Daftar isi
Babesiosis merupakan sebuah jenis penyakit infeksi di mana kutu adalah penyebab utamanya [1,2,4,5,6,7,10,11].
Kutu yang berbahaya dan mampu menjadi penyebab babesiosis adalah kutu yang membawa organisme bernama Babesia.
Parasit ini adalah yang menginfeksi sel darah merah lalu menghancurkannya sehingga penderita mampu mengalami anemia hemolitik [2,5,6].
Anemia hemolitik sendiri adalah kondisi kekurangan darah karena proses hancurnya sel-sel darah merah lebih cepat daripada pembentukannya.
Anemia hemolitik ini biasanya ditandai dengan warna urine yang berubah menjadi lebih gelap serta timbulnya kondisi jaundice (kulit dan bagian bola mata putih menguning) [2,5,6].
Tinjauan Babesiosis adalah jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh spesies parasit Babesia yang dibawa oleh kutu.
Babesia microti adalah jenis parasit kecil yang mampu menyebabkan kondisi babesiosis [1,2].
Sedangkan untuk kutu yang membawa parasit tersebut, kutu itu biasanya adalah Ixodes scapularis.
Ukuran kutu tersebut sangat kecil, perumpamaan ukurannya adalah sebesar biji opium sehingga seseorang tak akan sadar atau bahkan ingat telah digigit oleh kutu tersebut.
Selain Babesia microti, ada pula bakteri Borrelia burgdorferi, yaitu jenis mikroorganisme yang biasanya dibawa oleh kutu yang sama [1].
Hanya saja, kedua mikroorganisme tersebut mampu menjadi penyebab utama timbulnya penyakit Lyme [1,4].
Infeksi tak selalu terjadi langsung karena gigitan kutu, tapi juga dapat terjadi melalui prosedur transfusi darah di mana di dalamnya terkandung parasit.
Terdapat sejumlah faktor yang mampu meningkatkan risiko seseorang dalam mengalami babesiosis, yaitu [1,2,5,6,7] :
Tinjauan - Babesia microti adalah jenis mikroorganisme penyebab infeksi babesiosis yang umumnya dibawa oleh kutu bernama Ixodes scapularis. - Beberapa faktor seperti tinggal di beberapa negara bagian di Amerika serta Eropa, faktor kehamilan, prosedur transfusi darah, hingga faktor musim panas dapat meningkatkan risiko babesiosis.
Gejala yang ditimbulkan babesiosis pada dasarnya tak terlalu nampak biasanya.
Jika seseorang mengalami gejala, biasanya gejala tersebut tergolong umum, seperti demam dan flu biasa.
Bila daya tahan tubuh baik, barulah tidak mengalami keluhan apapun.
Hanya saja, penting untuk tetap mengenali berbagai kemungkinan gejala utama dan tanda umum dari kondisi babesiosis, seperti [1,2,5,6,8] :
Pada kasus yang lebih serius, gejala dapat memburuk dan keluhan-keluhan di bawah ini dapat dialami oleh penderita (lebih kepada keluhan karena timbul anemia hemolitik) [1,2,5,6,9,10,11] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Apabila gejala-gejala yang telah disebutkan mulai timbul, pastikan untuk memeriksakan diri segera ke dokter.
Jika memiliki riwayat bepergian atau berwisata ke suatu daerah, pastikan untuk menginformasikan dokter mengenai hal tersebut.
Ada kemungkinan gejala-gejala tersebut timbul sebagai akibat dari infeksi gigitan kutu yang tidak disadari saat berkunjung ke wilayah tertentu tersebut.
Tinjauan - Gejala umum babesiosis meliputi badan meriang, demam, tubuh lebih cepat lelah, nyeri sendi dan otot, tubuh mengeluarkan keringat lebih banyak, nafsu makan menurun dan sakit kepala. - Gejala yang menandakan bahwa kondisi babesiosis sudah cukup buruk meliputi jaundice, pembengkakan limpa, pembengkakan hati, ruam yang semakin luas, urine berwarna gelap, kulit memucat, detak jantung lebih cepat, pusing, linglung, dan bising jantung.
Gejala yang timbul perlu segera dikonsultasikan dengan dokter.
Biasanya, beberapa metode pemeriksaan di bawah ini digunakan oleh dokter untuk memastikan kondisi pasien benar-benar mengarah pada babesiosis.
Dokter biasanya akan mengawali diagnosa dengan mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai riwayat kesehatan pasien [1,5,6,8,11].
Penyakit apa saja yang pernah atau sedang diderita, baru saja berkunjung atau bepergian ke mana, serta sejak kapan timbul keluhan yang mengarah pada babesiosis.
Selain pemeriksaan riwayat kesehatan, riwayat bepergian dan riwayat gejala, dokter perlu tahu kondisi fisik pasien [1,5,6,8,11].
Dokter dalam hal ini akan memeriksa detak jantung dan suhu tubuh pasien.
Dokter juga akan mengidentifikasi adanya gejala-gejala khusus yang memang menunjukkan tanda infeksi Babesia yang menyebabkan babesiosis.
Tes darah dan antibodi akan direkomendasikan oleh dokter sebagai tes penunjang lainnya [1,5,6,11].
Biasanya, pemeriksaan ini menjadi penting apabila dokter ingin mengetahui keberadaan parasit Babesia dalam darah pasien.
Tes darah akan mendeteksi ada tidaknya parasit tersebut sehingga penanganan dapat diberikan sesuai dengan hasil pemeriksaan.
Tes PCR adalah salah satu metode pemeriksaan antibodi yang diperlukan agar dokter dapat menegakkan diagnosa pasien.
Tinjauan Metode diagnosa untuk memastikan kondisi babesiosis yang umumnya diterapkan oleh dokter adalah pemeriksaan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, tes darah dan PCR.
Babesiosis dengan kondisi tanpa gejala atau yang tergolong ringan tak perlu mendapatkan penanganan khusus.
Babesiosis tanpa gejala biasanya dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tak memerlukan bantuan medis.
Hanya saja ketika keluhan pasien tergolong berat, beberapa metode pengobatan seperti pemberian resep obat dan metode transfusi darah akan dilakukan oleh dokter tergantu kebutuhan kondisi pasien.
Atovaquone adalah jenis obat pembasmi mikroorganisme penyebab babesiosis yang umumnya diresepkan oleh dokter [1,2,4,5,6,8,10,11]
Namun tak hanya satu, dokter dapat mengombinasikannya bersama dengan azithromycin, sejenis antibiotik.
Kombinasi obat lainnya yang dokter kemungkinan resepkan adalah clindamycin (antibiotik) dengan quinine.
Kombinasi obat lainnya yang kemungkinan dokter resepkan adalah atovaquone dengan antibiotik doxycycline dan azithromycin [1].
Pada beberapa kasus lain, dokter dapat mengombinasikan atovaquone dengan doxycycline dan clindamycin.
Atau, dokter memberikan kombinasi atovaquone dengan clindamycin dan azithromycin.
Pemberian obat-obatan tak terlalu efektif bagi pasien babesiosis yang telah menempuh operasi pengangkatan limpa [1,2,10].
Oleh karena itu, pasien babesiosis yang sudah parah ini perlu diatasi dengan prosedur transfusi darah.
Namun untuk penanganan yang lebih tepat, pastikan konsultasikan dengan dokter karena tindakan medis harus disesuaikan dengan kondisi menyeluruh tubuh pasien.
Transfusi darah juga direkomendasikan oleh dokter bagi pasien babesiosis dengan risiko parasitemia sekitar 10% dan pasien penderita anemia dengan kadar hemoglobin (Hb) di bawah 10 g/dL [1].
Pasien-pasien babesiosis dengan kondisi disfungsi hati atau ginjal serta B. divergens pulmonal juga akan dianjurkan dokter untuk menempuh transfusi darah [1,2].
Tinjauan Penanganan babesiosis umumnya meliputi pemberian obat-obatan dan melalui transfusi darah (hanya untuk kondisi pasien tertentu, terutama bila pasien tak dapat menempuh terapi obat dan memiliki kondisi penyakit lain).
Babesiosis dapat berbahaya bagi penderitanya, sebab jika gejala tak segera memperoleh penanganan, beberapa risiko komplikasi di bawah ini perlu diwaspadai [1,12] :
Untuk menyebabkan infeksi dan kemudian menular, biasanya kutu penyebab babesiosis bertahan pada tubuh manusia selama 36-72 jam [1].
Supaya tubuh terhindar dari kutu, maka berikut ini adalah sejumlah upaya pencegahan yang bisa dilakukan sehingga risiko babesiosis pun dapat diminimalisir [1,2,5,6,13].
Tinjauan Agar tidak mudah terkena infeksi kutu, penting untuk melindungi diri saat berada di luar ruangan, khususnya di daerah yang memiliki banyak tanaman dan berpotensi terdapat banyak serangga.
1. Andrea J. Zimmer & Kari A. Simonsen. Babesiosis. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Rosalynn Louise Ord & Cheryl A. Lobo. Human Babesiosis: Pathogens, Prevalence, Diagnosis and Treatment. HHS Public Access; 2016.
3. Albert Umbu Ndjandji, Yusuf Ridwan & Umi Cahyaningsih. Prevalensi dan Faktor Risiko Babesiosis pada Anjing di Kecamatan Jampang Tengah Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Scientific Repository IPB University; 2017.
4. Mark Adler, Thein Swe, & Akari Thein Naing. Concurrent babesiosis and serological evidence of Lyme disease in a young patient. Journal of Community Hospital Internal Medicine Perspectives; 2017.
5. Edouard G. Vannier, PhD, Maria A. Diuk-Wasser, PhD, Choukri Ben Mamoun, PhD, & Peter J. Krause, MD. Babesiosis. HHS Public Access; 2016.
6. Edouard Vannier, PhD, Benjamin E. Gewurz, MD, PhD, & Peter J. Krause, MD. Human Babesiosis. HHS Public Access; 2014.
7. Maria A. Diuk-Wasser, Yuchen Liu, Tanner K. Steeves, Corrine Folsom-O’Keefe, Kenneth R. Dardick, Timothy Lepore, Stephen J. Bent, Sahar Usmani-Brown, Sam R. Telford, III, Durland Fish, & Peter J. Krause. Monitoring Human Babesiosis Emergence through Vector Surveillance New England, USA. Emerging Infectious Diseases; 2014.
8. Moamen Al Zoubi, Tommy Kwak,a Jeremy Patel, Mandavi Kulkarni, & Catherine A. Kallal. Atypical challenging and first case report of babesiosis in Ecuador. IDCases; 2016.
9. Peter C. Rowe, Rosemary A. Underhill, Kenneth J. Friedman, Alan Gurwitt, Marvin S. Medow, Malcolm S. Schwartz, Nigel Speight, Julian M. Stewart, Rosamund Vallings, & Katherine S. Rowe. Myalgic Encephalomyelitis/Chronic Fatigue Syndrome Diagnosis and Management in Young People: A Primer. Frontiers in Pediatrics; 2017.
10. Natalia Usatii, Aelita Khachatrian, & John Stratidis. Spontaneous splenic rupture due to Babesia microti infection: Case report and review of the literature. IDCases; 2014.
11. Subhash Chandra Parija, Dinoop KP, & Hrudya Venugopal. Diagnosis and management of human babesiosis. Tropical Parasitology; 2015.
12. Jeffrey C. Hatcher, Pietra D. Greenberg, Julie Antique, & Victor E. Jimenez-Lucho. Severe Babesiosis in Long Island: Review of 34 Cases and Their Complications. Clinical Infectious Diseases; 2001.
13. Anonim. Parasites - Babesiosis. Centers for Disease Control and Prevention; 2018.