Tinjauan Medis : dr. Christine Verina
Deviasi septum hidung adalah kondisi kelainan di mana dinding tipis (septum hidung) pembatas antara lubang hidung kiri dan kanan mengalami perubahan bentuk. Penyebabnya dapat berupa trauma pada hidung
Daftar isi
Deviasi septum pada bagian hidung adalah kondisi kelainan di mana dinding tipis (septum hidung) pembatas antara lubang hidung kiri dan kanan mengalami perubahan bentuk.
Perubahan bentuk ini dapat mengganggu aliran udara saat proses pernapasan, menimbulkan ketidaknyamanan psikologis dikarenakan perubahan bentuk estetika hidung, serta dapat menimbulkan gangguan tidur dikarenakan timbul dengkuran. [2]
Meskipun deviasi septum adalah salah satu kelainan dengan berbagai implikasi terhadap penurunan kualitas hidup, namun 80% orang dewasa yang dapat dikategorikan sehat sebenarnya hidup dengan kelainan ini, akan tetapi mungkin tidak disadari karena memiliki tingkat keparahan yang sangat bervariasi antar kasus per individu.
Dengan berbagai komplikasi seperti gangguan pernafasan hingga gangguan tidur dan beraktivitas, deviasi septum dapat mempengaruhi pertumbuhan bentuk tulang rongga hidung lainnya, mulai dari penyimpangan bentuk hingga perubahan ukuran. [1]
Ada bukti penelitian bahwa risiko deviasi septum faktor bawaan atau turunan dapat terjadi, hal ini dapat diamati pada kembar monozigotik yang memiliki bentuk dan tipe deviasi septum yang serupa. Gejala yang diamati antar saudara kembar pada studi tersebut juga serupa, terutama gangguan proses respirasi dan gangguan pada kualitas tidur.
Pada kasus yang cukup dominan, bentuk hidung secara morfologi kedua saudara kembar juga terlihat sangat mirip. Namun studi lanjut pada populasi yang lebih besar masih diperlukan untuk menarik kesimpulan yang lebih kuat. [3]
Proses operasi septoplasti untuk memperbaiki deviasi septum yang berlebih hanya mengubah bentuk septum yang terletak pada intranasal. Hal ini belum tentu mengubah bentuk eksternal hidung, dikarenakan ada tulang lain yang berperan lebih besar dalam menyangga bentuk eksterior hidung.
Lain halnya dengan prosedur operasi rhinoplasti yang mengubah bagian luar hidung, meskipun tidak menutup kemungkinan kedua prosedur dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. [1] [4]
Penyakit ini memiliki beragam penyebab, salah satunya adalah kelainan bawaan sejak lahir dengan kondisi septum yang terdeviasi. Pada proses kelahiran, luka di hidung juga dapat menjadi alasan deviasi septum.
Setelah beranjak dewasa, deviasi septum dapat terjadi akibat benturan (trauma) yang terjadi terhadap hidung dan wajah. Hal ini dapat terjadi secara ketidaksengajaan saat proses olahraga atau saat sedang beraktivitas fisik. [2] [5]
Ada beragam klasifikasi deviasi septum menurut berbagai ilmuwan, salah satunya adalah menurut Sawhney dan Sinha yang membagi deviasi septum dalam 3 kelompok berdasarkan keparahan lengkungan deviasi, yaitu terdeteksi signifikan (marked), sedang (moderate), dan ringan (mild).
Lain halnya dengan Buyukertan yang membagi septum menjadi 10 lokasi segmen, yaitu: [2]
Pada 10 titik inilah dapat diperhatikan apakah ada penyimpangan dari bentuk septum yang sewajarnya. [2]
Gejala paling utama yang dapat dirasakan apabla mengalami deviasi septum adalah terhalangnya cuping hidung, baik satu sisi maupun kedua sisi sekaligus. Hal ini dapat dirasakan apabila mengalami kesulitan bernapas, terutama pada saat mengalami pilek atau alergi.
Tanda lainnya adalah apabila terdapat mimisan terus menerus dikarenakan kekeringan septum yang tidak wajar. Pada kasus yang lebih parah, nyeri pada bagian wajah dan hidung juga dapat dirasakan.
Muncul dengkuran terus menerus saat tidur juga merupakan gejala penyakit ini, diiringi dengan pemilihan posisi tidur menghadap salah satu sisi untuk mengoptimalkan pernapasan. [5] [6]
Mimisan atau disebut juga epistaksis dapat menjadi salah satu komplikasi akibat deviasi septum dikarenakan bentuk rongga hidung yang abnormal dapat menyebabkan kekeringan berlebih di daerah septum.
Penelitian yang dilakukan di Portugal menyatakan bahwa 63% dari pasien yang memiliki epistaksis kronis juga memiliki deviasi septum yang secara signifikan mengganggu aliran udara. [5]
Penyumbatan saluran pernapasan bagian hidung dapat menyebabkan perubahan resistensi aliran udara. Hal ini menyebabkan terjadinya hipertrofi di lapisan mukosa hidung, sehingga silia pada mukosa hidung tidak berfungsi dengan baik.
Akibatnya, kejadian infeksi dapat sering terjadi, dan peradangan daerah sinus tak dapat dihindari. Komplikasi lebih jauh dari infeksi ini adalah terjadi metaplasia (perubahan bentuk yang tak wajar) di bagian lapisan skuamosa dinding epitel. Hal ini semakin memperparah kondisi infeksi kronis pasien. [6]
Proses tidur adalah kegiatan restoratif yang amat dibutuhkan bagi tubuh, baik secara aspek fisiologis maupun psikologis. Akibat dari timbulnya deviasi septum, gangguan pernapasan akan mengganggu tidur nyenyak hingga dapat menyebabkan timbul dengkuran saat tidur.
Mendengkur saat tidur adalah tanda terhalangnya saluran pernafasan. Implikasi yang lebih parah dari terganggunya proses tidur adalah terjadinya kelelahan meskipun sudah tidur dengan durasi yang cukup, hipertensi, depresi, obesitas, gangguan konsentrasi, dan menurunnya kualitas kesehatan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang mengidap deviasi septum (didiagnosis dengan endoskopi nasal dan/atau tomografi terkomputerisasi) secara signifikan memiliki angkat kualitas tidur yang lebih rendah dibandingkan orang normal. Denyut jantung pada pasien deviasi septum juga mengalami ketidakteraturan yang diakibatkan oleh terganggunya pernafasan. [7]
Proses diagnosis deviasi septum biasanya cukup mudah, dokter akan memeriksa dengan senter dan apabila diperlukan akan dilanjutkan dengan endoskopi.
Apabila deviasi septum berbentuk kompleks, dapat dilanjutkan dengan tomografi terkomputerisasi (CT Scan). Dari hasil gambar CT Scan, dapat dilakukan analisis perbandingan antara kontur septum normal dan septum yang mengalami deviasi. [8]
Karena deviasi septum mengalami beragam tingkat keparahan, maka gejala yang ditimbulkan juga beragam tergantung tipe dari deviasi septum itu sendiri. Apabila deviasi septum mengganggu saluran pernafasan secara fatal, maka dapat dilakukan tindakan operasi bedah plastik untuk memperbaiki bentuk septum dan rongga hidung.
Biasanya prosedur operasi (septoplasti) melibatkan pemotongan septum dan dilanjutkan dengan proses reinsersi. Selain itu dapat pula diberikan tindakan medis sesuai gejala yang timbul seperti: [9]
Diberikan apabila terjadi sumbatan saluran rongga hidung dan pembengkakan jaringan epitel. Dekongestan dapat berupa obat semprot (spray) atau obat minum. Penggunaan dekongestan sebagai obat harus sesuai resep dokter dikarenakan dapat menimbulkan efek samping berupa ketergantungan obat, efek rebound, stimulant tekanan darah tinggi dan detak jantung.
Obat ini dapat mencegah gejala alergi untuk kambuh, seperti hidung tersumbat dan/atau pilek. Penggunaan antihistamin perlu mendapat perhatian khusus karena dapat menimbulkan rasa kantuk serta mengganggu kegiatan fisik dan kinerja otot motorik.
Steroid memiliki efek meredakan pembengkakan di saluran rongga hidung, sehingga dapat membantu pelegaan saluran nafas sesuai dengan instruksi resep dokter.
Berhati-hati saat melakukan aktivitas fisik dengan memastikan perlengkapan pengaman adalah salah satu cara menghindari luka pada bagian septum hidung.
Menggunakan sabuk pengaman pada saat berkendara juga dapat mengurangi resiko terjadinya luka fatal pada saat terjadi kecelakaan.
Pencegahan terhadap komplikasi pasca-operasi septoplasti dapat dilakukan dengan menggunakan splint intranasal untuk mencegah pergerakan tulang dan adhesi yang tidak diharapkan. [4]
1. Serifoglu Oz, Damar Buyukuysal, Tosun Tokgöz. 2017. Head and Face Medicine. Relationship between the degree and direction of nasal septum deviation and nasal bone morphology.
2. Teixeira Certal, Chang Camacho. 2016. Plastic Surgery International. Nasal Septal Deviations: A Systematic Review of Classification Systems.
3. Ozdogan Ozel, Esen Baser, Genc Selcuk. 2018. World Journal of Plastic Surgery. Nasal Septum and External Nasal Deformity Similarities in Monozygotic Twins and Paranasal Computed Tomography Analysis.
4. Ghouri Chaudry, Shafi Nadeem. 2018. Pakistan Journal of Medical Health Science. Prevention of intra nasal adhesions by using intranasal splints after septoplasty.
5. Côrte Orfao, Dias Moura, Santos Mo. 2018. Auris Nasus Larynx. Risk factors for the occurrence of epistaxis: Prospective study.
6. Kumar Belaldavar, Bannur Ha. 2017. Head Neck Pathology. Influence of Deviated Nasal Septum on Nasal Epithelium: An Analysis.
7. Kara Erdoǧan, Güçlü Sahin, Dereköy Fazhin. 2016. Journal of Craniofacial Surgery. Evaluation of sleep quality in patients with nasal septal deviation via the pittsburgh sleep quality index.
8. Lin Wheatley, Handwerker Harris, Wong Brian. 2014. JAMA Facial Plastic Surgery. Analyzing nasal septal deviations to develop a new classification system: A computed tomography study using MATLAB and OsiriX.
9. Şahin Önder. 2018. Turkish Journal of Ear Nose and Throat. Subjective feeling of nasal obstruction and its response to nasal steroids in the elderly.