkimal kedua [10].
Jaringan ini berperan sebagai pengganti kornea mata yang jernih.
Kondisi ini tergolong langka, namun diketahui mampu meningkatkan risiko terjadinya buphthalmus.
Tinjauan Glaukoma anak dapat menjadi sebab buphthalmus, namun beberapa faktor lainnya mampu menjadi alasan timbulnya kondisi ini, seperti neurofibromatosis tipe 1, aniridia, sindrom sturge-weber, dan sklerokornea.
Gejala yang umumnya ditimbulkan kondisi buphthalmus antara lain adalah [1,4] :
Ketika anak mengalami gejala yang mengarah pada kondisi buphthalmos, para orang tua sebaiknya langsung membawa anaknya ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Dokter anak biasanya akan menggunakan beberapa metode seperti di bawah ini untuk mengecek kondisi anak [1] :
Pemeriksaan mata biasanya dilakukan oleh dokter menggunakan metode refraksi di mana alat bernama streak retinoscope akan digunakan oleh dokter.
Selain itu, dokter juga akan memeriksa kornea mata pasien untuk mengukur diameter kornea dan mengawasi perkembangannya apakah mengalami peningkatan.
Kornea mata berada dalam kondisi abnormal bila diameternya sudah lebih dari 12 mm.
Pemeriksaan kornea juga penting bagi dokter untuk mengidentifikasi keberadaan kondisi edema kornea yang disebabkan oleh tingkat tekanan intraokular yang semakin tinggi.
Prosedur pemeriksaan ini dapat diterapkan oleh dokter sebagai proses evaluasi struktur segmen anterior.
Pemeriksaan segmen anterior ini umumnya dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab buphthalmos, yakni untuk mengonfirmasi apakah ada kaitannya dengan neurofibromatosis dan aniridia.
Namun biasanya, metode diagnosa ini diterapkan bagi pasien yang mengalami kasus kornea buram.
Oftalmoskopi merupakan prosedur pemeriksaan mata menggunakan alat oftalmoskop yang menjadi pendeteksi penyakit mata serius secara dini.
Melalui prosedur ini, dokter dapat memeriksa bagian-bagian mata pasien sehingga dapat mendeteksi adanya masalah secara spesifik.
Gonioskopi merupakan pemeriksaan bagian depan mata di mana tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memeriksa apakah pasien mengalami glaukoma.
Gonioskopi juga diketahui sebagai metode diagnosa yang menentukan terbuka atau tertutupnya sudut mata pasien.
Tonometri merupakan metode pengukuran tekanan bagian dalam mata pasien.
Tekanan intraokular dapat terdeteksi dan diukur melalui metode ini.
Orang tua sebaiknya membawa anak ke dokter spesialis mata anak untuk mendapatkan hasil diagnosa lebih akurat dan penanganan yang lebih tepat.
Pada prosedur pemeriksaan, dokter juga akan melihat bagaimana respon anak terhadap tes-tes yang dilakukan.
Jika diperlukan, maka dokter akan memberikan anestesi sebelum pemeriksaan dilakukan.
Anak-anak yang usianya sudah lebih dari 3 tahun dengan kondisi mata membesar biasanya tidak terkait dengan kondisi buphthalmos.
Pembesaran mata pada anak dengan usia di atas 3 tahun lebih berpotensi disebabkan oleh kondisi hipertiroidisme.
Tidak hanya itu, pada beberapa kasus, biasanya orangtua pasien dianjurkan untuk melakukan konsultasi genetik [1,4].
Tinjauan Pemeriksaan buphthalmos meliputi pemeriksaan mata, biomikroskopi USG, gonioskopi, oftalmoskopi, dan tonometri.
Penanganan buphthalmos umumnya terdiri dari dua jenis kondisi, yaitu melalui terapi obat dan prosedur bedah.
Meski demikian, prosedur bedah adalah metode penanganan buphthalmos yang paling banyak digunakan dan direkomendasikan kepada pasien.
Terapi obat yang dimaksud adalah melalui pemberian beta blockers topikal (jenis obat untuk penggunaan pada tubuh bagian luar), seperti dalam bentuk obat tetes mata [1].
Selain itu, Prostaglandin analogs atau Carbonic anhydrase inhibitors juga menjadi golongan obat yang biasanya diresepkan oleh dokter [1,11].
Selain pemberian obat, dokter kemungkinan besar akan merekomendasikan prosedur bedah.
Apabila memang pasien diketahui memiliki glaukoma, beberapa metode bedah yang direkomendasikan antara lain [1,12] :
Tinjauan Buphthalmos ditangani umumnya melalui pemberian obat-obatan oleh dokter atau prosedur bedah (khususnya pada penderita glaukoma anak atau glaukoma kongenital).
Risiko gejala buphthalmos menjadi lebih buruk sangat besar.
Bila tidak ditangani dengan cepat dan benar, maka pembesaran mata pada anak akan semakin meregang.
Jika diabaikan, jaringan di sekitar mata akan terus tertarik dan kerusakan permanen pada mata atau kebutaan adalah risiko komplikasi paling mengerikan yang perlu dihadapi [1,4].
Kemungkinan untuk dapat mencegah buphthalmos tergolong sangat kecil yang bahkan hampir tidak mungkin dilakukan.
Namun untuk meminimalisir risiko perkembangan kondisi yang semakin buruk, mendeteksinya sedari awal akan sangat menolong.
Maka dari itu, pemeriksaan mata rutin pada anak sangat dianjurkan agar masalah mata seperti bupththalmos teridentifikasi sejak dini dan mendapat penanganan dini juga [1].
Upaya ini mampu memperkecil peluang komplikasi berupa kerusakan mata permanen pada anak.
Tinjauan Untuk mencegah buphthalmos semakin buruk, deteksi dan penanganan dini sangat penting. Pemeriksaan mata rutin pada anak lebih dianjurkan untuk identifikasi awal kondisi buphthalmos.
1. Kaberi B. Feroze & Bhupendra C. Patel. Buphthalmos. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Anonim. Modul Training of Trainer (TOT) Pelayanan Terpadu Penyakit Tidak Menular (PTM) di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Extranet World Health Organization; 2020.
3. Didik Budijanto, Rudy Kurniawan, Winne Widiantini, Eka Satriani Sakti, Hira Habibi, Andika Prahasta, Sri Lestari, & Fristika Mildya. Situasi Glaukoma di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2019.
4. Khaled K Abu-Amero, PhD, FRCPath & Deepak P Edward, MD. Primary Congenital Glaucoma. GeneReviews; 2004.
5. Anil K Mandal & Debasis Chakrabarti. Update on congenital glaucoma. Indian Journal of Ophthalmology; 2011.
6. Soesanti Harini Hartono. Waspadai Glukoma Pada Anak dan Ciri-cirinya, Butuh Penanganan Segera. GridHealth; 2019.
7. James M. Milburn, MD, Carlos R. Gimenez, Jr., MD, & Elizabeth Dutweiler, BA. Clinical Images: Imaging Manifestations of Orbital Neurofibromatosis Type 1. The Ochsner Journal; 2016.
8. Koushik Tripathy & Baby Salini. Aniridia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
9. Fidha Rahmayani. Pendekatan Diagnosis dan Neuroimaging pada Sindrom Sturge Weber. Jurnal Kedokteran Universitas Lampung; 2018.
10. Christina Y Y Bangun. Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Kornea di Kabupaten Langkat. Repository Universitas Sumatera Utara; 2009.
11. Sanah Aslam & Vikas Gupta. Carbonic Anhydrase Inhibitors. National Center for Biotechnology Information; 2020.
12. Monica F Chen, Carole H Kim, & Anne L Coleman. Cyclodestructive procedures for refractory glaucoma. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2019.