Daftar isi
Efek Pseudobulbar atau Pseudobulbar affect (PBA) adalah kondisi yang memunculkan emosi yang tidak biasa pada seseorang. Tidak biasa di sini diartikan dengan respon emosi yang tiba-tiba dan tidak tepat, misalnya tiba-tiba menangis atau tertawa berlebihan di situasi yang tidak tepat. [1]
Efek pseudobulbar biasanya terjadi pada orang dengan kondisi tertentu pada syaraf otak. PBA ini juga banyak dikorelasikan dengan sebutan gangguan ekspresi emosi, ketidakmampuan emosional, penyakit yang menyebabkan tertawa atau menangis dll. [1, 2]
Seorang orang normal mengekspresikan perasaan hatinya yang sedih dengan menangis, atau jika ada sesuatu yang lucu ekspresi yang ditunjukkan adalah tertawa. Sedangkan orang yang menderita efek pseudobulbar, ekspresi tertawa atau menangis yang ditunjukkan tidak merespon kondisi yang ada. [2]
Gejala yang dialami oleh seseorang yang menderita efek pseudobulbar seringkali disalah artikan dengan depresi, hal ini karena gejala yang umumnya sering muncul adalah menangis. Penting untuk dipahami bahwa depresi adalah gangguan suasana hati seseorang, sedangkan efek pseudobulbar adalah gangguan menampilkan suasana hati. [1, 3]
Seseorang yang menderita PBA memunculkan respon emosi yang berlebihan, seperti tertawa yang tidak terkontrol atau menangis berlebihan dan hal ini tidak terhubung dengan keadaan emosionalnya. Gejala lain yang kadang muncul yaitu setelah tertawa berlebihan lalu dengan cepat berubah menangis. [1]
Penderita efek pseudobulbar respon emosi yang diekspresikan berbeda dengan perasaannya atau suasana hatinya. Misalnya jika dalam sebuah situasi, orang normal akan merespon sebuah situasi tersebut dengan tertawa kecil, namun penderita PBA akan memunculkan ekspresi dengan tertawa yang berlebihan, tidak semestinya dan tidak dapat dikontrol, atau bahkan memunculkan ekspresi menangis. [1, 2]
Gejala yang muncul di dalam keseharian biasanya tidak berdurasi panjang, saat gejala tidak muncul seseorang akan tampak normal dan baik-baik saja. Hal ini berbeda dengan seseorang yang mengalami depresi, karena depresi memunculkan perasaan yang sedih berlarut-larut pada seseorang dalam jangka waktu yang panjang. [1]
Penyebab efek pseudobulbar belum dapat dipastikan secara tepat, namun dokter dan para ahli berpendapat secara teori bahwa penyebab efek pseudobulbar berkaitan dengan otak. [2]
Penyebab utamanya yaitu kerusakan saraf otak pada bagian lobus frontal yang terhubung ke bagian otak bawah atau medula, yang fungsinya mengkontrol saat seseorang tertawa atau menangis. [2]
Karena efek pseudobulbar ini berkaitan dengan otak, maka beberapa penyakit saraf dan cedera saraf yang dialami seseorang juga dapat menjadi penyebabnya.
Beberapa penyakit yang dapat menjadi penyebab efek pseudobulbar antara lain : [1]
Penderita Efek pseudobulbar (PBA) memiliki tantangan yang cukup berat di kehidupan sosial. Karena gejala yang dialami datangnya tiba-tiba, seringkali mengganggu aktivitas sehari-hari penderita, terutama jika seseorang menderita penyakit yang menyebabkan PBA. [1]
Penderita efek pseudobulbar atau PBA seringkali merasa malu dan selalu cemas karena tidak dapat mengkontrol ekspresi yang ditampilkan, hal ini membuat penderita mengisolasi diri dari kehidupan sosial dan tidak menutup kemungkinan dapat mengalami depresi. [1, 2]
Jika anda mengalami gejala seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tentu saja setelah anda sudah mengobservasi diri, maka sebaiknya segera periksakan diri ke dokter.
Jangan tunda untuk periksa ke dokter ahli neurologi, jika gejala muncul dan anda memiliki penyakit yang dapat menjadi penyebab efek pseudobulbar, seperti cedera di bagian kepala setelah terjatuh, pernah atau sedang dalam pengobatan penyakit saraf dan penyakit-penyakit yang telah disebutkan sebelumnya yang dapat menyebabkan efek pseudobulbar.
Dokter ahli lain yang juga dapat membantu perawatan dan pengobatan efek pseudobulbar antara lain ahli neuropsychologist dan juga dokter psikiatri. [1]
Efek pseudobulbar seringkali dapat didiagnosa oleh dokter saraf atau neurologis. Secara klinis didiagnosa berdasarkan riwayat kesehatan dan observasi, misalnya apakah menderita penyakit khusus yang dapat berkaitan dengan efek pseudobulbar. Diagnosa juga dilakukan melalui pemeriksaan darah dan pemindaian otak. [2]
PBA juga didiagnosa oleh dokter yang berkompeten melalui pengukuran dengan menggunakan alat Pathological Laughter and Crying Scale atau PLACS. Alat ini berupa 18 pertanyaan yang diberikan kepada penderita PBA. [2]
Efek Pseudobulbar tidak dapat disembuhkan, namun dapat diredakan gejalanya melalui perawatan menggunakan obat-obatan. Hal yang utama adalah mengedukasi pasien dan juga keluarga yang tinggal bersama, agar penderita efek pseudobulbar mendapatkan dorongan untuk tetap dapat hidup bersosialisasi. [3]
Pengobatan medis yang umum dilakukan yaitu dengan obat-obatan antidepresan seperti obat antidepresan trisiklik dan serotonin. Obat-obatan seperti Dextromethorphan hydrobromide dan kuinin sulfat juga disarankan, kedua jenis obat tersebut. Tujuan pengobatan ini adalah mengurangi frekwensi gejala yang muncul dan mengelola luapan emosi agar terkendali. [1, 2, 3]
Meskipun efek pseudobulbar berkaitan dengan saraf dan cedera otak, para ahli juga belum memastikan mengapa efek pseudobulbar dapat terjadi pada sebagian orang, sementara yang lainnya tidak, meskipun memiliki masalah pada saraf otak atau cedera otak. Maka tidak ada cara khusus untuk mencegah terjadinya PBA ini. [2]
Meskipun efek pseudobulbat tidak dapat dicegah, sangat disarankan untuk melindungi otak agar fungsinya tetap sehat. Menjaga kesehatan jantung terbukti dapat melindungi otak, yaitu dengan mengurangi resiko terkena stroke dengan tidak merokok, menjaga kadar gula di dalam darah, berolah raga dan menjaga berat badan ideal. [2]
1. Anonim. Pseudolbulbar. Mayo Clinic; 2019.
2. Becky Upham & Samuel Mackenzie, MD, PhD. What Is Pseudobulbar Affect? Symptoms, Causes, Diagnosis, Treatment, and Prevention. Evereyday Health; 2020.
3. Jeannie D. Lochhead, MD , Gerald A. Maguire, MD , Michele A. Nelson, MD. Pseudobulbar Affect Versus Depression: Issues in Diagnosis and Treatment. Psychiatric Times; 2018.