Penyakit & Kelainan

Disforia Gender : Penyebab – Gejala dan Penanganan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Disforia Gender?

Disforia gender atau gender dysphoria merupakan suatu jenis gangguan identitas gender di mana orang-orang dengan sebutan transgender mengalami hal ini [1,2,3,4,7].

Pada disforia gender, seseorang tidak nyaman dan cenderung merasa stres karena identitas gender mereka tidak cocok dengan jenis kelamin biologis.

Apa itu jenis kelamin biologis dan identitas gender?

Seseorang mendapatkan jenis kelamin biologis tentunya sejak ia dilahirkan, tergantung dari penampilan alat kelaminnya.

Untuk identitas gender, ini adalah jati diri jenis kelamin yang diyakini dan dipercaya oleh orang tersebut.

Jadi misalnya, seseorang memiliki penis dan karakteristik seorang pria, umumnya identifikasi diri adalah seorang pria namun ia meyakini dirinya sebagai seorang wanita.

Beberapa orang tidak memiliki kecocokan antara jenis kelamin biologis dan identitas gender seperti pada umumnya.

Pada beberapa orang mungkin memiliki karakteristik fisik laki-laki, namun ia meyakini bahwa dirinya lebih ke seorang perempuan, begitu juga sebaliknya seseorang dengan karakter fisik perempuan dapat meyakini dirinya seorang laki-laki.

Ada pula kasus genderqueer, yaitu sebagian orang yang merasa bahwa mereka tidak sepenuhnya pria atau wanita sehingga tak mampu mengakui salah satunya terlepas dari penampilan fisik yang dimilikinya [3].

Tinjauan
Disforia gender adalah suatu kondisi gangguan identitas gender atau jenis kelamin yang banyak dialami oleh para transgender. Walau dapat dikatakan sebagai gangguan kesehatan mental, disforia gender adalah sebuah kondisi yang juga masuk dalam golongan kondisi medis menurut American Psychiatric Association. 

Fakta Tentang Disforia Gender

  1. Di Amerika Serikat pada tahun 1963 dan 1979 diketahui bahwa terdapat lebih dari 20 klinik identitas gender berbasis universitas dibuka [1].
  2. Prevalensi identitas transgender yang dilaporkan sendiri pada orang dewasa, remaja dan juga anak-anak menurut sebuah hasil studi kesehatan seks tahun 2017 adalah antara 0,5% hingga 1,3% di mana pada tahun-tahun berikutnya persentase ini mengalami peningkatan [2].
  3. Di Amerika Serikat, sebuah hasil survei nasional menunjukkan bahwa terdapat 1,4 juta jiwa teridentifikasi sebagai transgender di mana persentase tersebut belum keseluruhan karena adanya stigma sosial [2].
  4. Pria dan wanita yang mengalami disforia gender rata-rata diketahui melakukan penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang, yaitu dengan prevalensi sebesar 28% [2].
  5. Diketahui bahwa penderita disforia gender sebanyak 23,8% pernah melakukan percobaan bunuh diri setidaknya sekali dalam hidupnya, dan 48,3% lainnya diketahui memiliki keinginan untuk bunuh diri [2].
  6. Di Indonesia, data prevalensi nasional disforia gender belum diketahui secara rinci, namun kasus ini pun bukan suatu kasus baru.

Penyebab Disforia Gender

American Psychiatric Association telah mengakui disforia gender sebagai salah satu kondisi medis nyata sehingga penderitanya dapat memperoleh perawatan medis. [4]

Disforia gender juga bukan tergolong gangguan jiwa dan mental karena kondisi ini tak hanya berkaitan dengan kinerja otak yang kurang selaras.

Disforia gender juga dapat terjadi sebagai dampak dari faktor biologis, di mana perkembangan identitas gender sebelum kelahiran mengalami masalah.

  • Hiperplasia Adrenal Bawaan (Congenital Adrenal Hyperplasia)

Hiperplasia adrenal bawaan atau congenital adrenal hyperplasia dapat menjadi salah satu kondisi langka yang menyebabkan disforia gender [1,2,5].

Pada kondisi ini, janin perempuan selama di dalam kandungan diketahui memiliki kelenjar adrenalin penghasil hormon seks pria.

Ketika kadar hormon seks pria ini dalam kadar tinggi, pembengkakan vagina pun terjadi sehingga kerap kali janin perempuan ini dianggap sebagai bayi laki-laki.

Begitu juga dengan hermaphroditisme atau kondisi interseks yang walaupun jarang namun dapat menjadi salah satu faktor penyebab disforia gender [1,6].

Artinya, seorang bayi dapat lahir memiliki dua alat kelamin, yaitu penis dan juga vagina di saat yang sama.

Namun ketika prosedur normalisasi kelamin kini telah dilarang oleh PBB tanpa persetujuan si pemilik tubuh, anak akan dibiarkan tumbuh kembang dengan dua alat kelamin.

Setelah usianya cukup dewasa, baru ia akan diminta memilih salah satunya dan menjalani prosedur operasi untuk mengangkat salah satu kelamin yang tidak dipilih.

Tinjauan
Penyebab disforia gender dapat berupa faktor genetik, atau juga kondisi hiperplasia adrenal bawaan dan interseks.

Gejala Disforia Gender

Beberapa gejala yang dapat ditimbulkan dari kasus disforia gender khususnya pada remaja dan orang dewasa antara lain adalah [1,2,4] :

  • Setidaknya selama 6 bulan seseorang merasa dirinya adalah perempuan walau berjenis kelamin biologis laki-laki, begitu juga sebaliknya (seseorang merasa dirinya adalah laki-laki walau berjenis kelamin perempuan).
  • Enggan buang air kecil dengan cara yang sesuai dengan jenis kelamin biologisnya.
  • Pada waktu pubertas, stres timbul ketika perubahan fisik terjadi.
  • Enggan mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan identitas gendernya.
  • Enggan melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan identitas gendernya.
  • Merasa secara konsisten bahwa terjadi ketidakselarasan antara identitas gender dan jenis kelamin biologisnya.
  • Timbul keinginan yang sangat kuat untuk mengganti alat kelamin dan membicarakan prosedur operasi ganti kelamin.
  • Timbul keinginan untuk menghilangkan ciri-ciri fisik biologisnya.
  • Cenderung tak menyukai jenis kelamin biologis yang dimiliki sejak lahir sehingga timbul perilaku penolakan terhadap pemakaian pakaian sehari-hari hingga aktivitas seksual.

Onset disforia gender adalah pada usia kanak-kanak yang kemudian berlanjut hingga anak bertumbuh lebih besar.

Disforia gender dapat berkelanjutan hingga anak menjadi remaja dan bertumbuh dewasa.

Disforia gender dapat terjadi berulang, namun terutama pada saat penderitanya tidak lagi mengalami disforia gender.

Pada beberapa kasus, onset terjadi tidak pada usia anak-anak, tapi pada saat pubertas atau saat seseorang sudah lebih dewasa.

Tinjauan
Keengganan mengakui jenis kelamin biologis dan melakukan aktivitas sesuai dengan jenis kelamin biologis menjadi tanda umum dan utama pada kondisi disforia gender.

Pemeriksaan Disforia Gender

Untuk mendeteksi dan mengonfirmasi bahwa seseorang memiliki kondisi disforia gender, maka sejumlah pemeriksaan dengan metode di bawah ini perlu diterapkan.

  • Evaluasi Kesehatan Perilaku

Dalam memastikan bahwa gejala yang dirasakan dan dialami pasien selama ini mengarah benar-benar pada disforia gender, evaluasi kesehatan dan perilaku pasien sangat diperlukan [1,2].

Dokter perlu mengetahui secara rinci tentang identitas gender, jenis kelamin biologis, hingga riwayat perkembangan gejala disforia gender, terutama hal-hal yang selama ini dirasakan oleh penderita.

Dokter juga akan menanyakan kepada pasien mengenai seperti apa dukungan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar pasien.

Tak hanya dukungan, berbagai tekanan hingga stigma seperti apa yang didapat oleh pasien selama gejala disforia gender ia alami.

  • DSM-5

Gejala disforia gender biasanya dapat didiagnosa menurut buku panduan psikiatri DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) [1,2,4,7,10].

Seseorang harus memiliki perbedaan nyata antara gender persepsi orang lain dan gender yang ia yakini sendiri di mana hal ini harus berjalan selama 6 bulan setidaknya [4].

Disforia gender tidak sama dengan penyesuaian diri dengan perilaku peran gender stereotip karena terdapat keterlibatan rasa stres dan tertekan karena ingin memiliki identitas gender lain.

Tidak sebatas keinginan mengubah identitas gender, seseorang dengan disforia gender juga memiliki ketertarikan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan gender lain.

Pada kasus disforia gender pada remaja, beberapa kasus menunjukkan mereka dapat terbuka pada dokter maupun orang tua mereka sendiri.

Hanya saja, pada beberapa orang lainnya yang terlampau sulit untuk mengekspresikan perasaan mereka sehingga masalah akademis, depresi, kecemasan, gangguan suasana hati dan masalah sosial dapat terjadi [1].

Tinjauan
Pemeriksaan disforia gender umumnya dilakukan dengan metode evaluasi perilaku penderita dan juga menurut kriteria pada panduan DSM-5.

Penanganan Disforia Gender

Disforia gender pada umumnya dapat diatasi melalui beberapa metode perawatan, yaitu pemberian perawatan medis serta terapi perilaku.

Melalui Terapi Perilaku

Untuk membantu memulihkan kondisi psikologis dan perilaku penderita, terapi perilaku sangat diperlukan oleh penderita.

Identitas gender pasien tidak akan berubah atau terkena dampak apapun dari prosedur terapi perilaku.

Ini karena terapi perilaku bertujuan untuk membantu pasien dalam memahami masalah yang dihadapi dan mengatasi gejala-gejala yang terjadi selama ini.

Tujuan terapis profesional dalam membantu pasien di sini adalah [1,2,3,7] :

  • Untuk menumbuhkan rasa aman dan nyaman terhadap jati diri penderita, baik transgender maupun yang belum menentukan perubahan jenis kelaminnya.
  • Untuk membantu pasien dalam memiliki hubungan sosial dan pergaulan yang sukses dan sehat ketika pasien telah merasa percaya diri, nyaman dan aman.
  • Untuk membantu pasien dalam mengekspresikan identitas gender-nya tanpa merasa terganggu dengan pandangan orang lain.
  • Untuk membantu pasien dalam memiliki pekerjaan atau pendidikan yang sukses ketika pasien telah merasa nyaman dan percaya diri.
  • Untuk membantu mengatasi adanya gangguan kesehatan mental lainnya di dalam diri pasien.

Terapi perilaku dapat dalam bentuk individual, keluarga, berpasangan, atau berkelompok yang terdiri dari beberapa orang.

Melalui terapi perilaku, pasien diharapkan kemudian dapat mengeksplorasi identitas gendernya dan menerima dirinya sendiri dengan baik.

Dampak emosional dan mental dari sekitar juga akan diatasi melalui terapi ini sehingga mampu memiliki kondisi mental dan emosional yang lebih sehat.

Melalui Obat-obatan / Tindakan Medis

Disforia gender dapat ditangani melalui beberapa jenis tindakan medis, antara lain seperti :

  • Terapi Hormon

Terapi hormon dapat membantu perubahan identitas gender pasien menjadi lebih baik, seperti halnya terapi hormon feminisasi maupun terapi hormon maskulinisasi [1,2,3,7].

Untuk memperoleh sisi maskulin atau feminin maksimal, terapi hormon adalah metode perawatan yang sangat penting.

Terapi hormon juga dibutuhkan oleh pasien disforia gender untuk meminimalkan karakteristik jenis kelamin sekundernya, seperti misalnya kumis atau jenggot pada pria dan payudara pada wanita.

  • Operasi

Operasi adalah prosedur yang digunakan untuk memaksimalkan sisi maskulin atau feminin dari pasien [1,2,3,4,7].

Operasi ini bertujuan utama mengubah karakteristik gender sekunder, seperti kontur tubuh dan wajah, organ reproduksi, dan payudara.

Banyak orang dengan kondisi disforia gender jauh lebih lega ketika menempuh prosedur bedah ini.

Hanya saja, terdapat beberapa kriteria yang disediakan oleh The World Professional Association for Transgender Health bagi pasien untuk menjalani prosedur bedah maupun terapi hormon, yaitu [8] :

  • Berkapasitas untuk memutuskan sepenuhnya terkait persetujuan metode pengobatan yang dianjurkan atau direkomendasikan.
  • Disforia gender yang persisten.
  • Keberadaan masalah kesehatan mental atau kondisi medis yang signifikan namun terkendali dengan baik.
  • Usia legal atau sudah cukup dewasa menurut standar yang berlaku di masing-masing negara untuk menerima metode perawatan yang direkomendasikan.
Tinjauan
Penanganan disforia gender adalah dengan memberikan perawatan medis (terapi hormon dan prosedur operasi) serta psikoterapi (khususnya terapi perilaku).

Komplikasi Disforia Gender

Disforia gender dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan penderitanya yang bahkan tak jarang mampu menghambat aktivitas sehari-hari [2].

Tekanan dari lingkungan mampu membuat penderita disforia gender enggan untuk pergi ke sekolah, tempat kerja atau tempat umum.

Tekanan tersebut dapat berupa olokan atau bahkan pelecehan dari orang lain sehingga mampu menimbulkan rasa tak nyaman [10].

Hal itu menjadi alasan kuat beberapa hal di bawah ini dapat terjadi sebagai bagian dari risiko komplikasi disforia gender [1,2,7,9] :

  • Dikeluarkan dari sekolah karena performa terus menurun.
  • Dipecat dari pekerjaan karena performa yang terganggu.
  • Pengalaman diskriminasi sehingga memicu stres minoritas.
  • Kesulitan dalam memperoleh dan menggunakan pelayanan kesehatan mental ataupun kesehatan umum karena rasa takut berlebihan terhadap stigma yang ada.
  • Kesulitan dalam memulai dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain.
  • Depresi
  • Gangguan makan.
  • Gangguan kecemasan.
  • Penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang.
  • Menyakiti diri sendiri hingga timbul keinginan mengakhiri hidup (bunuh diri); hal ini lebih berpotensi terjadi pada remaja dan orang dewasa yang juga dapat berujung pada aksi bunuh diri.

Tekanan yang mental dan emosional yang didapat oleh penderita disforia gender akan berkelanjutan di mana hal ini juga akan menumbuhkan rasa ingin bunuh diri.

Bahkan ketika penderita disforia gender telah berhasil mengubah jenis kelaminnya, keinginan bunuh diri atau aksi bunuh diri itu sendiri tetap dapat dilakukan.

Pencegahan Disforia Gender

Tidak terdapat cara khusus dalam mencegah disforia gender, namun sebelum berujung pada komplikasi, penanganan dini sangat dianjurkan.

Deteksi dini disforia gender dan penanganan secepatnya melalui terapi perilaku dan tindakan medis dapat membantu memulihan mental dan emosional pasien.

Tinjauan
Untuk menghindari risiko komplikasi berbahaya (khususnya depresi hingga keinginan bunuh diri pada penderita disforia gender), dukungan orang-orang terdekat secara emosional dan mental sangat dibutuhkan), begitu pula penanganan dari terapis profesional.

1. William Byne, Dan H. Karasic, Eli Coleman, A. Evan Eyler, Jeremy D. Kidd, Heino F.L. Meyer-Bahlburg, Richard R. Pleak, & Jack Pula. Gender Dysphoria in Adults: An Overview and Primer for Psychiatrists. Transgender Health; 2018.
2. Garima Garg; Ghada Elshimy & Raman Marwaha. Gender Dysphoria. National Center for Biotechnology Information; 2020.
3. Cristiano Scandurra, Fabrizio Mezza, Nelson Mauro Maldonato, Mario Bottone, Vincenzo Bochicchio, Paolo Valerio, & Roberto Vitelli. Health of Non-binary and Genderqueer People: A Systematic Review. Frontiers in Psychology; 2019.
4. Jack Turban, M.D., M.H.S. What Is Gender Dysphoria? American Psychiatric Association; 2020.
5. Lisieux Eyer de Jesus, Eduardo Corrêa Costa, & Samuel Dekermacher. Gender dysphoria and XX congenital adrenal hyperplasia: how frequent is it? Is male-sex rearing a good idea? Journal of Pediatric Surgery; 2019.
6. K J Zucker, S J Bradley, & H E Hughes. Gender dysphoria in a child with true hermaphroditism. Canadian Journal of Psychiatry; 1987.
7. Joseph H. Bonifacio, MD MPH, Catherine Maser, MN, NP-Paediatric, Katie Stadelman, MSW, RSW, & Mark Palmert, MD PhD. Management of gender dysphoria in adolescents in primary care. Canadian Medical Association Journal; 2019.
8. World Professional Association for Transgender Health. Standards of care for the health of transsexual, transgender and gender nonconforming people, 7th version. World Professional Association for Transgender Health; 2019.
9. Sari L. Reisner, ScD, Sabra L. Katz-Wise, PhD, Allegra R. Gordon, ScD, MPH, Heather L. Corliss, PhD, & S. Bryn Austin, ScD. Social epidemiology of depression and anxiety by gender identity. HHS Public Access; 2017.
10. Riittakerttu Kaltiala-Heino, Hannah Bergman, Marja Työläjärvi, & Louise Frisén. Gender dysphoria in adolescence: current perspectives. Adolescent Health, Medicine and Therapeutics; 2018.

Share