Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Dexamethason adalah obat golongan kortikosteroid yang digunakan untuk berbagai macam kondisi karena memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresan, yang berfungsi untuk menekan sistem imun tubuh. WHO telah
Baru-baru ini, beberapa uji klinis awal di Inggris menunjukkan bahwa dexamethasone mampu mengurangi angka kematian diantara pasien Covid-19 yang sudah pada tahap harus menggunakan ventilator hingga sepertiganya.
Berita ini tentu melambungkan harapan dan menyebabkan antusiasme yang tinggi, mengingat obat ini mudah didapatkan dan harganya terjangkau. Namun, seberapa efektifkah dexamethasone untuk mengobati Covid-19 sebenarnya?
Daftar isi
Dexamethasone adalah sejenis steroid yang telah digunakan sejak tahun 1960an untuk meredakan peradangan pada berbagai kondisi dan beberapa macam kanker tertentu. Obat ini telah terdaftar dalam Daftar Obat Esensial di WHO sejak tahun 1977 dalam berbagai formulasi, dan saat ini sudah bisa didapatkan di banyak negara di seluruh dunia. [4, 5]
Dexamethasone bisa digunakan untuk: [4]
Berikut adalah cara kerja dexamethasone dalam tubuh: [4]
Dexamethasone diklasifikasikan sebagai kortikosteroid (tepatnya glukokortikosteroid), dan memiliki banyak manfaat untuk pengobatan kanker.
Kortikosteroid yang dihasilkan secara alami oleh kelenjar adrenal bertugas mempengaruhi fungsi sebagian besar sistem tubuh (jantung, kekebalan tubuh, otot dan tulang, endokrin dan sistem syaraf).
Pada bulan Maret 2020, di Inggris, suatu percobaan yang disebut RECOVERY (Randomised Evaluation of COVid-19 thERapY) yang berbasis di Universitas Oxford mulai dilakukan sebagai percobaan klinis acak untuk menguji sejumlah pengobatan potensial bagi Covid-19, termasuk dexamethasone dalam dosis rendah. [1, 2, 3, 4]
Lebih dari 11,500 pasien yang berasal lebih dari 175 rumah sakit NHS (National Health Service) di Inggris telah terdaftar untuk percobaan tersebut.
Selama masa percobaan ini, total 2,104 pasien dipilih secara acak untuk menerima 6 mg dexamethasone satu kali sehari, baik melalui mulut maupun infus, selama sepuluh hari, kemudian hasilnya dibandingkan dengan 4,321 pasien acak yang menerima pengobatan biasa.
Diantara pasien yang menerima pengobatan biasa, kematian setelah 28 hari dalam perawatan ditemukan paling tinggi terjadi pada mereka yang membutuhkan ventilator (41%), menengah pada pasien yang hanya membutuhkan oksigen (25%), dan paling rendah pada pasien yang tidak membutuhkan bantuan pernafasan (13%). [1, 3, 4]
Sementara, pada pasien yang menerima dexamethasone, angka kematian turun sepertiga pada pasien yang menggunakan ventilator, dan seperlima pada pasien yang menggunakan bantuan oksigen, namun tidak ada perbedaan pada pasien yang tidak membutuhkan bantuan pernafasan. [1, 2, 3, 4]
Berdasarkan perbandingan tersebut, 1 kematian bisa dicegah dengan perawatan menggunakan dexamethasone pada sekitar 8 pasien yang menggunakan ventilator atau sekitar 25 pasien yang membutuhkan bantuan oksigen, namun tidak ada efeknya pada pasien yang kondisinya masih termasuk ringan. [1, 2, 3]
Salah satu kepala pelaksana penelitian atas obat ini dari Universitas Oxford, Martin Landray, mengatakan bahwa sejak munculnya Covid-19 enam bulan lalu, pencarian obat yang utama adalah yang bisa memperbaiki tingkat keselamatan pasien, terutama yang sudah parah kondisinya.
Hasil uji awal dari RECOVERY ini sangat jelas; bahwa dexamethasone mampu mengurangi risiko kematian diantara pasien dengan komplikasi pernafasan tingkat lanjut. Covid-19 adalah pandemi, sehingga bila obat yang mampu menekan angka kematian ternyata adalah yang mudah didapat dan terjangkau di seluruh dunia, maka itu akan menjadi kabar yang luar biasa. [3]
WHO (World Health Organization) menerima dengan baik hasil uji awal dari Inggris ini. Direktur Jenderal WHO mengatakan bahwa ini adalah pengobatan pertama yang mampu mengurangi tingkat kematian pada pasien Covid-19 yang membutuhkan oksigen atau bantuan ventilator. [5]
WHO juga berjanji akan melakukan update terhadap panduan klinisnya mengenai pengobatan Covid-19 bila data-data baru mengenai steroid ini sudah ada.
Namun, beberapa ahli kesehatan dari seluruh dunia berpendapat bahwa hasil ini masih harus dikaji dan dilihat efeknya lebih lanjut. Pernyataan ini didasarkan pada pengalaman dengan hydroxychloroquine yang ditarik oleh FDA (Badan Obat dan Pangan Amerika) sebagai obat Covid-19 karena, setelah beberapa penelitian, terbukti tidak memberikan manfaat bagi pasien. [2]
Karena itu, para ahli menyarankan agar antusiasme terhadap dexamethasone ini ditahan dulu hingga hasil penelitian dari RECOVERY ini diterbitkan dalam jurnal medis resmi, serta ada lebih banyak penelitian dan jurnal yang disetujui (peer-reviewed) yang dilakukan dan dibuat.
Dexamethasone memang sudah lama digunakan di dunia medis dan harganya pun tidak mahal, namun dalam hal penanganan Covid-19 masih belum bisa diambil sebagai langkah pencegahan. [2]
Angka kematian secara total di Inggris akibat Covid-19 setelah penggunaan dexamethasone masih di titik 28%, yang artinya masih sangat tinggi. Virus SARS-CoV-2 masih sangat berbahaya, sementara uji coba klinis yang valid harus bisa menunjukkan manfaat yang nyata terhadap risiko yang ada. [2]
Selain itu, satu masalah yang juga sudah diketahui tentang steroid adalah ia bisa menekan sistem kekebalan tubuh, yang artinya bisa menimbulkan komplikasi saat proses penyembuhan dari virus apapun. Hal tersebut dinyatakan oleh Thomas McGinn, M. D., deputi dari Northwell Health.
1) Julia Robinson. 2020. The Pharmaceutical Journal. Dexamethasone is ‘first drug’ to be shown to improve survival in COVID-19
2) Arlene Weintraub. 2020. Fierce Pharma. Is dexamethasone really a COVID-19 breakthrough? Not so fast, doctors say
3) The Chief Investigators of the Randomised Evaluation of (RECOVERY) Trial. 2020. Recovery Trial. Low-cost dexamethasone reduces death by up to one third in hospitalised patients with severe respiratory complications of COVID-19
4) Cleveland Clinic Team. Chemo Care. Dexamethasone
5) Fadela Chaib. 2020. World Health Organization. WHO welcomes preliminary results about dexamethasone use in treating critically ill COVID-19 patients