Penyakit & Kelainan

Sindrom Miller Fisher : Penyebab – Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Sindrom Miller Fisher?

Sindrom Miller Fisher adalah jenis penyakit autoimun yang berkaitan dengan saraf dan termasuk pula dalam jenis sindrom Guillain-Barre di mana kelumpuhan terjadi pada mata [1,2,3,4,5].

Meski memiliki kemiripan, sindrom Miller Fisher dan sindrom Guillain-Barre adalah dua kondisi berbeda di mana kondisi sindrom Guillain-Barre juga lebih parah dari sindrom Miller Fisher.

Berawal dari kondisi mata yang terganggu, kondisi sindrom Miller Fisher dapat berkembang hingga mengganggu keseimbangan serta koordinasi tubuh.

Tinjauan
Sindrom Miller Fisher merupakan jenis penyakit autoimun yang juga merupakan jenis sindrom Guillain-Barre di mana kelumpuhan dan kelemahan otot mata menjadi tanda utamanya.

Fakta Tentang Sindrom Miller Fisher

  1. Penemu pertama kali sindrom Miller Fisher adalah dr. Charles Miller Fisher sehingga nama penyakit tersebut diambil dari nama sang penemu [1].
  2. Deskripsi neuropatologi pertama kali sindrom Miller Fisher adalah tahun 1984, yaitu ditemukan dari laporan kasus oleh Phillips dan Anderson [2].
  3. Jika prevalensi global sindrom Guillain-Barre adalah hanya 1-2 per 100.000 jiwa, maka sindrom Miller Fisher sebagai salah satu jenis kondisi sindrom tersebut berprevalensi sekitar 1-2 per 1.000.000 jiwa [2].
  4. Pria memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom Miller Fisher daripada wanita dengan rasio perbandingan 2:1 [2].
  5. Walau tergolong sebagai penyakit langka, sindrom Guillain-Barre lebih banyak dijumpai pada orang-orang keturunan Asia dengan persentase kasus sekitar 15-25% dibandingkan dengan populasi Barat dengan persentase kasus sekitar 5% saja [2].
  6. Dari 72% kasus sindrom Guillain-Barre dengan gejala neurologis, infeksi virus adalah pemicunya dengan 10 hari sebagai masa inkubasinya [2].
  7. Secara global maupun nasional, data epidemiologi kasus sindrom Guillain-Barre sendiri tidak menunjukkan angka kasus yang signifikan, namun infeksi virus pemicu sindrom ini cukup mengancam khususnya di negara-negara beriklim tropis [3].
  8. Di Indonesia, data penelitian menggunakan metode Erasmus GBS Outcome Score pada Deskripsi Luaran Pasien Sindrom Guillain-Barre di RSUPN Cipto Mangun Kusumo tahun 2010-2014 per tahun diketahui terdapat 7,6 kasus tanpa mengenal musim [3].
  9. Menurut penelitian di RSUPN Cipto Mangun Kusumo tersebut, pemicu infeksi yang terjadi pada rata-rata kasus sindrom Guillain-Barre tersebut adalah Mycoplasma pneumonia [3].
  10. Prognosis atau peluang kesembuhan pasien sindrom Miller Fisher tergolong sangat baik dan tinggi dengan tingkat kefatalan kondisi kurang dari 5% [2].
  11. Masa penyembuhan pasien sindrom Miller Fisher tidak memerlukan waktu lama, hanya dalam rentang 8-12 minggu saja [2].

Penyebab Sindrom Miller Fisher

Penyebab Sindrom Miller Fisher diketahui karena infeksi virus.

Pada dasarnya, sindrom Miller Fisher dan sindrom Guillain-Barre adalah dua kondisi yang terjadi akibat respon autoimun akut yang menyimpang terhadap infeksi Cytomegalovirus, Mycoplasma pneumoniae, HIV (immunodeficiency virus), Epstein-Barr virus, Haemophilus influenzae maupun Campylobacter jejuni [1,2,3].

Setiap tubuh manusia akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi, namun pada kasus sindrom Miller Fisher terjadi perbedaan.

Peneliti menemukan bahwa antibodi tersebut justru menjadi penyebab rusaknya selubung myelin lapisan saraf perifer.

Saraf perifer sendiri memiliki fungsi utama sebagai penghubung sistem saraf pusat ke organ indera.

Telinga dan mata dapat bekerja dengan baik karena adanya sistem saraf perifer [4].

Namun saraf pusat tidak hanya terhubung ke organ mata dan telinga saja, tapi juga kelenjar, pembuluh darah dan otot oleh saraf perifer.

Saat myelin mengalami kerusakan, sinyal sensorik yang seharusnya dikirim oleh saraf ke otot dan bagian tubuh lainnya yang ingin digerakkan menjadi tidak bisa.

Pada sindrom Miller Fisher, kelemahan utama adalah pada otot [1,2,3,4].

Meski demikian, orang-orang yang terkena infeksi virus tidak lantas kemudian pasti mengalami sindrom ini.

Faktor Risiko Sindrom Miller Fisher

Siapa saja dapat menderita penyakit sindrom Miller Fisher walaupun penyakit ini tergolong langka.

Hanya saja, tingkat kerentanan orang-orang dengan faktor dan kondisi sebagai berikut memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom Miller Fisher [1,2,3,4].

  • Faktor Jenis Kelamin – Pria memiliki tingkat kerentanan lebih tinggi dalam menderita sindrom Miller Fisher daripada wanita dengan risiko 2 kali lipat lebih besar.
  • Faktor Ras – Ras Asia Timur memiliki peluang lebih besar mengalami sindrom Miller Fisher, khususnya orang-orang keturunan Jepang maupun Taiwan.
  • Faktor Usia – Pria usia paruh baya jauh lebih besar risikonya mengalami sindrom Miller Fisher, terutama yang rata-rata berusia 43 tahun.
  • Faktor Tindakan Medis Tertentu – Karena sindrom Miller Fisher disebabkan utamanya oleh infeksi virus, seseorang berpeluang terinfeksi pasca operasi maupun vaksinasi tertentu.
Tinjauan
Sindrom Miller Fisher disebabkan oleh infeksi virus, terutama mikroba dan virus Cytomegalovirus, Mycoplasma pneumoniae, HIV (immunodeficiency virus), Epstein-Barr virus, Haemophilus influenzae maupun Campylobacter jejuni.
Sementara itu, faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor ras, dan faktor tindakan medis tertentu mampu menjadi peningkat risiko sindrom ini.

Gejala Sindrom Miller Fisher

Sindrom Miller Fisher dapat menimbulkan sejumlah gejala di mana umumnya gejala-gejala ini timbul sekitar 1-4 minggu usai terinfeksi virus [1,2,4].

Sindrom Miller Fisher dalam menyebabkan gejala lebih cepat daripada penyakit saraf lainnya seperti ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), Parkinson dan Alzheimer dan faktor ini menjadi pembeda utama dari penyakit-penyakit saraf tersebut.

Beberapa gejala yang dimaksud antara lain adalah [1,2,3,4] :

  • Kelemahan otot mata.
  • Penurunan hingga hilangnya kendali gerakan tubuh, sehingga gerakan tidak terkontrol dan menjadi lemah.
  • Penglihatan buram.
  • Refleks gerak pada pergelangan kaki dan lutut menurun atau hilang.
  • Tidak lagi mampu berbicara (bicara menjadi tidak jelas atau cadel).
  • Tidak lagi mampu tersenyum.
  • Tidak lagi mampu mengontrol gerakan mata dan mata cenderung terus menutup sulit dibuka.
  • Tidak lagi mampu bersiul.
  • Otot wajah semakin melemah dan tampak terkulai.
  • Sulit buang air kecil.
  • Tidak lagi mampu berjalan dengan tegap.
  • Tidak lagi mampu berjalan dengan cepat.
  • Pada beberapa kasus, penderita memiliki gaya berjalan seperti bebek karena penyakit ini.
  • Koordinasi dan keseimbangan tubuh semakin buruk sehingga menyebabkan penderita sulit untuk berjalan karena akan lebih sering terjatuh.

Pemeriksaan Sindrom Miller Fisher

Ketika gejala awal sindrom Miller Fisher mulai dialami dan terasa cukup mengganggu, pastikan untuk segera ke dokter untuk memeriksakannya.

Beberapa metode diagnosa yang umumnya digunakan oleh dokter untuk mengonfirmasi kondisi sindrom Miller Fisher pada pasien antara lain adalah :

  • Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan

Pemeriksaan fisik menjadi metode pemeriksaan pertama yang dokter lakukan untuk mengecek apa saja gejala fisik yang pasien keluhkan [1,2,5].

Selain pemeriksaan fisik, dokter juga umumnya akan memberikan pertanyaan seputar riwayat medis pasien dan juga keluarga pasien.

Dokter perlu tahu kapan gejala-gejala yang dirasakan tersebut timbul.

Dokter juga perlu tahu apakah pasien mengalami sakit beberapa minggu sebelum onset gejala timbul dan seberapa cepat kelemahan otot dirasakan.

Beberapa pertanyaan dan pemeriksaan yang dilakukan bertujuan utama untuk membedakan sindrom Miller Fisher dari sindrom Guillain-Barre.

  • Pungsi Lumbal

Bila dari hasil pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan kecurigaan dokter terhadap sindrom Miller Fisher semakin kuat, dokter akan menganjurkan pasien menempuh pemeriksaan penunjang.

Pungsi lumbal atau spinal tap adalah metode diagnosa berikutnya yang perlu dijalani pasien [1,2,6].

Pada prosedur ini, dokter memasukkan jarum ke punggung bagian bawah pasien agar dapat mengambil sampel cairan sumsum tulang.

Tanda utama bahwa pasien mengalami sindrom Miller Fisher adalah kadar protein yang meningkat pada cairan sumsum tulangnya.

  • Tes Darah

Tes darah juga akan direkomendasikan oleh dokter guna mencari antibodi pasien [1,2].

Antibodi merupakan protein yang tubuh hasilkan agar sistem kekebalan tubuh dapat menggunakannya dalam melawan infeksi.

Bila melalui pemeriksaan darah mampu menemukan antibodi pasien, dokter akan lebih mudah dalam menegakkan diagnosa.

Kriteria Diagnosa The Brighton

Dokter ahli saraf dapat menggunakan kriteria The Brighton sebagai panduan dalam memastikan bahwa kondisi gejala pasien mengarah pada sindrom Miller Fisher.

Kriteria diagnosa The Brighton ini mampu mendiagnosa penyakit sindrom Guillain-Barre serta jenis-jenis kondisi lainnya, termasuk sindrom Miller Fisher.

Pada kriteria The Brighton, terdapat sistem skor atau penilaian yang didasarkan pada sejumlah faktor, yaitu [2] :

  • Turun atau hilangnya refleks tendon dalam ekstremitas distal.
  • Kelemahan tungkai (dialami oleh 100% pasien sindrom Miller Fisher).
  • Turun atau hilangnya refleks tendon dalam pada tungkai yang lemah (dialami oleh 91% pasien sindrom Miller Fisher).
  • Waktu dan jarak monofasik antara onset dan nadir adalah 12 jam hingga 28 hari (dialami oleh 97% pasien sindrom Miller Fisher).
  • Kadar konsentrasi protein cairan serebrospinal (cairan sumsum tulang) lebih besar dari normalnya (dialami oleh 49% pasien di awal gejala dan meningkat menjadi 88% dalam 3 minggu).
  • Jumlah sel cairan serebrospinal berada di bawah 50/mikroliter (dialami oleh 100% pasien sindrom Miller Fisher).
  • Kurang atau tidak adanya alternatif diagnosa untuk kelemahan otot yang dialami oleh pasien.
  • Hasil studi konduksi saraf konsisten dengan 1 dari subtipe sindrom Guillain-Barre (dialami oleh 99% pasien sindrom Miller Fisher).

Kisaran kriteria The Brighton adalah dari level 1 hingga level 4 di mana level 1 merupakan level kepastian diagnostik paling tinggi [2].

Tinjauan
Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes darah dan pungsi lumbal merupakan serangkaian metode diagnosa yang perlu ditempuh pasien.

Pengobatan Sindrom Miller Fisher

Beberapa jenis obat biasanya diresepkan oleh dokter untuk menangani gejala sindrom Miller Fisher sesuai dengan kondisi kesehatan menyeluruh pasien dan gejala yang dialami.

  • Plasmaferesis

Pada prosedur plasmaferesis, dokter akan mengambil sel-sel darah merah maupun putih dari plasma darah [1,2,3,4,5,8].

Sel-sel darah yang telah diangkat tadi kemudian akan dokter perkenalkan kembali kepada tubuh pasien namun tanpa plasma darah.

Prosedur ini biasanya tergolong efektif, terutama bila diterapkan bersama dengan pemberian imunoglobulin intravena.

  • Imunoglobulin Intravena

Imunoglobulin intravena adalah bentuk penanganan yang biasanya dokter berikan bersama dengan plasmaferesis [2,3,4,5,7,9].

Keduanya memiliki efektivitas tinggi dalam mengatasi sindrom Guillain-Barre dan jenis-jenis kondisinya.

Bahkan untuk kondisi sindrom Miller Fisher yang tergolong parah, imunoglobulin intravena adalah penanganan yang efektif.

Bila pasien memiliki gejala sulit menelan dan juga gangguan pernapasan, maka biasanya obat ini dapat diresepkan.

  • Terapi Fisik

Terapi fisik juga kemungkinan merupakan penanganan yang diperlukan oleh pasien untuk mengembalikan kekuatan otot [1,2,7].

Melalui terapi fisik, pasien akan memiliki kekuatan otot seperti normal sehingga dokter akan merekomendasikan perawatan ini untuk dipertimbangkan.

Tinjauan
Pengobatan utama untuk kasus sindrom Miller Fisher antara lain adalah plasmaferesis, imunoglobulin, dan terapi fisik.

Komplikasi Sindrom Miller Fisher

Risiko komplikasi paling umum dengan kondisi dari yang ringan hingga berat pada kasus sindrom Miller Fisher antara lain adalah [1] :

  • Kelemahan tubuh.
  • Nyeri pada tubuh (sepertiga pasien sindrom Miller Fisher merasakan nyeri selama kurang lebih 1 tahun usai terjadinya onset).
  • Emboli paru.
  • Pneumonia
  • Sepsis
  • Perdarahan pada pencernaan.
  • Ileus
  • Aritimia
  • Kelelahan otot pernapasan.
  • Kesulitan berjalan selama 6 bulan atau lebih setelah onset gejala.
  • Penyakit psikiatrik kronik (seperti stres atau depresi) karena ketidakmampuan beraktivitas secara normal dan rasa sakit yang diderita cukup lama.

Pencegahan Sindrom Miller Fisher

Tidak terdapat cara pasti dalam mencegah sindrom Miller Fisher, namun untuk mencegah infeksi virus beberapa upaya berikut dapat dilakukan [10] :

  • Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar.
  • Menghindari aktivitas seksual dengan berbeda-beda pasangan.
  • Mencuci tangan dengan teratur, terutama usai penggunaan toilet, sebelum mengolah makanan, dan sebelum makan.
  • Jika terdapat luka terbuka, pastikan untuk membersihkan dan menutupnya dengan benar.
  • Tidak menyentuh luka, khususnya bila tangan tidak dalam kondisi bersih.
  • Tidak berbagi penggunaan alat makan, alat mandi, dan alat-alat pribadi.

Untuk meminimalisir risiko komplikasi, pastikan pemeriksaan dan pengobatannya dilakukan sedini mungkin, yaitu saat gejala awal timbul.

Tinjauan
Agar terhindar dari infeksi virus, penting untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menjaga asupan makanan bergizi seimbang, dan menjaga agar luka bersih serta tertutup rapat.

1. Sumera Bukhari & Javier Taboada. A Case of Miller Fisher Syndrome and Literature Review. Cureus; 2017.
2. Franklyn Rocha Cabrero & Elizabeth H. Morrison. Miller Fisher Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2020.
3. Theresia. Laporan Kasus Penanganan Sindrom Guillain-Barre dengan Terapi Plasmaferesis. Open Journal Systems Universitas Pelita Harapan; 2017.
4. Suresh Kumar Gupta, Kunal Kishor Jha, Mhd Diaa Chalati, & Losan Tareq Alashi. Miller Fisher syndrome. British Medical Journal; 2016.
5. Ilya V Yepishin, DO, Randall Z Allison, MSIV, David A Kaminskas, MD, Natalia M Zagorski, MD, & Kore K Liow, MD. Miller Fisher Syndrome: A Case Report Highlighting Heterogeneity of Clinical Features and Focused Differential Diagnosis. Hawai'i Journal of Medicine & Public Health.
6. Zsolt Illes & Morten Blaabjerg. Cerebrospinal fluid findings in Guillain-Barré syndrome and chronic inflammatory demyelinating polyneuropathies. Handbook of Clinical Neurology; 2017.
7. Nicholas Simatos Arsenault, BSc, Pierre-Olivier Vincent, BSc, Bai He Shen Yu, BSc, Robin Bastien, BSc, Aaron Sweeney, BSc; & Sylvia Zhu, BSc. Influence of Exercise on Patients with Guillain-Barré Syndrome: A Systematic Review. Physiotherapy Canada; 2016.
8. D N Maisey & S A Olczak. Successful plasmapheresis in the Miller-Fisher syndrome. The British Medical Journal; 1981.
9. Masahiro Mori, Satoshi Kuwabara, Toshio Fukutake, & Takamichi Hattori. Intravenous immunoglobulin therapy for Miller Fisher syndrome. Neurology; 2007.
10. Beverly Merz. How to prevent infections. Harvard Health Publishing - Harvard Medical School; 2020.

Share