Daftar isi
Dementophobia adalah jenis fobia spesifik di mana seseorang mengalami rasa takut menjadi gila atau kehilangan akal sehat secara berlebihan [1,2].
Dementophobia sendiri merupakan kata yang diambiil dari bahasa Yunani, yakni Dementos yang memiliki arti penyakit jiwa dan Phobos yang memiliki arti takut [2].
Penderita dementophobia akan mengalami rasa takut yang terlampau irasional akan menjadi gila atau tidak berada pada realita [1,2].
Tinjauan Dementophobia adalah kondisi ketakutan irasional dan berlebihan terhadap kehilangan akal dan penyakit mental.
Seperti pada fobia spesifik lainnya, tidak diketahui pasti penyebab dementophobia.
Namun, terdapat sejumlah faktor yang mampu meningkatkan risiko seseorang dalam mengembangkan kondisi dementophobia, yakni :
Riwayat keluarga dengan gangguan kesehatan mental, baik itu gangguan kecemasan maupun fobia spesifik dapat meningkatkan risiko anggota keluarga lainnya mengalami hal serupa [3,4].
Masyarakat pada masa lampau begitu keras terhadap orang-orang yang menderita penyakit jiwa atau gangguan mental [1,2,5,6].
Bahkan dapat dikatakan bahwa masyarakat begitu tak mau menerima orang-orang yang jiwanya terganggu dan dapat bersikap kejam terhadap mereka [1,2,5,6].
Pada awal abad ke-19 maupun ke-20, para pasien gangguan jiwa akan “dibuang” di tahanan khusus yang menjadi tempat penyiksaan bagi mereka sebagai solusi [1,2,5,6].
Seseorang yang pernah melihat sendiri anggota keluarga atau menontonnya melalui film ataupun berita dapat merasakan ketakutan berlebih yang kemudian mampu memicu “kegilaan” di dalam dirinya [1,2,5,6].
Pengalaman traumatis yang umumnya terjadi semasa kecil dapat menjadi salah satu pemicu seseorang mengalami ketakutan kehilangan akal sehat [2,3,4].
Peristiwa-peristiwa yang mampu membuat seseorang trauma diantaranya seperti pelecehan seksual, penyiksaan, pembunuhan dan situasi-situasi lainnya yang sangat memungkinkan memicu pada fobia penyakit jiwa [2,3,4].
Depresi berkepanjangan atau depresi berat mampu menjadi salah satu pemicu dementophobia, terutama jika hal ini disertai dengan mengidap penyakit serius tertentu [1,2].
Seperti halnya kasus Robin William yang mengalami depresi sekaligus menderita penyakit Parkinson dan pada akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri [2,7].
Depresi dan kehilangan akal sehat begitu berkaitan erat dengan dementophobia [2].
Beberapa orang mungkin tak begitu menyadari bahwa situasi stres berat apalagi berkepanjangan mampu menjadi salah satu pemicu berkembangnya rasa takut berlebih kehilangan akal [1,2].
Para penderita dementophobia akan merasa khawatir perilakunya berubah aneh selama menghadapi stres [1,2].
Mereka pun dapat takut mengatakan hal-hal yang terkesan gila dan ditertawakan maupun diremehkan oleh orang-orang di sekitar mereka [1,2].
Mereka pun takut stres akan membuat mereka kehilangan fokus atau mengalami penurunan daya konsentrasi [1,2].
Stigma Tentang Penyakit Mental
Berbagai pandangan negatif terhadap penyakit mental serta anggapan bahwa penderitanya kerasukan roh jahat menjadi salah satu hal yang membuat orang-orang sekalipun pada zaman modern akan takut masyarakat menganggapnya sakit jiwa [8].
Berada di bawah tekanan, apapun masalahnya, menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang takut kehilangan akal sehat karena pandangan negatif tersebut [8].
Tak hanya masyarakat yang akan mempermalukan, penderita penyakit mental pun biasanya akan kehilangan orang-orang terdekat (baik keluarga maupun teman) [8].
Tinjauan Dementophobia dapat dipicu oleh riwayat keluarga, pengalaman traumatis, depresi, stres berkepanjangan, sejarah maupun stigma masyarakat mengenai penyakit mental.
Ketika seseorang mengalami dementophobia, berikut ini adalah sejumlah gejala yang paling utama dan umum terjadi [1,2] :
Tinjauan Gejala yang timbul pada penderita dementophobia meliputi gejala fisik, psikologis serta perilaku yang terus-menerus menghindari situasi yang menimbulkan rasa takutnya.
Seperti pada kasus fobia spesifik lainnya, tidak ada cara khusus untuk mendiagnosa bahwa pasien mengalami dementophobia.
Namun pada umumnya, penderita dementophobia dapat melalui serangkaian pemeriksaan fisik serta riwayat kesehatan lebih dulu sebelum menjalani evaluasi psikologis.
Terapis (psikiater atau psikolog) akan menggunakan kriteria diagnostik DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) untuk memastikan kondisi pasien benar-benar mengarah pada dementophobia atau kondisi gangguan mental lainnya [9].
Ketika memeriksakan diri, beberapa hal yang perlu diketahui lengkap oleh terapis untuk memastikan kondisi pasien adalah [9] :
Pasien dapat dipastikan mengalami dementophobia apabila memenuhi kriteria diagnosa DSM-5 sebagai berikut [9] :
Tinjauan Pemeriksaan fisik, riwayat gejala, riwayat kesehatan, dan psikologis menurut DSM-5 dapat membantu terapis dalam menentukan apakah pasien mengalami dementophobia dan juga menentukan penanganan yang sesuai dengan kondisi pasien.
Penanganan dementophobia seperti pada fobia spesifik lainnya, yakni dengan pemberian psikoterapi dan obat-obatan pereda kecemasan dan depresi.
Pasien perlu mendatangi terapis profesional dan bersertifikat dalam hal ini agar dapat mengalami pemulihan yang signifikan.
Berikut ini adalah sejumlah penanganan atau perawatan utama bagi penderita dementophobia.
Terapi kombinasi antara terapi kognitif dan perilaku ini merupakan psikoterapi yang sudah banyak digunakan dalam mengatasi gangguan kecemasan hingga kondisi fobia [1,2].
Tujuan utama pasien menempuh terapi ini adalah untuk mengubah cara berpikir yang semula negatif, begitu pula dengan perilaku [10].
Terapis akan membantu pasien dalam mengubah reaksi, perilaku dan pikiran negatif menjadi positif karena pola pikir negatif dapat secara terus-menerus membuat emosi dan perilaku pasien negatif [10].
Selama menjalani proses terapi ini, terapis perlu mengidentifikasi pemicu dan masalah yang membuat pasien mengalami gejala dementophobia [10].
Pasien akan dibimbing dan diarahkan untuk memahami setiap reaksi negatif serta masalah yang memicu ketakutannya agar dapat diubah [10].
Terapi eksposur adalah jenis psikoterapi lainnya yang juga baik untuk menangani fobia serta depresi [3,4,11].
Namun pada prakteknya, pasien harus bersiap untuk diekspos kepada sumber rasa takutnya [3,4,11].
Meski proses pemaparan tidak mudah, metode ini terpercaya dalam mengurangi kecemasan dan meningkatkan kemampuan pasien dalam mengendalikan gejala fobia spesifiknya [3,4,11].
Terapi psikologis ini pun banyak digunakan untuk mengatasi fobia, namun lebih melalui sugesti ketika pikiran pasien sedang dalam kondisi rileks [12].
Hipnoterapis akan memberikan panduan kepada pasien supaya merilekskan pikiran sebelum memasukkan sugesti ke pikiran pasien [12].
Kondisi rileks ini disebut dengan istilah trance, seperti halnya seseorang yang hanyut dan fokus pada saat melamun, menonton film maupun membaca buku sehingga tak lagi memerhatikan keadaan di sekelilingnya [12].
Dengan begitu, selama hipnosis pasien bukan tertidur, melainkan dalam kondisi sadar sepenuhnya [12].
Hipnoterapis nantinya akan menyadarkan pasien dari kondisi trance-nya setelah selesai memberi sugesti yang bertujuan mengubah pikiran dan perilaku negatif karena rasa takut berlebihan [12].
Terapi obat-obatan kerap diberikan oleh terapis yang dikombinasikan dengan psikoterapi [1,2].
Obat anticemas dan antidepresan dapat dikonsumsi pasien sesuai resep dokter untuk meredakan gejala cemas dan panik [1,2].
Agar tidak mudah stres dan depresi, pola hidup sehat dan seimbang dapat diterapkan oleh pasien.
Membatasi asupan kafein adalah salah satunya, sebab kafein berpotensi meningkatkan risiko kecemasan dan detak jantung lebih cepat [13].
Melakukan latihan pernafasan, meditasi, Yoga, hingga olahraga pun sebaiknya lebih teratur [14].
Penerapan olahraga seminggu setidaknya 3 kali dapat mengurangi risiko gangguan kecemasan; tak perlu melakukan olahraga berat karena terdapat berbagai pilihan olahraga ringan yang bisa mulai dipraktekkan [15].
Penanganan dementophobia lainnya yang juga penting untuk pasien tempuh adalah psikoedukasi bersama dengan terapis yang pasien percaya [2].
Pasien dementophobia dapat belajar dan memahami lebih jauh mengenai penyakit-penyakit mental dengan bantuan ahli kesehatan mental [2].
Tujuan dari psikoedukasi ini adalah untuk pasien memahami rasa takut yang dimiliki selama ini serta mengerti faktor-faktor yang lebih detail serta kompleks tentang ketakutan yang dirasakan [2].
Pemahaman yang baik dapat meminimalisir dampak ketakutan berlebih terhadap kehidupan sehari-hari pasien [2].
Tinjauan Penanganan dementophobia meliputi psikoterapi (terapi perilaku kognitif, terapi eksposur, dan hipnosis), obat-obatan, perubahan pola hidup menjadi lebih sehat, serta psikoedukasi.
Dementophobia dapat menimbulkan berbagai risiko komplikasi karena gejala-gejala yang cenderung memburuk.
Ketika rasa takut menjadi semakin berlebihan, maka penarikan diri dari pergaulan dan dari masyarakat sangat memungkinkan hingga kualitas hidup menurun [3].
Depresi pun berpotensi memicu isolasi diri hingga menimbulkan keinginan bunuh diri hingga aksi bunuh diri itu sendiri [16].
Belum diketahui bagaimana dementophobia dapat dicegah karena penyebab pastinya belum diketahui.
Namun agar komplikasi tidak terjadi dan pasien tidak mengalami depresi berkepanjangan, gejala perlu diperiksakan dini.
Pemeriksaan dan penanganan gejala seawal mungkin dapat membantu pasien pulih lebih cepat dan menghindari risiko komplikasi,
Tinjauan Upaya mencegah dementophobia agar tidak memburuk adalah dengan memeriksakan diri secara dini dan mendapatkan penanganan segera.
1. Lisa Fritscher & Steven Gans, MD. Symptoms and Factors of Dementophobia. Verywell Mind; 2021.
2. Jacob Olesen. Fear of Insanity Phobia – Dementophobia. FearOf; 2015.
3. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
4. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
5. LJ Charleston. Outrageous ways to be admitted to an insane asylum in the 19th century. news.co.au; 2019.
6. R C Evenson, R A Holland, & M E Johnson. A psychiatric hospital 100 years ago: II. Patients, treatment, and daily life. Hospital & Community Psychiatry; 1994.
7. Alexandra Sifferlin. Robin Williams' Parkinson's: The Link Between the Chronic Disease and Depression. Time; 2014.
8. J G Høyersten. Possessed! Some historical, psychiatric and curent moments of demonic possession. Tiddskrift for den Norske Laegeforening; 1996.
9. Lisa Fritscher & Daniel B. Block, MD. DSM-5 Diagnostic Criteria for a Specific Phobia. Verywell Mind; 2021.
10. Suma P. Chand; Daniel P. Kuckel; & Martin R. Huecker. Cognitive Behavior Therapy. National Center for Biotechnology Information; 2021.
11. David Sars & Agnes van Minnen. On the use of exposure therapy in the treatment of anxiety disorders: a survey among cognitive behavioural therapists in the Netherlands. BMC Psychology; 2015.
12. Joseph A Hirsch. Integrating Hypnosis with Other Therapies for Treating Specific Phobias: A Case Series. American Journal of Clinical Hypnosis; 2018.
13. Gareth Richards & Andrew Smith. Caffeine consumption and self-assessed stress, anxiety, and depression in secondary school children. Journal of Psychopharmacology; 2015.
14. Josefien J. F. Breedvelt, Yagmur Amanvermez, Mathias Harrer, Eirini Karyotaki, Simon Gilbody, Claudi L. H. Bockting, Pim Cuijpers, & David D. Ebert. The Effects of Meditation, Yoga, and Mindfulness on Depression, Anxiety, and Stress in Tertiary Education Students: A Meta-Analysis. Frontiers in Psychiatry; 2019.
15. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BMC Health Services Research; 2018.
16. Josh Nepon, MD, Shay-Lee Belik, Msc, James Bolton, MD FRCPC, & Jitender Sareen, MD FRCPC. The Relationship Between Anxiety Disorders and Suicide Attempts: Findings from the National Epidemiologic Survey on Alcohol and Related Conditions. HHS Public Access; 2011.