Penyakit dapat menular akibat penyebaran mikroorganisme melalui udara. Pada kebanyakan kasus, penyakit jenis ini menular ketika seseorang menghirup udara yang terinfeksi[1, 2].
Penyakit yang menular melalui udara disebut sebagai airborne disease. Istilah airborne mengacu pada penularan patogen melalui aerosol, yaitu droplet (tetes kecil) respiratori berukuran kecil yang dapat tetap mengambang di udara[3].
Menurut WHO, penularan agen infeksi melalui udara mengacu pada penularan penyakit yang disebabkan oleh penyebaran inti droplet yang tetap bersifat infeksius ketika mengambang di udara selama waktu dan jarak yang lama[2].
Agen penyebab penyakit dapat ditularkan ketika orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau bicara, mengeluarkan sekresi hidung dan tenggorokan ke dalam udara. Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat ikut dikeluarkan dan terkandung dalam aerosol kemudian mendarat pada permukaan atau orang lain[4].
Ketika terhirup, mikroorganisme akan menginfeksi dan tumbuh di dalam tubuh kita. Penularan juga dapat terjadi ketika kita menyentuh permukaan yang terinfeksi kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut[4].
Perlu diperhatikan bahwa penyakit menular melalui udara umumnya tidak termasuk gangguan yang disebabkan oleh polusi, racun, asap, dan debu[2]. Berikut beberapa jenis penyakit menular melalui udara yang umum dikenal:
Daftar isi
Kondisi (common cold) disebabkan oleh berbagai virus, biasanya jenis rhinovirus. Infeksi terjadi melalui hidung dan tenggorokan (saluran pernapasan bagian atas). Biasanya flu biasa tidak berbahaya dan umumnya sembuh dalam 7 hingga 10 hari[1, 5].
Anak-anak cenderung lebih sering terkena demam biasa. Sementara orang dewasa umumnya mengalami demam 2 hingga 3 kali per tahun[1, 4].
Meskipun sama-sama merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan, flu berbeda dari flu biasa. Flu disebabkan oleh virus influenza. Dua jenis virus flu yang umum ialah influenza A dan influenza B[6].
Biasanya flu lebih umum menginfeksi pada musim flu, yaitu sekitar Oktober hingga pertengahan Mei. Meski demikian, flu dapat terjadi kapan saja. Flu/influenza dan flu biasa menimbulkan gejala yang serupa sehingga sering kali tidak dapat dibedakan[6].
Gejala flu sering timbul dengan cepat disertai keletihan ekstrim, demam, tubuh sakit, dan batuk. Biasanya gejala flu lebih buruk daripada gejala flu biasa dan lebih berpotensi mengakibatkan komplikasi[6].
Flu dapat menyebar dengan mudah karena dapat menular sejak sehari sebelum gejala pertama muncul hingga 5 sampai 7 hari setelahnya. Orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah dapat menularkan flu lebih lama dari orang normal[4].
COVID-19 ialah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Sejak tahun 2020, penyakit ini telah menjadi pandemi dan menyebar ke seluruh dunia. COVID-19 menimbulkan gejala umum meliputi demam, batuk, keletihan, dan napas pendek[4].
COVID-19 secara umum tidak dikategorikan sebagai penyakit menular melalui udara, namun pada situasi tertentu, virus dapat menular melalui udara. Pada situasi umum, penularan virus COVID-19 terutama terjadi melalui droplet respiratori ketika seseorang berada dalam jarak dekat (dalam 1 meter) dengan orang yang mengalami gejala pernapasan seperti batuk atau bersin[3, 4].
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan lingkungan sekitar atau dengan benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi[7].
Beberapa studi menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat terkandung dalam aerosol di area fasilitas kesehatan[3, 4].
Menurut WHO, penularan COVID-19 melalui udara (airboner) dapat terjadi pada tempat dan situasi spesifik di mana prosecur atau perawatan pendukung yang menghasilkan aerosol dilakukan, seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, penghisapan terbuka, pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, memindahkan pasien ke posisi tengkurap, memutus hubungan pasien dari ventilator, ventilasi tekanan positif non-invasif, trakeostomi, dan resusitasi jantung paru[7].
Cacar ialah penyakit yang disebabkan oleh virus varicella zoster. Infeksi virus menimbulkan ruam yang biasanya menyebar di sekujur tubuh dan menghasilkan bintik-bintik merah yang berubah menjadi melepuh gatal, yang berkeropeng seiring waktu[1, 4].
Cacar menular selama 48 jam sebelum ruam muncul. Penularan biasanya terjadi melalui udara atau kontak langsung (bersentuhan dengan ruam). Tingkat pelepasan virus tertinggi terjadi selama 2 minggu pertama ruam dengan laju infeksi sekitar 40% hingga 80%[1, 2].
Umumnya orang terkena cacar satu kali, kemudian virus menjadi dorman. Jika di kemudian hari virus mengalami reaktivasi, orang tersebut dapat terkena penyakit ruam saraf (herpes zoster)[4].
Gondongan (mumps) termasuk penyakit yang sangat menular dan disebabkan oleh virus. Virus gondongan menginfeksi kelenjar di bawah telinga, mengakibatkan pembengkakan, dan pada beberapa kasus mengakibatkan hilangnya pendengaran[1, 4].
Gejala gondongan biasanya muncul sekitar 16-18 hari setelah infeksi, namun dapat pula muncul selama 12-25 hari setelah infeksi. Umumnya gejala akan membaik dalam 2 minggu[8].
Penularan virus terjadi melalui kontak langsung dengan saliva atau droplet respiratori dari mulut, hidung, atau tenggorokan. Orang yang terinfeksi dapat mengeluarkan droplet respiratori ketika batuk, bersin, menggunakan alat makan bersama, atau melakukan kontak langsung dengan orang lain[8].
Penularan dapat terjadi sebelum gejala muncul hingga 5 hari setelah gejala dialami. Pencegahan gondongan dilakukan dengan vaksinasi[1, 4].
Campak (measles) termasuk penyakit yang sangat menular, mempengaruhi hingga 90% dari orang yang dekat dengan orang yang terinfeksi. Virus menginfeksi mukus pada hidung dan tenggorokan dan menular melalui batuk dan bersin. Virus penyebab campak dapat tetap aktif di udara atau pada permukaan selama 2 jam. Orang yang terinfeksi dapat menularkan virus pada orang lain hingga 4 hari sebelum dan 4 hari setelah ruam campak muncul[4, 9].
Gejala campak muncul dalam 1 hingga 2 minggu setelah infeksi, meliputi demam, batuk, hidung berair, dan mata merah berair. Gejala muncul disertai dengan ruam campak yang menyebar di sekujur tubuh[9].
Pertusis (batuk rejan) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Penyakit ini mengakibatkan pembengkakan saluran pernapasan yang menyebabkan batuk kering terus menerus[1, 10].
Pertusis ditandai dengan batuk berat yang mengakibatkan pasien mengalami kesulitan bernapas. Setelah batuk mereda, pasien sering kali perlu menarik napas dalam-dalam yang mana menghasilkan suara “rejan”. Pertusis dapat mempengaruhi semua usia. Pada bayi yang berusia kurang dari satu tahun pertusis dapat berakibat fatal[10].
Penularan biasanya terjadi ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin atau ketika menghabiskan waktu lama dekat dengan orang yang terinfeksi. Tingkat penularan pertusis paling tinggi terjadi sekitar 2 minggu setelah batuk muncul[4, 10].
Dilaporkan bahwa di seluruh dunia terjadi sekitar 24,1 juta kasus batuk rejan setiap tahun, mengakibatkan 160.700 kematian[4].
Tuberculosis merupakan penyakit sistem pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya penularan terjadi setelah berada dalam kontak dekat dengan orang yang terinfeksi selama waktu yang lama. Penularan terjadi ketika orang terinfeksi batuk, bicara, atau tertawa dan mengeluarkan bakteri TB ke udara. Bakteri TB tidak ditularkan melalui sentuhan, kontak kulit, atau berbagi makanan[4, 9].
Tuberculosis termasuk penyakit yang umum, meski penularannya tidak setinggi campak atau influenza. Ketika penularan terjadi, hanya 5% dari individu akan mengalami gejala[2].
Gejala TB dapat berbeda-beda, umumnya meliputi batuk berat yang berlangsung lebih dari 3 minggu, dada sakit, batuk berdarah atau phlegm, keletihan, berat badan turun, nafsu makan hilang, demam, keringat malam, dan menggigil[9].
Risiko penularan penyakit paling tinggi pada lingkungan dengan tempat tinggal berdekatan. Selain itu, orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami TB[2, 4].
Difteri disebabkan infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae. Menurut WHO, di tahun 2018 terjadi 16.000 kasus difteri di seluruh dunia[11].
Penularan penyakit biasanya melalui droplet respiratori yang dikeluarkan ketika batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi ketika melakukan kontak langsung dengan luka terbuka dari orang yang terinfeksi difteri[11].
Penyakit ini mengakibatkan kerusakan pada sistem pernapasan dan menyerang jantung, ginjal, dan saraf. Difteri menimbulkan gejala meliputi kelemahan, tenggorokan sakit, demam ringan, dan pembengkakan kelenjar di leher. Bakteri penyebab difteri juga dapat menginfeksi kulit, menyebabkan timbulnya luka terbuka. Difteri dapat ditangani dengan antibiotik[1, 11].
Meningitis ialah suatu peradangan pada cairan dan membran (meninges) di sekeliling otak dan sumsum tulang belakang. Meningitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, namun juga dapat terjadi akibat suatu cedera atau infeksi jamur[1, 12].
Penularan bakteri atau virus yang menyebabkan meningitis dapat terjadi melalui batuk, bersin, kontak langsung, atau penggunaan alat makan bersama, penggunaan sikat gigi bersama, atau rokok[12].
Gejala awal meningistis dapat menyerupai gejala flu, muncul selama beberapa jam atau hingga beberapa hari. Gejala umum meliputi sakit kepala terus menerus, demam tinggi yang terjadi tiba-tiba, sakit kepala disertai mual atau muntah, kesulitan berkonsentrasi, kejang, kantuk, sensitif terhadap cahaya, hilang selera makan, dan ruam kulit[1, 12].
Penyakit antraks disebabkan oleh paparan aerosol spora Bacillus anthracis. Antraks merupakan infeksi berat dengan tingkat mortalitas yang sangat tinggi jika diagnosis tidak dilakukan dengan tepat. Pasien antraks memerlukan penanganan dengan antibiotik selama setidaknya selama 8 minggu. Selain itu, pasien antraks perlu diisolasi[2, 13].
Infeksi antraks terjadi ketika spora bakteri memasuki tubuh. Di dalam tubuh, spora bakteri akan menjadi aktif sehingga bakteri dapat memperbanyak diri, menyebar, dan menghasilkan racun. Masuknya spora dapat terjadi ketika menghirup udara, makan, atau minum air yang terkontaminasi spora. Penularan juga dapat terjadi melalui luka terbuka pada kulit[13].
Penyakit yang menular melalui udara umumnya menimbulkan gejala seperti[1, 4]:
Penularan penyakit yang tergolong sebagai airborne bergantung pada beberapa ciri variabel fisik dari partikel penginfeksi dan lingkungan. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi penularan penyakit airborne[2]:
Beberapa jenis virus lebih aktif pada lingkungan dengan suhu rendah, misalnya virus influenza yang lebih mudah menyebar pada iklim dingin. Sementara daya penularan bakteri patogen menurun pada suhu dingin karena mereka kurang resisten sehingga memasuki fase dormansi.
Sinar ultraviolet (UV) dapat berdampak merusak bagi bakteri dan virus. Daya dan durasi paparan sinar UV dapat menentukan kelangsungan hidup patogen di udara. Negara yang mendapat sinar matahari lebih tinggi kurang rawan terhadap penularan penyakit airborne.
Persentase uap air di udara dapat menentukan efektivitas inti droplet airborne untuk menyebar dari satu orang ke orang lain. Studi menunjukkan bahwa tingkat kelembapan tinggi dapat melindungi dari kerusakan akibat sinar UV.
Arus udara diketahui meningkatkan jarak yang ditempuh oleh partikel airborne penyebab penyakit. Angin juga dapat menurunkan kadar aerosol sehingga menurunkan tingkat penularan agen penyebab penyakit.
Beberapa studi menunjukkan bahwa badai tropis menurunkan kuantitas spora jamur di udara. Meskipun setelah beberapa hari jumlah spora jamur meningkat.
Kondisi rumah dan jumlah orang yang menempati satu ruangan/area termasuk faktor yang menentukan penularan agen penyakit airborne. Ventilasi dan aerasi ruangan juga termasuk faktor penting. Penggunaan AC diduga termasuk faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit airborne di dalam ruangan tertutup.
Umumnya di daerah perkotaan, orang tinggal dengan jarak berdekatan satu sama lain, mengakibatkan peningkatan penularan patogen bakteri dan virus. Sementara di daerah pedesaan lebih rawan terhadap penularan spora jamur airborne.
Penumpukan limbah/sampah dapat meningkatkan risiko pembentukan partikel airborne sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit.
Penyakit menular melalui udara biasanya didiagnosis melalui pengambilan sampel saliva, meliputi swab tenggorokan. Dokter juga perlu menanyakan mengenai gejala yang dialami pasien dan melalukan pemeriksaan fisik. Selain itu, dokter dapat meminta pasien melakukan tes darah atau tes lain untuk menganalisa cairan tubuh[14].
Umumnya penanganan penyakit menular melalui udara meliputi banyak istirahat, mendapatkan cukup air minum serta penanganan gejala. Pengobatan lebih lanjut bergantung pada jenis penyakit yang dialami[4, 14].
Demam biasa umumnya dapat membaik tanpa pengobatan. Sementara flu dapat ditangani dengan obat antivirus. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri, seperti batuk rejan dan difteri dapat diobati dengan antibiotik[4].
Beberapa penyakit, seperti cacar, tidak memiliki cara penanganan khusus. Biasanya diberikan obat dan perawatan suportif untuk meringankan gejala[4].
Selama penanganan pasien yang terkonfirmasi atau diduga terinfeksi penyakit airborne ditempatkan pada ruang isolasi, yaitu suatu ruang untuk pasien tunggal yang dilengkapi dengan air handling khusus (tekanan negatif) dan kapasitas ventilasi[2].
Penyakit menular melalui udara dapat menyebar secara luas dan umumnya mudah ditangani. Meski demikian, pencegahan sepenuhnya masih sulit dilakukan. Berikut beberapa upaya untuk mengurangi paparan patogen penyebab penyakit menular melalui udara[1, 4]:
Beberapa penyakit menular melalui udara dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin memungkinkan tubuh mendapat kekebalan terhadap agen penyebab penyakit[4].
Penyakit menular melalui udara yang dapat dicegah dengan vaksinasi antara lain[4, 14]:
1. Aaron Kandola, reviewed by Jill Seladi-Schulma, Ph.D. What’s to Know about Airborne Diseases? Medical News Today; 2017.
2. Ather B, Mirza TM, Edemekong PF. Airborne Precautions. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
3. Tanya Lewis. How Coronavirus Spread through the Air: What We Know So Far. Scientific American; 2020.
4. Ann Pietrangelo, reviewed by Deborah Weatherspoon, Ph.D., R.N., CRNA. What Are Airborne Diseases? Healthline; 2020.
5. Anonim. Common Cold. Mayo Clinic; 2019.
6. Brian Decker, PharmD Candidate, Mark Herring, PharmD. Influenza vs Common Cold: Symptoms and Treatment. Pharmacy Times; 2011.
7. Anonim. Modes of Transmissions of Virus Causing COVID-19: Implications for IPC Precaution Recommendations. World Health Organization; 2020.
8. Anonim. Mumps. Centers for Disease Control and Prevention; 2021.
9. Dan Brennan, MD. What Are Airborne Diseases? WebMD; 2021.
10. Anonim. Pertussis (Whooping Cough). Centers for Disease Control and Prevention; 2021.
11. Anonim. Diphtheria. Centers for Disease Control and Prevention; 2020.
12. Anonim. Meningitis. Mayo Clinic; 2020.
13. Anonim. Antrhax. Centers for Disease Control and Prevention; 2020.
14. Anonim. Airborne Diseases: An Overview. Blu-Med; 2021.