Daftar isi
Amathophobia adalah salah satu jenis fobia spesifik di mana seseorang merasakan ketakutan dan kecemasan berlebih, persisten dan irasional terhadap debu [1,2,3].
Amathophobia sendiri merupakan kata yang berasal dari Yunani, yakni amathos yang memiliki makna pasir dan phobos yang memiliki makna takut [1].
Orang-orang yang merupakan penderita amathophobia akan menghindari sebisa mungkin berada di situasi atau berhadapan dengan debu [1,2,3].
Debu membuat penderita amathophobia merasakan kecemasan dan kepanikan ekstrem [1,2,3].
Seringkali kondisi ini kemudian dikaitkan dengan germophobia atau mysophobia, yakni kondisi ketakutan ekstrem terhadap kotoran, kuman atau kontaminasi meskipun keduanya adalah fobia berbeda [1,2,3].
Seperti pada kasus fobia spesifik lainnya, belum diketahui secara pasti faktor penyebab seseorang mengalami kondisi ini.
Meski demikian, terdapat beberapa faktor internal maupun eksternal yang diyakini meningkatkan risiko fobia spesifik pada diri seseorang.
Seseorang yang memiliki anggota keluarga dengan kondisi amatophobia atau fobia spesifik lainnya berisiko lebih tinggi mengalami jenis fobia yang sama atau berbeda [1,2,4,5].
Selain itu, anggota keluarga (orang tua atau saudara kandung) yang memiliki riwayat gangguan kesehatan mental seperti gangguan kecemasan hingga depresi juga dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi serupa [1,2,4,5].
Pengalaman menyakitkan, mengerikan dan traumatis lainnya yang berhubungan dengan debu atau pasir bisa menyebabkan berkembangnya amathophobia [1,2,4,5].
Salah satu contoh pengalaman traumatis yang bisa membuat seseorang begitu takut terhadap debu adalah ketika pernah mengalami kecelakaan atau terjebak di sebuah badai pasir sehingga tak bisa berbuat apapun [1].
Faktor pengalaman tidak menyenangkan milik orang lain pun berpotensi turut menjadikan seseorang mengidap amathophobia [1].
Mendengar atau melihat berita di mana orang lain terjebak dalam badai pasir berisiko memicu amathophobia [1].
Seseorang dengan kondisi medis seperti alergi debu bisa memicu berkembangnya kondisi amathophobia [1].
Hal ini juga bisa dianggap sebagai faktor pengalaman traumatis apabila penderita alergi menghirup debu yang kemudian membuat gejala alergi terjadi begitu parah [1].
Kondisi ini menjadi alasan mengapa seseorang bisa sangat menghindari tempat dan situasi berdebu [1].
Pada beberapa kasus, amathophobia dikaitkan dengan fobia spesifik lainnya, seperti halnya ancraophobia (ketakutan ekstrem terhadap angin) [6].
Paparan angin tentunya juga menyebarkan debu, bisa dalam kadar kecil maupun kadar besar [6].
Oleh sebab itu, seseorang yang takut terhadap angin bisa juga takut terhadap debu, begitupun sebaliknya [1,6].
Germophobia atau mysophobia adalah istilah untuk kondisi fobia atau ketakutan ekstrem seseorang terhadap kuman [7].
Penderita fobia terhadap kuman akan menghindari berbagai macam situasi yang meningkatkan risiko paparan terhadap kuman, salah satunya adalah debu [1,7].
Oleh sebab itu, pada sejumlah penderita amathophobia, ada kemungkinan mysophobia/germophobia adalah alasan dibalik kondisi tersebut [1,7].
Gangguan obsesif kompulsif atau dikenal juga dengan istilah OCD (Obessive Compulsive Disorder) merupakan jenis gangguan mental yang ditandai dengan tindakan tertentu berulang kali [8].
Seseorang dengan kondisi OCD ini seringkali melakukan tindakan berulang-ulang tersebut supaya tingkat kecemasan dalam dirinya bisa berkurang [8].
Pada penderita OCD, gejala obsesif yang bisa dialami antara lain adalah tidak menyentuh benda yang ia tidak yakin bersih atau tidak karena takut tertular penyakit [8].
Gejala lain untuk kasus demikian adalah penderita OCD biasanya enggan bersalaman [8].
Sementara itu, gejala perilaku kompulsif yang menunjukkan kondisi OCD adalah mencuci tangan atau mandi berulang kali, bahkan tak jarang sampai kulit lecet [8].
Oleh karena itu, seseorang yang takut terhadap debu secara berlebihan sering juga dikaitkan dengan OCD [1,8].
Ketika seseorang takut tertular penyakit secara berlebihan, maka ia akan menghindari situasi yang berpotensi mengandung kuman, salah satunya adalah debu [1,8].
Gejala pada penderita amathophobia sama seperti fobia jenis lainnya, yakni meliputi gejala psikis, emosional dan fisik sebagai berikut [1,2,3,4,5].
Jika sekitar 3 sampai 5 gejala atau lebih terjadi setiap berada di situasi yang berhubungan dengan debu, segera periksakan diri ke dokter untuk memastikan apakah gejala benar-benar mengarah pada amathophobia [1].
Untuk memastikan bahwa gejala yang pasien alami merupakan kondisi fobia, khususnya amathophobia, evaluasi psikologis adalah pemeriksaan utama [1,2,4,5].
Panduan kriteria diagnostik DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) digunakan untuk menentukan kondisi pasien [9].
Jika pasien dengan gejala mengarah pada amathophobia memenuhi kriteria DSM-5 ini, maka biasanya dapat segera menempuh perawatan [9].
Supaya dapat menentukan penanganan terbaik, terapis akan meminta pasien juga untuk melakukan beberapa hal seperti berikut [10] :
Untuk fobia spesifik, termasuk pada kasus amathophobia, penanganan yang diberikan meliputi psikoterapi, obat-obatan, kombinasi psikoterapi dan obat-obatan, hingga perubahan gaya hidup seperti berikut.
Terapi perilaku kognitif adalah jenis terapi yang paling umum digunakan terapis untuk membantu pasien pulih dari stres, fobia, gangguan kecemasan dan masalah mental lainnya [1,2,11].
Terapis dalam prosedur terapi ini akan mendampingi dan melatih pasien untuk mengganti pikiran-pikiran irasional yang negatif dengan pikiran rasional dan positif [1,2,11].
Dengan memiliki pemikiran yang lebih positif, pasien diharapkan mampu mengendalikan rasa takut terhadap debu secara bertahap [1,2,11].
Pada prosedur terapi ini, pasien akan belajar untuk menganalisa dan memahami apa yang mereka rasakan setiap berhadapan dengan situasi yang berkaitan dengan debu [1].
Setelah menemukan akar penyebab pasien merasakan ketakutan, kepanikan dan kecemasan berlebih terhadap debu, terapis akan membantu mengubah cara pikir sekaligus reaksi pasien [1,2,11].
Terapi perilaku dialektika adalah bentuk psikoterapi selain terapi perilaku kognitif yang menggabungkan antara terapi kognitif, terapi sikap, dan pusat perhatian [1,2,12].
Melalui proses terapi ini, pasien dapat dibantu oleh terapis agar mampu menerima kenyataan dan situasi dalam kehidupannya [1,2,12].
Hal ini termasuk kemampuan dalam menghadapi situasi nyata ketika pasien harus berhadapan dengan hal-hal yang berkaitan dengan debu [1].
Terapis membantu pasien untuk mengubah reaksi, sikap, perilaku dan hidup yang semula negatif menjadi lebih positif [1,2,12].
Terapi psikologis lainnya yang juga sama umumnya dengan terapi perilaku kognitif adalah terapi eksposur [1,2,13].
Dalam terapi ini, pasien akan dilatih secara perlahan (dengan porsi secukupnya) oleh terapis profesional untuk menghadapi sumber ketakutannya [1,2,13].
Pasien yang dilatih menghadapi situasi yang berhubungan dengan debu akan meningkatkan kemampuan dirinya dalam mengendalikan rasa takut [1,2,13].
Terapi ini biasanya melibatkan foto, video, dan imajinasi lebih dulu sebelum terapis membawa pasien kepada situasi nyata penyebab ketakutannya [13].
Diharapkan pasien mampu mengurangi tingkat kecemasan sekaligus memiliki pemikiran lebih positif terhadap sumber ketakutannya semula [1,2,13].
Pemberian obat-obatan juga akan dilakukan dengan mengombinasikannya bersama terapi psikologis yang sedang pasien jalani [1,2,4,5].
Tujuan pemberian obat, khususnya obat anticemas dan antidepresan adalah untuk mengurangi gejala yang pasien alami [1,2].
Namun, obat-obatan tersebut tidak untuk penggunaan atau konsumsi jangka panjang sekalipun memberikan efektivitas yang cukup cepat sebagai pereda gejala [2].
Perubahan pola hidup dibutuhkan oleh setiap pasien fobia spesifik, tak terkecuali dalam kasus amathophobia [1,2].
Memenuhi tubuh dengan asupan nutrisi lengkap dan cukup sangat penting untuk pemulihan fisik maupun mental pasien [1,2].
Selain itu, berolahraga setidaknya seminggu 3 kali juga mampu menjadi cara mengelola stres yang tepat dan mengendalikan kecemasan berlebih [14].
Bermeditasi, latihan Yoga, dan latihan pernafasan juga merupakan hal-hal yang bisa dijadikan kebiasaan baru menyehatkan bagi fisik maupun mental [15].
Hindari asupan kafein berlebih karena kafein sangat berpotensi meningkatkan risiko kecemasan, serta tekanan darah tinggi hingga detak jantung cepat [16].
Amathophobia termasuk jenis fobia yang jika tidak mendapat penanganan segera mampu memperburuk gejala seiring berjalannya waktu.
Ketika penderita semakin menghindari debu, penderita akan semakin menghindari untuk bepergian dan mengisolasi diri.
Hal ini akan memengaruhi kualitas hidup penderita secara menyeluruh seiring terus berkembangnya gejala menjadi depresi [17].
Ketika tak mendapatkan pendampingan dan terapi segera, penderita berisiko memiliki keinginan untuk bunuh diri saat gangguan kecemasan dan depresi yang dirasakan semakin berat karena penarikan diri tersebut [18].
Belum diketahui cara mencegah supaya fobia sama sekali tidak terjadi, termasuk amathophobia.
Namun setidaknya, pencegahan risiko komplikasi dapat dilakukan dengan memeriksakan diri saat timbul gejala awal amathophobia.
Pemeriksaan sekaligus pnanganan secepatnya akan menurunkan risiko komplikasi (hasil dari perkembangan gejala yang memburuk).
1. OptimistMinds. What is Amathophobia? (An Overview). OptimistMinds; 2022.
2. Psych Times. Amathophobia (Fear of Dust). Psych Times; 2022.
3. Tara Barnett. How Common is a Fear of Dust?. Wisegeek; 2022.
4. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
5. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. Lancet Psychiatry; 2020.
6. Psych Times. Ancraophobia (Fear of Wind). Psych Times; 2022.
7. Cleveland Clinic medical professional. Mysophobia (Germophobia). Cleveland Clinic; 2022.
8. Hannah Brock & Manassa Hany. Obsessive-Compulsive Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2022.
9. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed. Washington, DC; 2013.
10. Lisa Fritscher & Daniel B. Block, MD. DSM-5 Diagnostic Criteria for a Specific Phobia. Verywell Mind; 2021.
11. Suma P. Chand; Daniel P. Kuckel; & Martin R. Huecker. Cognitive Behavior Therapy. National Center for Biotechnology Information; 2021.
12. Alexander L. Chapman, PhD. Dialectical Behavior Therapy. Psychiatry (Edgmont); 2006.
13. David Sars & Agnes van Minnen. On the use of exposure therapy in the treatment of anxiety disorders: a survey among cognitive behavioural therapists in the Netherlands. BMC Psychology; 2015.
14. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BMC Health Services Research; 2018.
15. Josefien J. F. Breedvelt, Yagmur Amanvermez, Mathias Harrer, Eirini Karyotaki, Simon Gilbody, Claudi L. H. Bockting, Pim Cuijpers, & David D. Ebert. The Effects of Meditation, Yoga, and Mindfulness on Depression, Anxiety, and Stress in Tertiary Education Students: A Meta-Analysis. Frontiers in Psychiatry; 2019.
16. Gareth Richards & Andrew Smith. Caffeine consumption and self-assessed stress, anxiety, and depression in secondary school children. Journal of Psychopharmacology; 2015.
17. Chandan K. Samra & Sara Abdijadid. Specific Phobia. National Center for Biotechnology Information; 2021.
18. Josh Nepon, MD, Shay-Lee Belik, Msc, James Bolton, MD FRCPC, & Jitender Sareen, MD FRCPC. The Relationship Between Anxiety Disorders and Suicide Attempts: Findings from the National Epidemiologic Survey on Alcohol and Related Conditions. Depression and Anxiety; 2011.