Penyakit & Kelainan

Leukophobia : Penyebab – Gejala dan Penanganan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Leukophobia?

Leukophobia adalah sebuah kondisi ketakutan berlebih dan irasional terhadap warna putih [1,2].

Berasal dari bahasa Yunani, leuko dan phobia; leuko memiliki arti putih dan phobia berarti takut.

Seperti halnya melanophobia, leukophobia tergolong sebagai salah satu chromophobia atau ketakutan irasional terhadap warna.

Beberapa orang dengan kondisi leukophobia ini dapat mengalami rasa panik dan cemas secara berlebihan walau hanya memikirkan atau membayangkan warna putih [1].

Serangan dan gangguan panik yang intens menjadi salah satu tanda utama seseorang menderita leukophobia, terutama saat melihat, membayangkan atau membicarakannya.

Tinjauan
Leukophobia merupakan sebuah kondisi kecemasan dan ketakutan berlebih terhadap warna putih di mana kedua perasaan tersebut timbul secara irasional. 

Penyebab Leukophobia

Leukophobia sebagai jenis kondisi fobia spesifik belum diketahui penyebab utamanya secara jelas.

Namun seperti halnya kondisi fobia spesifik lainnya, beberapa faktor pemicu atau faktor peningkat risiko di bawah ini dapat menjadi alasannya.

  • Faktor Genetik

Anggota keluarga (terutama orang tua atau kakek nenek) dengan kondisi fobia spesifik terutama leukophobia dapat meningkatkan risiko anggota keluarga lainnya mengalami fobia spesifik juga [1,2,4,5].

“Gen rasa takut” ini seperti dapat diturunkan oleh nenek moyang ke keturunan-keturunannya.

  • Faktor Cara Didik atau Lingkungan

Seseorang yang di keluarganya dibesarkan oleh orang-orang yang memiliki ketakutan berlebih terhadap warna putih tanpa sebab yang jelas [1,2,3,4,5].

Beberapa orang juga kemungkinan dibesarkan di tengah keluarga atau lingkungan yang memiliki rasa takut terhadap warna putih karena warna ini dianggap berbahaya tanpa alasan yang jelas.

  • Faktor Pengalaman Traumatis

Pengalaman tidak menyenangkan terhadap hal-hal tertentu yang berkaitan dengan warna putih dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko leukophobia [1,2,5].

Pengalaman traumatis terhadap benda atau bahkan hal-hal mengerikan yang berhubungan dengan warna putih mampu menjadi alasan seseorang kemudian memiliki kecemasan terhadap warna putih.

Tinjauan
Faktor genetik, faktor pengalaman traumatis, dan faktor lingkungan menjadi deretan kondisi yang dikaitkan dengan timbulnya leukophobia di dalam diri seseorang.

Gejala Leukophobia

Leukophobia dapat menimbulkan sejumlah gejala pada penderitanya bahkan tanpa si penderita sadari.

Ketika seseorang mengalami leukophobia, kecemasan dan ketakutan berlebih saat memikirkan, membicarakan hingga melihat obyek atau suasana berwarna putih akan terjadi.

Kecemasan yang dialami oleh penderita fobia spesifik tergolong ekstrem di mana serangan panik terkadang ikut menghampiri dan tak dapat dikendalikan oleh si penderita sendiri.

Jika serangan panik masih tergolong ringan, maka biasanya hal ini lebih mudah diredakan.

Namun bila serangan panik sangat serius hingga penderita kehilangan kendali diri sendiri, perawatan medis perlu segera didapat.

Meski demikian, masing-masing penderita leukophobia dapat mengalami gejala yang berbeda-beda tergantung berbagai faktor yang memicu dan ada di sekitarnya.

Perlu diketahui bahwa gejala leukophobia terdiri dari dua jenis kondisi, yaitu gejala fisik dan gejala psikologis.

Gejala Fisik Leukophobia

Serangan panik dan kecemasan ekstrem adalah keluhan utama yang dialami penderita leukophobia ketika menjumpai warna putih.

Namun selain kedua hal tersebut, beberapa gejala fisik berikut pun dapat dialami oleh penderita leukophobia [1,2] :

  • Sakit kepala.
  • Mual
  • Sesak napas atau napas pendek.
  • Tubuh merinding.
  • Tubuh gemetar.
  • Berkeringat lebih banyak dari normalnya.
  • Takikardia atau detak jantung lebih cepat dari normalnya.
  • Sensasi tersedak atau tercekik.
  • Ketegangan otot.
  • Sesak dan nyeri di bagian dada.
  • Peningkatan kadar tekanan darah.
  • Hiperventilasi
  • Kebingungan atau merasa linglung.
  • Telinga berdengung.
  • Mulut kering.
  • Mati rasa pada beberapa bagian tubuh.
  • Keinginan untuk buang air kecil akibat rasa gugup.
  • Terasa seperti akan kehilangan kesadaran atau pingsan.

Gejala Psikologis Leukophobia

Serangan panik pada kondisi penderita leukophobia yang sudah tergolong parah akan menyebabkan beberapa gejala psikologis seperti berikut [1,2] :

  • Takut pingsan.
  • Takut kehilangan kemampuan dalam mengendalikan diri, terutama saat berhadapan dengan sumber rasa takut.
  • Merasa dalam bahaya.
  • Penurunan daya konsentrasi.
  • Timbul perasaan malu dan perasaan bersalah.
  • Mudah marah.
  • Perubahan suasana hati ekstrem.
  • Iritabilitas (mudah tersinggung atau sakit hati).
  • Cenderung menghindari segala hal yang berwarna putih (baik itu benda, tempat maupun situasi apapun yang berhubungan dengan warna putih).
  • Isolasi diri karena rasa takut dan cemas akan menjumpai segala sesuatu berwarna putih ketika keluar dari tempat nyamannya.
Tinjauan
Gejala leukophobia terdiri dari dua jenis kondisi, yaitu gejala fisik (mual, sakit kepala, sesak napas, mulut kering, telinga berdengung, hiperventilasi, berkeringat berlebih, hingga pingsan) dan gejala psikologis (cemas, panik, takut pingsan, perubahan suasana hati, iritabilitas, daya konsentrasi menurun, isolasi diri, menghindari segala hal berwarna putih, dan merasa dalam bahaya).

Pemeriksaan Leukophobia

Pemeriksaan fisik dan psikologis menjadi pemeriksaan utama untuk mengetahui kondisi pasien yang sesungguhnya dari gejala-gejala yang dialami [3].

Evaluasi psikologis adalah metode diagnosa yang utamanya dilakukan oleh dokter ahli kesehatan jiwa dan mental.

Dokter akan bertanya pada pasien mengenai riwayat gejala sedetail mungkin, termasuk riwayat medis, riwayat pengobatan, serta pengalaman traumatis yang pasien pernah alami.

Dokter pun kemungkinan akan menanyakan tentang riwayat kesehatan keluarga pasien untuk mengetahui apakah kondisi leukophobia pasien berkaitan dengan faktor genetik.

Dalam proses pemeriksaan fobia spesifik, kriteria diagnosa DSM-5 adalah panduan yang digunakan oleh ahli kesehatan mental dan jiwa.

Bila pasien memenuhi kriteria DSM-5 tersebut, maka artinya gejala benar-benar mengarah pada leukophobia [6].

  • Pasien memiliki ketakutan berlebihan dan tidak beralasan terhadap warna putih.
  • Reaksi cemas timbul seketika dan setara dengan rasa takut serta cemas ketika sedang berada dalam bahaya besar, terutama saat menghadapi situasi atau benda-benda berwarna putih.
  • Pasien cenderung memilih menghindari obyek dan situasi yang berkaitan dengan warna putih.
  • Gejala-gejala yang telah disebutkan di atas setidaknya dialami oleh pasien selama setidaknya 6 bulan.
  • Gejala-gejala yang telah disebutkan membuat kelangsungan hidup pasien menurun, seperti kehidupan kerja, kehidupan sekolah, hingga kehidupan sosial.
  • Gejala-gejala yang terjadi tidak disebabkan dan tidak terkait dengan kondisi gangguan mental lain yang memiliki gejala serupa.

Penanganan Leukophobia

Penanganan fobia spesifik seperti leukophobia dengan menghindari obyek atau situasi berwarna putih tidak akan membantu pasien menjadi lebih baik.

Penghindaran bukan merupakan bentuk perawatan atau pengobatan untuk penderita leukophobia, melainkan menjadi faktor yang memperburuk gejala pasien.

Ketika menyadari adanya kondisi leukophobia, sejak adanya gejala awal sebaiknya penderita segera ke dokter ahli kesehatan mental untuk membantu mengatasinya secara tepat.

  • Terapi Bicara atau Konseling

Salah satu terapi penting yang mampu membantu menangani gejala-gejala kecemasan dan gangguan panik karena ketakutan irasional terhadap obyek tertentu seperti warna putih adalah konseling [1,2,5].

Terapi bicara atau konseling tentunya perlu dilakukan dengan ahli kesehatan mental profesional.

Tujuan terapi ini adalah untuk memahami perasaan, pikiran, dan perilaku penderita sendiri terkait ketakutan irasionalnya terhadap warna putih [1,2].

Terapis siap membantu pasien dalam memahami pola negatif perilaku maupun cara berpikir pasien dan mencari cara agar hal tersebut dapat diubah.

Terapis juga siap membantu pasien dalam mengatasi perasaan yang tak terselesaikan dan tak terungkapkan.

Pasien selama prosedur ini juga akan dibantu untuk berpikir secara lebih logis dan positif sekaligus memahami diri sendiri secara lebih baik.

Terapi bicara atau konseling merupakan prosedur yang aman bagi pasien karena pasien dapat terbuka mengenai hal-hal yang tak dapat diungkapkan tanpa perlu merasa dihakimi.

Melalui terapi ini, pasien diharapkan memiliki perasaan, perilaku dan pikiran yang lebih positif di mana ini akan berdampak baik pada meredanya gejala kecemasan.

  • Terapi Perilaku Kognitif

Perilaku pasien leukophobia yang sudah mulai merugikan diri pasien sendiri dan orang lain perlu diatasi dengan terapi perilaku kognitif [1,2,3,7].

Terapis profesional selama prosedur ini siap membantu pasien untuk mengidentifikasi apakah apa yang pasien selama ini pikirkan merupakan realitas yang akurat [1,2].

Bila terbukti tidak demikian, pasien akan dibimbing untuk melawan sekaligus mengatasi pikiran-pikiran negatif tersebut.

Sebagai contoh, penderita leukophobia akan berhasil mengidentifikasi rasa cemas dan ketakutan terhadap warna putih sebagai pikiran realitas yang akurat atau tidak [1].

Terapis akan membantu mengubah cara berpikir pasien yang negatif dan cenderung tidak mengarah pada realita tersebut.

  • Obat-obatan

Jika memang diperlukan, dokter akan memberikan resep obat-obatan untuk pasien leukophobia dengan gangguan kecemasan dan gangguan panik yang parah.

Agar tingkat kecemasan menurun, umumnya obat-obatan yang dapat digunakan oleh pasien adalah antidepresan, beta-blockers (termasuk pasien dengan kondisi tekanan darah tinggi), serta tranquilizers [1,2,8].

Obat-obatan ini tidak sebaiknya digunakan tanpa resep atau konsultasi lebih dulu dengan dokter.

Terapi eksposur merupakan salah satu metode psikoterapi yang dianggap efektif bagi sebagian besar pasien fobia spesifik [1,2,3,4,5,7].

Dengan mengekspos pasien kepada sumber ketakutannya secara rutin tanpa berlebihan, yakni dalam hal ini adalah warna putih, diyakini gejala-gejala fisik maupun psikologis akan membaik.

Terapi eksposur dianggap sebagai terapi yang membantu pasien dalam membiasakan diri terhadap sumber ketakutannya.

Namun ketika terapi ini diterapkan secara berlebihan, risiko gejala leukophobia pasien memburuk sangat tinggi [1].

  • Latihan Yoga

Fobia spesifik selalu identik dengan kondisi gangguan kecemasan dan kepanikan sehingga pasien sangat dianjurkan untuk berlatih Yoga [1].

Latihan fisik yang membantu mengelola stres dan merilekskan diri ini bermanfaat sebagai pereda kecemasan.

Agar lebih aman, pastikan untuk berlatih dengan instruktur profesional daripada mencobanya sendiri.

Hatha Yoga adalah metode atau pose Yoga yang paling direkomendasikan untuk meredakan kecemasan [9].

  • Olahraga Rutin

Yoga mampu menjadi aktivitas yang membantu menyeimbangkan kesehatan fisik, emosional dan mental pasien leukophobia dan gangguan kecemasan [1,2,10].

Namun, dianjurkan pula bagi pasien leukophobia untuk berolahraga ringan secara rutin karena sama bermanfaatnya.

Tidak perlu memilih olahraga yang terlalu berat, sekadar bermain basket, renang, tenis, renang, bersepeda, atau bahkan jogging dan jalan kaki seminggu setidaknya 3 kali sudah sangat membantu [1,10].

  • Pembatasan Kafein

Kafein dapat memberikan efek cemas dan gugup sehingga asupan berlebihan pada penderita fobia spesifik seperti leukophobia mampu memperburuk gejala [1,11].

Oleh sebab itu, hindari dosis tinggi kafein agar tubuh lebih rileks dan detak jantung tetap normal (tidak mengalami takikardia).

Menghentikan konsumsi kafein dalam masa pemulihan leukophobia juga akan membantu meredakan rasa cemas dan ketegangan pada tubuh.

Tinjauan
Penanganan umum yang diberikan untuk mengatasi leukophobia antara lain meliputi terapi bicara, terapi perilaku kognitif, terapi eksposur, obat-obatan, latihan Yoga, olahraga rutin dan pembatasan asupan kafein.

Komplikasi Leukophobia

Spesifik fobia seperti leukofobia bukan tidak mungkin mampu mengakibatkan depresi berkepanjangan pada penderitanya.

Stres berat karena terus-menerus menghindari warna putih dapat berakibat penderita “melarikan diri” ke obat-obatan terlarang dan penyalahgunaan alkohol [1,12].

Isolasi diri juga mengkhawatirkan karena demi menghindari warna putih, penderita leukophobia menghambat aktivitas hariannya sendiri, termasuk performa kerja dan hubungan sosialnya.

Kecemasan dan gangguan panik yang terus-menerus dirasakan oleh penderita yang tidak segera ditangani dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman jangka panjang.

Bila sudah sampai depresi, keinginan bunuh diri dapat timbul dan bahkan aksi bunuh diri itu sendiri dapat terjadi [13].

Tinjauan
Depresi, stres berkepanjangan, isolasi diri, terhambatnya kelangsungan hidup, serta keinginan maupun aksi bunuh diri dapat menjadi risiko komplikasi fobia spesifik seperti leukophobia yang perlu diwaspadai.

Pencegahan Leukophobia

Tidak terdapat cara khusus dan pasti dalam mencegah leukophobia agar tidak terjadi sama sekali.

Namun dengan menangani gejala-gejala leukophobia sedari awal kemunculannya sangat dapat membantu meminimalisir perburukan gejala dan risiko komplikasi.

Menjalani gaya hidup sehat, rajin berolahraga dan mengelola stres dengan tepat secara positif juga merupakan upaya meminimalisir gejala gangguan kecemasan dan panik.

Tinjauan
Tidak terdapat cara pencegahan khusus leukophobia, namun deteksi dan penanganan secara dini saat gejala awal timbul dapat meminimalisir risiko komplikasi.

1. Psych Times Staff. Leukophobia (Fear of the Color White). Psych Times; 2020.
2. Anonim. Fear of the color white: Leukophobia. FearOf; 2020.
3. Chandan K. Samra & Sara Abdijadid. Specific Phobia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
4. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
5. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
6.. Anonim. Specific Phobias. Perelman School of Medicine University of Pennsylvania; 2020
7. Thompson E. Davis, III, Thomas H. Ollendick, & Lars-Göran Öst. Intensive Treatment of Specific Phobias in Children and Adolescents. HHS Public Access; 2010.
8. N.S. Burghardt, D.E.A. Bush, B.S. McEwen, & J.E. LeDoux. Acute SSRIs Increase Conditioned Fear Expression: Blockade with a 5-HT2C Receptor Antagonist. HHS Public Access; 2008.
9. Stefan G. Hofmann, Giovanbattista Andreoli, Joseph K. Carpenter, & Joshua Curtiss. Effect of Hatha Yoga on Anxiety: A Meta-Analysis. HHS Public Access; 2017.
10.. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BioMed Central Services Research; 2018.
11. Gareth Richards & Andrew Smith. Caffeine Consumption and Self-Assessed Stress, Anxiety, and Depression in Secondary School Children. Journal of Psychopharmacology; 2015.
12. Renee D. Goodwin, Ph.D., M.P.H & Dan J. Stein, M.D., Ph.D. Anxiety disorders and drug dependence: Evidence on sequence and specificity among adults. HHS Public Access; 2014.
13. Kate H. Bentley, Joseph C. Franklin, Jessica D. Ribeiro, Evan M. Kleiman, Kathryn R. Fox, & Matthew K. Nock. Anxiety and its disorders as risk factors for suicidal thoughts and behaviors: A meta-analytic review. HHS Public Access; 2016.

Share