Daftar isi
Refluks laringofaring (laryngopharyngeal reflux) yang juga dikenal dengan istilah silent reflux merupakan kondisi di mana kenaikan asam lambung terjadi sampai ke laring (kotak suara) atau faring (tenggorokan bagian belakang) [1.2.3.4].
Jika banyak orang mengira bahwa asam lambung hanya dapat naik hingga ke kerongkongan, ada yang lebih serius, yakni ketika bagian belakang saluran nafas menjadi lokasi jangkauan asam lambung saat sedang meningkat [1,2,3,4].
Kondisi refluks laringofaring ditandai dengan gejala umum yang biasanya timbul saat mengalami GERD sehingga disebut dengan silent reflux karena tidak terlalu kentara [1,2,3,4].
Tinjauan Refluks laringofaring atau laryngopharyngeal reflux atau silent reflux adalah kondisi asam lambung yang naik hingga faring atau laring dengan gejala yang kurang terlalu terasa atau nampak dibandingkan dengan GERD.
Penyebab utama refluks laringofaring adalah kenaikan asam lambung mencapai kerongkongan lalu mengarah pada faring atau laring [1,2,3,4].
Terjadinya hal ini bisa disebabkan pula oleh katup kerongkongan (sfingter) yang sudah rusak atau mengalami kelemahan [1,3,4].
Jika terjadi masalah pada sfingter, maka saat bagian ini seharusnya menutup dengan sempurna, sfingter justru tidak dapat menutup dengan baik [1,3,4].
Padahal, sfingter memiliki fungsi penting sebagai pengendali terbuka dan tertutupnya pintu masuk dari esofagus (kerongkongan) menuju lambung pada waktunya [1,3,4].
Normalnya, otot sfingter akan menutup kecuali saat sedang menelan makanan [1,3,4].
Namun bila mengalami kerusakan atau kelemahan, otot sfingter akan tetap terbuka sehingga membuka kesempatan bagi asam lambung naik hingga esofagus [1,3,4].
Selain karena kelemahan atau kerusakan sfingter, terdapat beberapa faktor risiko yang perlu diketahui karena mampu memicu refluks laringofaring seperti berikut [4,5,6] :
Refluks laringofaring tidak memandang usia maupun jenis kelamin karena siapapun dapat mengalami kondisi ini, termasuk anak-anak [1,2,3,4].
Pada anak, bahkan bayi sekalipun, refluks laringofaring berpotensi besar terjadi karena otot sfingter esofagus (baik atas maupun bawah) belum terlalu kuat pada proses menutup dan membuka [1,2,3,4].
Seiring pertambahan usia anak, fungsi dan kekuatan sfingter esofagus akan terus berkembang [1,2,3,4].
Tinjauan Kerusakan dan kelemahan sfingter menjadi penyebab terjadinya refluks laringofaring, namun beberapa faktor risiko seperti obesitas, pola diet buruk, stres berlebihan dan kehamilan juga perlu diwaspadai.
Gejala refluks laringofaring seringkali tidak terlalu nampak walaupun ada; hal ini menjadi alasan mengapa istilah silent reflux diberikan.
Beberapa gejala akan tetap terjadi, namun biasanya heartburn (sensasi panas dan nyeri di ulu hati) justru tidak terjadi.
Pada refluks laringofaring, gejala sekalipun nampak akan lebih dirasakan pada area kerongkongan, seperti [1,2,3,4] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Segera temui dokter apabila dari gejala-gejala yang dialami terdapat kecurigaan mengarah pada kenaikan asam lambung.
Namun bila gejala lebih banyak dirasakan pada area kerongkongan, waspadai refluks laringofaring.
Terlalu sering mengalami ketidaknyamanan di tenggorokan terutama disertai dengan heartburn memerlukan tindakan pemeriksaan dan penanganan medis secepatnya.
Hindari menunggu terlalu lama ketika gejala sudah timbul, apalagi bila gejala sudah lebih dari beberapa minggu.
Tinjauan Batuk, suara parau, sakit tenggorokan, sulit menelan dan ketidaknyamanan pada tenggorokan adalah sederet tanda utama refluks laringofaring yang perlu dikenali.
Seperti pada umumnya, pemeriksaan gejala refluks laringofaring dilakukan oleh dokter dengan beberapa metode seperti di bawah ini :
Dokter akan mengawali pemeriksaan dengan pengecekan kondisi fisik pasien, seperti adanya pembengkakan di area tenggorokan dan belakang kotak suara [1].
Dokter pun harus memastikan riwayat gejala dan riwayat penyakit pasien terlebih dulu [1].
Tak hanya pada pasien, dokter terkadang perlu mengetahui riwayat medis keluarga pasien untuk dapat menegakkan diagnosa [1].
Sebagai tes penunjang dalam menegakkan diagnosa, dokter pun akan meminta pasien menelan cairan bernama barium [4,7].
Cairan khusus ini akan melapisi kerongkongan, perut dan usus sebelum diterapkan pemeriksaan sinar-X [4,7,8].
Dengan bantuan cairan ini, selama tes sinar-X dokter akan dapat melihat secara jelas pergerakan makanan yang masuk dari mulut menuju kerongkongan, lambung dan usus [4,7,8].
Selain sinar-X, pemeriksaan berupa endoskopi juga perlu pasien tempuh agar dokter bisa melihat bagian dalam tenggorokan dan perut pasien [4,9].
Endoskopi akan diterapkan dengan memanfaatkan alat bernama endoskop, yakni sebuah selang panjang tipis fleksibel yang pada ujungnya sudah dilengkapi dengan kamera kecil [4,9].
Endoskop akan dimasukkan oleh dokter ke mulut pasien yang kemudian berlanjut masuk ke tenggorokan dan sampai ke bagian dalam perut untuk memberi gambaran kondisi bagian tubuh pasien tersebut [4,9].
Tes ini dilakukan dengan merekam kadar pH (kadar asam) pada tenggorokan atau esofagus pasien menggunakan alat berupa selang tipis kecil [1,4,10].
Selang ini kemudian dokter masukkan perlahan ke dalam hidung pasien turun menuju esofagus dan akan diposisikan tepat di atas sfingter esofagus bagian bawah sekitar 2 inci [1,4,10].
Dokter akan menggunakan solasi atau tape khusus di sisi wajah pasien agar selang tetap berada di tempatnya [1,4,10].
Ujung selang ini sudah dilengkapi dengan perekam portabel untuk mengukur dan merekam kadar pH esofagus pasien [1,4,10].
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, sinar-X, endoskopi, serta tes pH esofagus adalah sejumlah metode diagnosa yang perlu pasien tempuh.
Penanganan untuk gejala refluks laringofaring seringkali menggabungkan metode penanganan mandiri dan penanganan medis.
Sebab bagaimanapun, beberapa pengobatan dari dokter pun perlu disertai dengan perubahan pola hidup yang seimbang.
Perubahan diet dan pola hidup menjadi penanganan utama bagi penderita refluks laringofaring [1,4].
Hal ini dapat dilakukan dengan menghindari makanan dan minuman berkadar asam dan lemak tinggi [1,4].
Penderita juga sangat dianjurkan untuk menghindari makanan pedas dan minuman berkafein serta bersoda tinggi [1,4].
Untuk pola makan, makan dengan porsi sedikit-sedikit namun sering (5-6 kali sehari) jauh lebih baik daripada sekali makan terlalu banyak [1,4].
Menghindari konsumsi alkohol dan kebiasaan merokok juga akan membantu agar esofagus serta lambung lebih cepat pulih [1,4].
Penting untuk tidur tidur tepat sehabis makan, tapi memberi jeda 2-3 jam dari setelah makan ke sebelum tidur agar proses pencernaan makanan berjalan baik [1,4].
Berolahraga dan selalu menjaga berat badan agar tidak naik sampai berlebihan dan berakibat pada obesitas sangat dianjurkan [1,4].
Selain itu, pastikan untuk selama penyembuhan posisi kepala lebih tinggi setiap kali tidur (bisa menggunakan beberapa bantal yang ditumpuk) [1,4].
Bila perubahan pola diet saja tidak cukup dalam meredakan gejala refluks laringofaring, maka pengobatan secara medis diperlukan oleh penderita [1,3,4].
Biasanya, obat berupa proton pump inhibitors dan histamine-2 receptor antagonist akan menekan produksi asam yang naik berlebihan [1,3,4].
Jika perubahan pola diet dan obat-obatan tak juga efektif dan terdapat tanda-tanda gejala memburuk, dokter bisa saja merekomendasikan jalur operasi [1,11].
Operasi fundoplikasi Nissen (Nissen fundoplication) adalah prosedur bedah yang kemungkinan dokter anjurkan [1,11].
Tujuan operasi ini adalah untuk meredakan gejala-gejala refluks laringofaring secara lebih efektif [1,11].
Bagaimana prognosis refluks laringofaring?
Prognosis refluks laringofaring pada dasarnya bervariasi pada tiap kasus, tergantung dari tingkat keparahan dan seberapa cepat serta tepat penanganan yang pasien dapatkan [1].
Ketika pasien segera mendapatkan penanganan, maka prognosis refluks laringofaring diketahui tergolong baik [1].
Perubahan pola hidup menjadi lebih sehat pun dapat mengendalikan faktor risiko serta gejala dengan baik [1].
Hanya saja jika tidak tertangani dengan baik atau secara terlambat, maka ada kemungkinan cedera vokal kronis dapat terjadi sebagai efek dari refluks laringofaring jangka panjang [1].
Ketiadaan penanganan bagi kondisi refluks laringofaring yang juga diakibatkan dari tidak tertanganinya GERD mampu memicu kondisi serius lainnya semacam esofagitis Barrett [1].
Selain itu stenosis subglotis juga dapat berkembang seiring waktu ketika refluks laringofaring dibiarkan tanpa perawatan medis [1].
Seluruh risiko kondisi tersebut dapat meningkatkan risiko prognosis buruk bagi penderita, maka dari itu penanganan secepatnya sangat dianjurkan, terutama saat gejala sudah mulai dialami [1].
Tinjauan Penanganan refluks laringofaring umumnya meliputi perubahan pola diet menjadi lebih sehat dan seimbang, pemberian obat-obatan oleh dokter, serta prosedur bedah hanya ketika diet dan obat tak lagi dapat diandalkan.
Sejumlah kondisi berikut adalah risiko komplikasi yang dapat terjadi pada penderita refluks laringofaring ketika gejala tidak segera memperoleh penanganan yang tepat [1,4].
Sekalipun sudah menjalani perubahan pola hidup, pada beberapa kasus penderita tetap mengalami beberapa gejala refluks laringofaring [1].
Apabila sakit tenggorokan, dyspnea (sesak nafas), dan suara parau terus berlanjut dan makin buruk, segera ke ahli otolaringologi [1].
Periksakan diri juga ke ahli gastroenterologi untuk mengetahui apakah terdapat kemungkinan tumor di esofagus dan area sistem pencernaan [1].
Untuk meminimalisir refluks laringofaring, memiliki gaya hidup sehat dan seimbang sangat dianjurkan.
Diet yang tepat akan sangat membantu dalam menurunkan risiko refluks laringofaring seperti berikut [4].
Tinjauan Menjalani pola hidup sehat akan mencegah agar refluks laringofaring tidak mudah kambuh dan tidak mudah memburuk.
1. Jens Brown & Carl Shermetaro. Laryngopharyngeal Reflux. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Chindy Putri Oktrisna. Karakteristik Demografi dan Klinik Pasien Laryngpharyngeal Reflux di Departemen THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Repository Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2019.
3. Nizama Salihefendic, Muharem Zildzic, & Emir Cabric. Laryngopharyngeal Reflux Disease – LPRD. Medical Archives; 2017.
4. Cleveland Clinic medical professional. Laryngopharyngeal Reflux (LPR). Cleveland Clinic; 2018.
5. Juan C Vazquez. Heartburn in pregnancy. Clinical Evidence; 2015.
6. Eivind Ness-Jensen & Jesper Lagergren. Tobacco smoking, alcohol consumption and gastro-oesophageal reflux disease. Best practice & research Clinical Gastroenterology; 2017.
7. Khurshid H. Alam & Petros V. Vlastarakos. Diagnosis and Management of Laryngo-Pharyngeal Reflux. Indian Journal of Otolaringology and Head & Neck Surgery.
8. Nicola de Bortoli, Andrea Nacci, Edoardo Savarino, Irene Martinucci, Massimo Bellini, Bruno Fattori, Linda Ceccarelli, Francesco Costa, Maria Gloria Mumolo, Angelo Ricchiuti, Vincenzo Savarino, Stefano Berrettini, & Santino Marchi. How many cases of laryngopharyngeal reflux suspected by laryngoscopy are gastroesophageal reflux disease-related?. World Journal of Gastroenterology; 2012.
9. Rukiye Vardar, Ahmet Varis, Berna Bayrakci, Serdar Akyildiz, Tayfun Kirazli, & Serhat Bor. Relationship between history, laryngoscopy and esophagogastroduodenoscopy for diagnosis of laryngopharyngeal reflux in patients with typical GERD. European Archives of Oto-rhino-laryngology; 2012.
10. Swati Maldhure, Ramanathan Chandrasekharan, Amit- Kumar Dutta, Ashok Chacko, & Mary Kurien. Role of PH Monitoring in Laryngopharyngeal Reflux Patients with Voice Disorders. Iranian Journal of Otorhinolaryngology; 2016.
11. Lionel van der Westhuizen, Stephen J Von, Brent J Wilkerson, Brent L Johnson, Yonge Jones, William S Cobb, & Dane E Smith. Impact of Nissen fundoplication on laryngopharyngeal reflux symptoms. The American Surgeon; 2011.