Daftar isi
Epilepsi intraktabel adalah jenis kondisi epilepsi atau kejang yang tak dapat dikendalikan, sekalipun penderita telah mengonsumsi obat khusus antikejang [1,2,3,4,5].
Intraktabel sendiri merupakan istilah yang menandakan bahwa kejang tubuh sulit diredakan dan dikontrol [1,2,3,4,5].
Dengan kata lain, epilepsi jenis ini merupakan jenis epilepsi resistensi obat sehingga obat antikejang berapapun dosisnya tidak akan berpengaruh terhadap kondisi pasien [1,2,3,4,5].
Epilepsi intraktabel menjadi sebuah kondisi yang sulit ditangani dan cenderung resisten terhadap obat antikejang karena beberapa faktor di bawah ini dapat menjadi penyebabnya [3,4,5].
Pada kasus sinkop yang dihubungkan dengan epilepsi intraktabel, keduanya kerap dianggap sebagai kondisi yang sama sehingga cukup membingungkan [3,6].
Namun, terdapat sebuah hasil studi yang menunjukkan bahwa keduanya bahkan bisa terjadi dalam waktu yang sama [3,6].
Menurut hasil studi tersebut, epilepsi intraktabel atau resistensi obat terjadi pada 41,1% pasien epilepsi [6].
Sementara itu, dari hasil studi yang sama juga terdapat bukti bahwa 65,9% pasien memiliki kondisi epilepsi sekaligus sinkop [6].
Sinkop sendiri merupakan istilah medis untuk seseorang yang mengalami kehilangan kesadaran alias pingsan [7].
Hanya saja, penyebab sinkop sendiri bisa bermacam-macam, seperti stres berat, ketakutan ekstrem, tekanan darah rendah, kelelahan, penyakit jantung, efek obat tertentu, merasakan nyeri tak tertahankan, stroke, kehamilan, hipoglikemia, ketidakteraturan detak jantung, dan dehidrasi (akibat keringat keluar secara berlebihan) [7].
Untuk kasus epilepsi intraktabel, satu maupun beberapa obat yang diberikan langsung ke penderita bisa saja tidak efektif.
Sebuah hasil studi lainnya menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki respon tubuh yang minim terhadap penanganan epilepsi awal ataupun orang-orang yang baru mendapatkan penanganan setelah mengalami kejang berulang kali jauh lebih rentan mengalami epilepsi intraktabel [8].
Ketika epilepsi intraktabel terjadi, maka yang membedakannya dari epilepsi biasa adalah kondisi kejang yang terus berlanjut walaupun penderita sudah menggunakan obat antikejang [3].
Obat tidak menunjukkan efektivitasnya pada tubuh pasien walaupun kejang yang timbul bisa bervariasi pada frekuensi dan intensitasnya [1,2,3,4,5].
Pada beberapa kasus, penderita bisa mengalami kejang beberapa detik hingga bermenit-menit yang disebabkan oleh neuron yang terlalu aktif maupun listrik pada otak yang tidak seimbang.
Meski begitu, terdapat sejumlah kondisi lain yang dapat menyertai kejang tersebut, yakni [2,3,4,5] :
Karena epilepsi intraktabel lebih banyak dijumpai pada anak-anak, maka gejala-gejala tersebut umumnya dialami oleh penderita anak-anak [2,3,4,5].
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Ketika gejala berupa kejang terjadi berulang dan pemberian obat antikejang (bahkan lebih dari dua obat antiepileptik) tidak efektif dalam menghentikannya, maka sudah seharusnya kondisi ini segera diperiksakan ke dokter.
Terlebih jika terdapat sejumlah gejala lain yang telah disebutkan turut menyertai kejang, kemungkinan besar kondisi mengarah pada epilepsi intraktabel.
Pemeriksaan untuk memastikan kondisi epilepsi pada penderita akan dilakukan dengan sejumlah metode diagnosa seperti :
Seperti pada umumnya, dokter akan lebih dulu memeriksa kondisi fisik pasien dan gejala fisik apa saja yang terjadi [1,3].
Ada kemungkinan gejala kejang berhubungan dengan cedera pada bagian kepala, maka dokter perlu memastikannya.
Selain itu, dokter juga perlu tahu apa saja riwayat medis pasien sekaligus keluarga pasien, berikut riwayat pengobatan pasien.
Beri informasi pula kepada dokter apakah sebelumnya pasien sudah dibantu dengan obat antiepileptik agar bisa mengonfirmasi kondisi epilepsi intraktabel.
Dokter juga biasanya akan bertanya beberapa hal terkait riwayat kejang pasien.
Dokter perlu mengetahui seberapa sering kejang terjadi, seberapa rutin pasien dalam melakukan pengobatan kejang, dan apakah pasien sering tetap kejang walaupun sudah menggunakan obat antikejang [3].
Walau pemeriksaan riwayat medis penting, beberapa metode diagnosis penunjang dokter harus lakukan untuk menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan epilepsi intraktabel juga perlu didukung dengan metode MRI scan [3].
MRI scan seringkali dokter rekomendasikan untuk mengetahui kondisi otak dan kepala pasien [3].
Dalam hal ini, dokter harus memastikan apakah kejang yang terjadi berkaitan dengan adanya cedera pada kepala dan otak pasien melalui tes pencitraan ini [3].
Selain MRI scan, CT scan juga kemungkinan dokter perlu lakukan untuk mengetahui kondisi berbagai sisi tubuh pasien, terutama kepala dan otak [3].
CT scan bertujuan untuk memastikan apakah pasien mengalami cedera atau kecelakaan yang menyebabkan perdarahan internal dan memicu kejang [3].
Elektroensefalogram adalah salah satu metode pemeriksaan yang akan membantu dokter dalam mengetahui adanya kelainan pada otak melalui hasil pengukuran aktivitas listrik otak [3].
Epilepsi biasanya dapat terdeteksi melalui pemeriksaan ini ketika hasil pemeriksaan berpola abnormal [3].
Selain itu, elektroensefalogram juga dapat mendeteksi perdarahan abnormal, keberadaan tumor, migrain, edema otak, serta cedera otak yang berkemungkinan memicu kejang berulang [3].
Bila epilepsi intraktabel tak dapat ditangani dengan satu atau dua obat antikejang, maka dokter biasanya akan mencari alternatif obat antikejang yang dapat mengendalikan kondisi tersebut [3].
Namun pada kasus epilepsi intraktabel, tingkat keberhasilan menangani dengan obat antikejang semakin menurun [3].
Karena kegagalan berulang dalam mengatasi epilepsi intraktabel, para dokter memiliki solusi lain dalam bentuk seperti berikut.
Pola tidur yang benar serta kualitas tidur yang baik adalah salah satu terapi yang kini diterapkan untuk mengatasi epilepsi intraktabel [3].
Penderita epilepsi biasanya tidak mudah untuk mendapatkan kualitas tidur yang baik, namun ketika susah tidur terjadi berkepanjangan, hal ini pun akan meningkatkan risiko kejang berulang dan kejang memburuk [3].
Membangun pola tidur yang konsisten dan cukup (8 jam setiap malam) di jam yang sama sangat dianjurkan [3].
Diet ketogenik adalah yang paling dianjurkan untuk mengatasi epilepsi intraktabel karena terbukti diet ini berhasil mengurangi frekuensi kejang [3,5].
Diet yang berfokus pada rendah karbohidrat dan tinggi lemak ini cukup ketat, namun ketika berada di bawah pantauan ahli diet, penderita epilepsi intraktabel (khususnya penderita usia anak) dapat menjalaninya dengan hasil yang baik [3,5].
Bahkan sebuah studi berhasil menunjukkan bahwa 58,4% anak penderita epilepsi intraktabel yang menjalani diet ketogenik mengalami pengurangan gejala [3].
Pada prosedur terapi ini, dokter menggunakan alat penghantar listrik berukuran kecil yang ditanam di bawah kulit pasien [3].
Biasanya, penanaman alat ini akan dilakukan di bawah kulit dada [3].
Melalui saraf vagus yang ada pada leher, alat ini akan mengirim impuls listrik ke otak dengan tujuan membuat intensitas dan frekuensi kejang berkurang [3].
Ketika berbagai macam terapi dan obat tidak berhasil meredakan gejala, maka prosedur operasi menjadi opsi yang dokter akan tawarkan kepada pasien [2,3,4,5].
Prosedur operasi ini meliputi penghambatan jalur saraf yang menyebabkan kejang, menghilangkan bagian tertentu dari otak yang menyebabkan kejang, atau menanam (implantasi) alat untuk mengurangi frekuensi maupun intensitas kejang [2,3,4,5].
Hanya saja, jalur operasi hanya akan dokter rekomendasikan apabila sudah terdeteksi bagian otak mana yang menyebabkan kejang [2,3,4,5].
Jika pun sudah teridentifikasi bagian otak tersebut, operasi hanya dokter lakukan untuk mengangkat bagian tersebut asal tidak mengganggu fungsi otak yang vital [2,3,4,5].
Bagaimana prognosis epilepsi intraktabel?
Prognosis epilepsi intraktabel cukup bervariasi dan menurut sebuah hasil studi epilepsi intraktabel pada orang dewasa, 10-30% pasien mengalami bebas kejang selama setidaknya 1 tahun [9].
Pasien dapat tidak lagi mengalami kejang, namun kejang berkemungkinan kembali dialami setidaknya dalam waktu 8 bulan sampai 6 tahun atau bahkan lebih [9].
Epilepsi intraktabel dapat dialami oleh penderita seumur hidupnya dan hal ini dapat memicu sejumlah masalah kesehatan, baik fisik maupun mental seperti [5] :
Untuk meminimalisir risiko epilepsi intraktabel, mencegah epilepsi dengan gaya hidup sehat dapat dilakukan lebih dulu.
Dalam mencegah epilepsi biasa, penting untuk memperoleh tidur cukup setiap hari, menghindari alkohol dan obat terlarang, hingga mengelola stres dengan baik [10].
Teknik-teknik relaksasi akan sangat membantu dalam mengurangi risiko epilepsi [10].
Selain itu, jika sudah memiliki riwayat epilepsi atau kejang, pastikan untuk menjalani pengobatan resep dari dokter dengan rutin dan disiplin [10].
1. Susan Herman, MD. Intractable Epilepsy: Relapsing, Remitting, or Progressive?. Epilepsy Currents; 2010.
2. Stanford Health Care. Intractable Epilepsy. Stanford Health Care; 2021.
3. Lana Barhum & Doru Paul, MD. An Overview of Intractable Epilepsy. Verywell Health; 2019.
4. University of Rochester Medical Center Rochester, NY. Intractable Epilepsy. University of Rochester Medical Center Rochester; 2021.
5. Cincinnati Children's. Intractable Epilepsy. Cincinnati Children's; 2018.
6. Andrea Ungar, Alice Ceccofiglio, Francesca Pescini, Chiara Mussi, Gianni Tava, Martina Rafanelli, Assunta Langellotto, Niccolò Marchionni, J. Gert van Dijk, Gianlugi Galizia, Domenico Bonaduce & Pasquale Abete. Syncope and Epilepsy coexist in ‘possible’ and ‘drug-resistant’ epilepsy (Overlap between Epilepsy and Syncope Study - OESYS). BMC Neurology; 2017.
7. Shamai A. Grossman & Madhu Badireddy. Syncope. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. Patrick Kwan, M.D., & Martin J. Brodie, M.D. Early Identification of Refractory Epilepsy. The New England Journal of Medicine; 2000.
9. Heidi Munger Clary & Hyunmi Choi. Prognosis of intractable epilepsy: is long-term seizure freedom possible with medical management?. Current Neurology and Neuroscience Reports; 2011.
10. Diana Rodriguez & Pat F. Bass III, MD, MPH. Preventing Epilepsy Seizures. Everyday Health; 2012.