Daftar isi
Sindrom Miller Fisher adalah jenis penyakit autoimun yang berkaitan dengan saraf dan termasuk pula dalam jenis sindrom Guillain-Barre di mana kelumpuhan terjadi pada mata [1,2,3,4,5].
Meski memiliki kemiripan, sindrom Miller Fisher dan sindrom Guillain-Barre adalah dua kondisi berbeda di mana kondisi sindrom Guillain-Barre juga lebih parah dari sindrom Miller Fisher.
Berawal dari kondisi mata yang terganggu, kondisi sindrom Miller Fisher dapat berkembang hingga mengganggu keseimbangan serta koordinasi tubuh.
Tinjauan Sindrom Miller Fisher merupakan jenis penyakit autoimun yang juga merupakan jenis sindrom Guillain-Barre di mana kelumpuhan dan kelemahan otot mata menjadi tanda utamanya.
Penyebab Sindrom Miller Fisher diketahui karena infeksi virus.
Pada dasarnya, sindrom Miller Fisher dan sindrom Guillain-Barre adalah dua kondisi yang terjadi akibat respon autoimun akut yang menyimpang terhadap infeksi Cytomegalovirus, Mycoplasma pneumoniae, HIV (immunodeficiency virus), Epstein-Barr virus, Haemophilus influenzae maupun Campylobacter jejuni [1,2,3].
Setiap tubuh manusia akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi, namun pada kasus sindrom Miller Fisher terjadi perbedaan.
Peneliti menemukan bahwa antibodi tersebut justru menjadi penyebab rusaknya selubung myelin lapisan saraf perifer.
Saraf perifer sendiri memiliki fungsi utama sebagai penghubung sistem saraf pusat ke organ indera.
Telinga dan mata dapat bekerja dengan baik karena adanya sistem saraf perifer [4].
Namun saraf pusat tidak hanya terhubung ke organ mata dan telinga saja, tapi juga kelenjar, pembuluh darah dan otot oleh saraf perifer.
Saat myelin mengalami kerusakan, sinyal sensorik yang seharusnya dikirim oleh saraf ke otot dan bagian tubuh lainnya yang ingin digerakkan menjadi tidak bisa.
Pada sindrom Miller Fisher, kelemahan utama adalah pada otot [1,2,3,4].
Meski demikian, orang-orang yang terkena infeksi virus tidak lantas kemudian pasti mengalami sindrom ini.
Siapa saja dapat menderita penyakit sindrom Miller Fisher walaupun penyakit ini tergolong langka.
Hanya saja, tingkat kerentanan orang-orang dengan faktor dan kondisi sebagai berikut memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom Miller Fisher [1,2,3,4].
Tinjauan Sindrom Miller Fisher disebabkan oleh infeksi virus, terutama mikroba dan virus Cytomegalovirus, Mycoplasma pneumoniae, HIV (immunodeficiency virus), Epstein-Barr virus, Haemophilus influenzae maupun Campylobacter jejuni. Sementara itu, faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor ras, dan faktor tindakan medis tertentu mampu menjadi peningkat risiko sindrom ini.
Sindrom Miller Fisher dapat menimbulkan sejumlah gejala di mana umumnya gejala-gejala ini timbul sekitar 1-4 minggu usai terinfeksi virus [1,2,4].
Sindrom Miller Fisher dalam menyebabkan gejala lebih cepat daripada penyakit saraf lainnya seperti ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), Parkinson dan Alzheimer dan faktor ini menjadi pembeda utama dari penyakit-penyakit saraf tersebut.
Beberapa gejala yang dimaksud antara lain adalah [1,2,3,4] :
Ketika gejala awal sindrom Miller Fisher mulai dialami dan terasa cukup mengganggu, pastikan untuk segera ke dokter untuk memeriksakannya.
Beberapa metode diagnosa yang umumnya digunakan oleh dokter untuk mengonfirmasi kondisi sindrom Miller Fisher pada pasien antara lain adalah :
Pemeriksaan fisik menjadi metode pemeriksaan pertama yang dokter lakukan untuk mengecek apa saja gejala fisik yang pasien keluhkan [1,2,5].
Selain pemeriksaan fisik, dokter juga umumnya akan memberikan pertanyaan seputar riwayat medis pasien dan juga keluarga pasien.
Dokter perlu tahu kapan gejala-gejala yang dirasakan tersebut timbul.
Dokter juga perlu tahu apakah pasien mengalami sakit beberapa minggu sebelum onset gejala timbul dan seberapa cepat kelemahan otot dirasakan.
Beberapa pertanyaan dan pemeriksaan yang dilakukan bertujuan utama untuk membedakan sindrom Miller Fisher dari sindrom Guillain-Barre.
Bila dari hasil pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan kecurigaan dokter terhadap sindrom Miller Fisher semakin kuat, dokter akan menganjurkan pasien menempuh pemeriksaan penunjang.
Pungsi lumbal atau spinal tap adalah metode diagnosa berikutnya yang perlu dijalani pasien [1,2,6].
Pada prosedur ini, dokter memasukkan jarum ke punggung bagian bawah pasien agar dapat mengambil sampel cairan sumsum tulang.
Tanda utama bahwa pasien mengalami sindrom Miller Fisher adalah kadar protein yang meningkat pada cairan sumsum tulangnya.
Tes darah juga akan direkomendasikan oleh dokter guna mencari antibodi pasien [1,2].
Antibodi merupakan protein yang tubuh hasilkan agar sistem kekebalan tubuh dapat menggunakannya dalam melawan infeksi.
Bila melalui pemeriksaan darah mampu menemukan antibodi pasien, dokter akan lebih mudah dalam menegakkan diagnosa.
Dokter ahli saraf dapat menggunakan kriteria The Brighton sebagai panduan dalam memastikan bahwa kondisi gejala pasien mengarah pada sindrom Miller Fisher.
Kriteria diagnosa The Brighton ini mampu mendiagnosa penyakit sindrom Guillain-Barre serta jenis-jenis kondisi lainnya, termasuk sindrom Miller Fisher.
Pada kriteria The Brighton, terdapat sistem skor atau penilaian yang didasarkan pada sejumlah faktor, yaitu [2] :
Kisaran kriteria The Brighton adalah dari level 1 hingga level 4 di mana level 1 merupakan level kepastian diagnostik paling tinggi [2].
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes darah dan pungsi lumbal merupakan serangkaian metode diagnosa yang perlu ditempuh pasien.
Beberapa jenis obat biasanya diresepkan oleh dokter untuk menangani gejala sindrom Miller Fisher sesuai dengan kondisi kesehatan menyeluruh pasien dan gejala yang dialami.
Pada prosedur plasmaferesis, dokter akan mengambil sel-sel darah merah maupun putih dari plasma darah [1,2,3,4,5,8].
Sel-sel darah yang telah diangkat tadi kemudian akan dokter perkenalkan kembali kepada tubuh pasien namun tanpa plasma darah.
Prosedur ini biasanya tergolong efektif, terutama bila diterapkan bersama dengan pemberian imunoglobulin intravena.
Imunoglobulin intravena adalah bentuk penanganan yang biasanya dokter berikan bersama dengan plasmaferesis [2,3,4,5,7,9].
Keduanya memiliki efektivitas tinggi dalam mengatasi sindrom Guillain-Barre dan jenis-jenis kondisinya.
Bahkan untuk kondisi sindrom Miller Fisher yang tergolong parah, imunoglobulin intravena adalah penanganan yang efektif.
Bila pasien memiliki gejala sulit menelan dan juga gangguan pernapasan, maka biasanya obat ini dapat diresepkan.
Terapi fisik juga kemungkinan merupakan penanganan yang diperlukan oleh pasien untuk mengembalikan kekuatan otot [1,2,7].
Melalui terapi fisik, pasien akan memiliki kekuatan otot seperti normal sehingga dokter akan merekomendasikan perawatan ini untuk dipertimbangkan.
Tinjauan Pengobatan utama untuk kasus sindrom Miller Fisher antara lain adalah plasmaferesis, imunoglobulin, dan terapi fisik.
Risiko komplikasi paling umum dengan kondisi dari yang ringan hingga berat pada kasus sindrom Miller Fisher antara lain adalah [1] :
Tidak terdapat cara pasti dalam mencegah sindrom Miller Fisher, namun untuk mencegah infeksi virus beberapa upaya berikut dapat dilakukan [10] :
Untuk meminimalisir risiko komplikasi, pastikan pemeriksaan dan pengobatannya dilakukan sedini mungkin, yaitu saat gejala awal timbul.
Tinjauan Agar terhindar dari infeksi virus, penting untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menjaga asupan makanan bergizi seimbang, dan menjaga agar luka bersih serta tertutup rapat.
1. Sumera Bukhari & Javier Taboada. A Case of Miller Fisher Syndrome and Literature Review. Cureus; 2017.
2. Franklyn Rocha Cabrero & Elizabeth H. Morrison. Miller Fisher Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2020.
3. Theresia. Laporan Kasus Penanganan Sindrom Guillain-Barre dengan Terapi Plasmaferesis. Open Journal Systems Universitas Pelita Harapan; 2017.
4. Suresh Kumar Gupta, Kunal Kishor Jha, Mhd Diaa Chalati, & Losan Tareq Alashi. Miller Fisher syndrome. British Medical Journal; 2016.
5. Ilya V Yepishin, DO, Randall Z Allison, MSIV, David A Kaminskas, MD, Natalia M Zagorski, MD, & Kore K Liow, MD. Miller Fisher Syndrome: A Case Report Highlighting Heterogeneity of Clinical Features and Focused Differential Diagnosis. Hawai'i Journal of Medicine & Public Health.
6. Zsolt Illes & Morten Blaabjerg. Cerebrospinal fluid findings in Guillain-Barré syndrome and chronic inflammatory demyelinating polyneuropathies. Handbook of Clinical Neurology; 2017.
7. Nicholas Simatos Arsenault, BSc, Pierre-Olivier Vincent, BSc, Bai He Shen Yu, BSc, Robin Bastien, BSc, Aaron Sweeney, BSc; & Sylvia Zhu, BSc. Influence of Exercise on Patients with Guillain-Barré Syndrome: A Systematic Review. Physiotherapy Canada; 2016.
8. D N Maisey & S A Olczak. Successful plasmapheresis in the Miller-Fisher syndrome. The British Medical Journal; 1981.
9. Masahiro Mori, Satoshi Kuwabara, Toshio Fukutake, & Takamichi Hattori. Intravenous immunoglobulin therapy for Miller Fisher syndrome. Neurology; 2007.
10. Beverly Merz. How to prevent infections. Harvard Health Publishing - Harvard Medical School; 2020.