Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Gangguan eksplosif intermiten adalah kondisi dimana tiba-tiba terjadi suatu episode perilaku atau ucapan ledakan kemarahan yang bersifat impulsif, agresif, dan kasar, yang terjadi berulang. Kekerasan dalam
Daftar isi
Gangguan eksplosif intermiten atau intermittent explosive disorder (IED) adalah gangguan mental di mana penderitanya tidak mampu mengontrol amarahnya hingga menimbulkan perilaku meledak-ledak di luar kewajaran secara tiba-tiba [1, 2, 3, 4, 7].
Hal ini termasuk tantrum, aksi menghancurkan barang-barang, hingga tindakan kekerasan [1, 2].
Gangguan tersebut berakibat buruk terhadap penderitanya karena memengaruhi hubungan personal, pekerjaan, sekolah, serta bisa menyebabkan konsekuensi hukum [1].
Di bawah ini merupakan fakta-fakta terkait gangguan eksplosif intermiten: [3, 7]
Tindakan eksplosif ini muncul secara tiba-tiba, baik dengan peringatan maupun tidak, dan biasanya berlangsung kurang dari 30 menit [1].
Mereka yang memiliki gangguan eksplosif intermiten akan memperliatkan tingkah laku berikut secara berkelanjutan [1, 2].
Tindakan agresif itu bisa disertai dengan gejala-gejala fisik seperti: [1, 2, 3, 5]
Berikut adalah gejala kognitifnya [5]:
Hal-hal di atas juga dilengkapi oleh faktor psikologis berikut [5, 6]:
Gangguan eksplosif intermiten (IED) bisa memengaruhi hubungan personal dan kegiatan sehari-hari. Adu mulut dan segala perilaku agresif tersebut mambuat seseorang sulit menjaga hubungan yang stabil dan suportif [2].
Seseorang yang menderita gangguan eksplosif intermiten beresiko tinggi memeroleh gangguan lain, seperti [2]:
Gangguan eksplosif intermiten biasanya bermula sejak masa kanak-kanak atau remaja. Gangguan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan atau biologis. [1]
Berikut beberapa kemungkinan penyebabnya:
1. Lingkungan
Seseorang yang mengidap gangguan ini mungkin pernah atau sedang tinggal bersama orang lain dengan gangguan yang sama. Jika seseorang senantiasa diperlihatkan tindakan kekerasan oleh figur panutan sejak kecil, maka dia punya kemungkinan besar memproyeksikan karakter yang sama ketika ia dewasa [1].
Masa kecil adalah waktu yang krusial untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam mengontrol emosi. Jika hal ini terganggu oleh kejadian traumatis, maka proses belajar mereka terhadap regulasi emosi pun ikut terganggu. Misalnya sang anak mengalami kekerasan verbal, fisik, atau mungkin seksual. Hal ini nantinya akan berdampak di masa depan [7].
Ketika amarah datang, mereka tidak tahu cara yang efektif untuk mengendalikannya. Keadaan ini akhirnya akan mengarah kepada tindakan agresif dan destruktif sebagai pelampiasan rasa amarah [7].
2. Genetik
Gangguan eksplosif intermiten juga bisa disebabkan oleh faktor genetik. Bila silsilah terdekatmu punya riwayat gangguan ini, maka bukan tidak mungkin Anda juga menderitanya [4].
3. Riwayat Kesehatan Mental
Orang yang memiliki masalah kesehatan mental lainnya juga beresiko memiliki gangguan eksplosif intermiten. Misalnya gangguan kepribadian antisosial, BPD (Boderline Personality Disorder), dan ADHD (attention-deficit/hyperactivity disorder). [1]
4. Biologis
Ada kemungkinan bahwa struktur, fungsi, dan zat kimiawi yang terkandung di dalam otak penderita memiliki perbedaan dengan orang biasa. Misalnya variasi kadar serotonin yang bisa memicu gangguan ini. [1, 3]
Dalam beberapa penelitian, tindakan agresif dan impulsif yang berulang-ulang dihubungkan dengan rendahnya kadar serotonin di dalam otak [2].
Ada beberapa keadaan yang membuat Anda punya resiko lebih besar mengidap gangguan eksplosif intermiten, di antaranya adalah sebagai berikut [2, 5].
Sebelum didiagnosis menderita gangguan eksplosif intermiten, seseorang mungkin memperlihatkan tindakan berupa gagalnya mengontrol emosi diri [3].
Hal tersebut bisa seperti [3]:
Perlu diingat bahwa serangan yang diperlihatkan sudah melampaui batas. Tidak direncanakan dan bersumber dari rasa marah dan tidak bisa dijelaskan menggunakan gejala gangguan mental lainnya. [3]
Untuk memastikan adanya gangguan eksplosif intermiten serta mengeliminasi kemungkinan masalah mental lainnya, dokter akan melakukan hal berikut [1]:
Belum ada pengobatan spesial untuk menangani gangguan tersebut. Walau demikian, terdapat perawatan yang berfokus kepada peningkatan kemampuan mengontrol emosi diri [7].
Salah satu cara yang dianggap efektif untuk melatih kemampuan menajemen emosi serta mengurangi perilaku destruktif adalah dengan melakukan Terapi Perilaku Dialektika atau Dialectic Behaviour Therapy (DBT) [7].
DBT berfokus pada pengubahan cara berpikir, tingkah laku, serta kepercayaan yang berpengaruh buruk terhadap keadaan mental pasien. Terapi ini menekankan sikap penerimaan terhadap emosi dan pemikiran diri sendiri [8].
Dokter akan mengaplikasikan terapi yang nantinya akan meningkatkan beberapa kemampuan, seperti: meditasi mindfulness, efektivitas interpersonal, toleransi penderitaan, dan regulasi [8].
Beberapa jenis obat-obatan bisa membantu menangani gangguan eksplosif intermiten; termasuk antidepresan–khususnya Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), obat penstabil mood, obat antipsikotik, obat penghilang kecemasan, dan lain sebagainya [1, 2]
Beberapa penelitian menemukan cara-cara efektif menangani gangguan ini, yaitu dengan mengubah gaya hidup. Hal tersebut antara lain [1, 2]:
Jika Anda merasa keadaan si penderita kian memburuk atau Anda menyadari bahwa mereka akan meledakkan amarahnya, usahakan agar mengindarkan diri serta anak-anak dari tempat kejadian [1].
Pertimbangkan cara-cara ini sebelum keadaan makin darurat [1].
1. Anonim. Intermittent explosive disorder. Mayo Clinic; 2018.
2. Carly Vandergriendt & Timothy J. Legg. Intermittent Explosive Disorder. Healthline; 2018.
3. Anonim. Intermittent Explosive Disorder. Cleveland; 2018.
4. Anonim. Intermittent Explosive Disorder Basics. Child Mind Institute.
5. Anonim. Signs & Symptoms of Intermittent Explosive Disorder. Valley Behavioral Health System.
6. Danielle Dresden & Timothy J. Legg. What to know about emotional detachment. Medical News Today; 2020.
7. Matthew Tull & Steven Gans. Childhood Trauma and Intermittent Explosive Disorder: Understanding the Connection and Causes of IED. Verywell Mind; 2020.
8. Matthew Tull & Steven Gans. Dialectical Behavior Therapy (DBT) for PTSD. Verywell Mind; 2020.