Penyakit & Kelainan

Hepatitis D : Penyebab – Gejala dan Penanganan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Hepatitis D?

Hepatitis D merupakan sebuah kondisi ketika organ hati mengalami radang yang diakibatkan oleh infeksi virus hepatitis delta (HDV) [1,2,5,7,11,12,15].

Hepatitis D hanya dapat menyerang penderita hepatitis B atau penderita infeksi HBV.

Tidak seperti hepatitis A, hepatitis B dan hepatitis C yang cukup sering didengar atau dijumpai kasusnya, hepatitis D tergolong tak biasa dan langka.

Penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronis ini hanya akan diderita oleh seseorang yang pernah memiliki riwayat mengidap hepatitis B atau sedang mengidap hepatitis B.

Pada penderita hepatitis B kronis atau jangka panjang, maka risiko menderita hepatitis D lebih tinggi.

Tinjauan
Hepatitis D adalah peradangan yang menyerang organ hati akibat serangan atau paparan infeksi HDV atau hepatitis delta virus. Namun, hepatitis D hanya dapat diderita oleh penderita atau orang yang memiliki riwayat hepatitis B.

Fakta Tentang Hepatitis D

  1. Hepatitis D berbeda dari hepatitis B walaupun tanpa keberadaan hepatitis B, maka risiko timbulnya hepatitis D tidak ada [1].
  2. Terdapat sekitar 5% orang pembawa HBV di dalam tubuhnya diketahui terinfeksi HDV; pembawa atau carrier HBV umumnya berpotensi tidak menimbulkan gejala [1].
  3. Prevalensi infeksi HDV paling tinggi adalah di Afrika Timur, wilayah Mediterania, wilayah Pasifik, Asia Utara dan Tengah, Timur Tenggah dan Amazonia (cekungan Amazon) [1].
  4. Di negara-negara Barat, prevalensi hepatitis D tergolong rendah, namun populasi dengan risiko tinggi meliputi imigran dari wilayah dengan prevalensi kasus infeksi HDV yang tinggi, pasien transfusi darah, serta pengguna obat terlarang suntik [1].
  5. Di Indonesia, terdapat sekitar 30 juta orang penderita hepatitis B dan C, di mana hal ini otomatis meningkatkan perkiraan prevalensi hepatitis D [3].
  6. Namun, prevalensi kasus hepatitis D di Indonesia belum diketahui secara jelas dan spesifik.

Penyebab Hepatitis D

Hepatitis delta virus atau HDV merupakan penyebab utama hepatitis D di mana virus ini membutuhkan virus hepatitis B untuk dapat menginfeksi dan berkembang di dalam tubuh penderita [1,2].

Virus ini dapat menyebabkan organ hati mengalami peradangan dan kerusakan.

Padahal, organ hati memiliki fungsi utama sebagai pendukung proses metabolisme dan menjadi penyaring bagi zat-zat beracun untuk dikeluarkan dari dalam tubuh.

Fungsi hati akan rusak ketika hati mengalami peradangan dan hal ini yang kemudian menyebabkan sejumlah gejala pada akhirnya.

Berikut ini adalah sejumlah faktor yang meningkatkan risiko seseorang menderita hepatitis D [1,2,4] :

  • Mengidap hepatitis B, tak terkecuali orang yang sekadar membawa virus atau sebagai carrier-nya saja.
  • Menggunakan jarum suntik yang sebelumnya dipakai oleh pengidap hepatitis D (biasanya hal ini dijumpai pada penggunaan narkoba jenis suntik) karena otomatis infeksi akan menular.
  • Menerima transfusi darah dari pendonor yang merupakan penderita hepatitis D karena pemeriksaan pendonor kurang ketat atau alat transfusi darah kurang steril.
  • Tinggal di wilayah yang sedang terkena wabah hepatitis D sehingga penularan mudah terjadi.
  • Tinggal bersama penderita hepatitis D.
  • Melakukan hubungan seksual sesama jenis (khususnya dalam hal ini adalah sesama pria).
  • Seorang ibu yang merupakan penderita hepatitis D melahirkan dan menularkan infeksi ini kepada sang bayi; meski demikian, proses persalinan menjadi sarana penularan hepatitis D yang tergolong jarang dijumpai.

Ketika seseorang tanpa sadar telah terkena infeksi HDV, penyebarannya ke orang lain akan begitu cepat dan mudah.

Hal ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya kontak langsung dengan urine, darah, cairan sperma maupun cairan vagina penderita ke orang yang sehat [5].

Meski cairan tubuh menjadi sarana penularan, HDV tidak menular melalui air liur, dan HDV tidak akan menyebar melalui jabat tangan maupun pelukan (antar kulit) kecuali jika tangan telah terpapar cairan tubuh yang sudah terinfeksi.

Tinjauan
- Hepatitis delta virus atau HDV merupakan penyebab utama dari hepatitis D, walaupun hepatitis B menjadi peningkat risiko utama kondisi hepatitis D.
- Berbagi penggunaan jarum suntik, kontak langsung dengan penderita (terutama terkena paparan cairan tubuh penderita), hubungan seksual sesama jenis, serta ibu hamil penderita hepatitis D dapat meningkatkan risiko penyebaran dan penularannya.

Gejala Hepatitis D

Pada kebanyakan kasus penderita hepatitis D diketahui tidak ada gejala yang ditimbulkan.

Jika pun timbul gejala, keluhan yang dimiliki penderita cenderung sama dengan kondisi gejala yang disebabkan oleh hepatitis B.

Oleh sebab itu, membedakan kedua kondisi ini menjadi cukup sulit karena keserupaan gejala.

Berikut ini adalah sejumlah keluhan gejala hepatitis D yang kemungkinan juga sebenarnya adalah kondisi hepatitis B yang dari semula sudah diderita [1].

  • Sendi terasa nyeri
  • Jaundice atau kondisi menguningnya bagian putih pada bola mata sekaligus kulit.
  • Mual yang dapat disertai muntah
  • Perut terasa nyeri
  • Perubahan warna urine yang menjadi lebih gelap
  • Penurunan nafsu makan
  • Tubuh menjadi lebih cepat lelah tanpa sebab yang jelas
  • Perubahan warna feses atau tinja menjadi lebih terang

Pada beberapa kasus, gejala hepatitis B dapat memburuk karena keberadaan hepatitis D dan hepatitis D juga dapat menyebabkan timbulnya gejala pada penderita hepatitis B tanpa gejala.

Pada sebagian kasus, gejala berupa mudah memar dan kebingungan atau linglung juga dapat terjadi walau sangat jarang.

Namun apapun bentuk gejala yang dikeluhkan, biasanya kemunculan keluhan adalah 21-45 hari usai seseorang terkena infeksi hepatitis D.

Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?

Bila beberapa keluhan gejala yang telah disebutkan mulai timbul, jangan ragu untuk segera ke dokter dan memeriksakan diri.

Deteksi dini penyakit hepatitis D akan jauh lebih baik supaya penanganan dini juga dapat diberikan oleh dokter mencegah kondisi komplikasi.

Bahkan penderita hepatitis B juga dapat lebih rutin mengontrol kesehatan dan berkonsultasi mengenai adanya kemungkinan risiko hepatitis D.

Bagi pasien transfusi darah yang cukup sering menempuh tindakan medis ini, sebaiknya periksakan diri ke dokter dan berkonsultasi juga mengenai adanya risiko hepatitis D.

Bagi yang sebelumnya telah didiagnosa positif mengidap hepatitis D, temui dokter secara rutin untuk pemeriksaan.

Kondisi tersebut perlu terus mendapatkan pemantauan dari dokter supaya tidak semakin menyebar.

Tinjauan
- Gejala hepatitis D memiliki kemiripan dengan gejala hepatitis B yang terkadang pada beberapa kasus tidak disertai gejala apapun.
- Gejala umum hepatitis D yang perlu diwaspadai adalah nyeri sendi, jaundice, mual, muntah, nyeri perut, nafsu makan turun, urine berwarna lebih gelap saat buang air kecil, tubuh cepat lelah, dan feses berwarna lebih terang saat buang air besar.

Pemeriksaan Hepatitis D

Ketika memeriksakan diri ke dokter, berikut ini adalah sejumlah metode diagnosa yang umumnya dokter gunakan :

  • Pemeriksaan Riwayat Kesehatan

Pemeriksaan diawali dengan sejumlah pertanyaan yang dokter ajukan kepada pasien mengenai apa saja keluhan gejala yang dirasakan.

Dokter juga akan menanyakan riwayat kesehatan pasien, penyakit apa saja yang diderita, tindakan medis apa yang pernah ditempuh, dan obat apa saja yang sedang digunakan.

Dokter kemungkinan besar juga akan menanyakan seperti apa gaya hidup pasien selama ini.

  • Pemeriksaan Fisik

Setelah itu, dokter akan memeriksa fisik pasien secara menyeluruh. Hal ini meliputi pengecekan perubahan warna kulit serta bagian putih pada mata yang menjadi kuning atau tidak [6,7].

Dokter juga akan melihat bagian perut pasien untuk mengetahui apakah bagian tersebut mengalami pembengkakan.

  • Tes Pemindaian

Serangkaian tes pemindaian seperti MRI scan, USG dan CT scan seringkali dibutuhkan sebagai tes penunjang [8].

Melalui metode diagnosa ini, dokter dapat mengetahui apakah terdapat kerusakan pada organ hati pasien.

  • Tes Darah

Tes darah diperlukan untuk mendeteksi keberadaan infeksi di dalam tubuh pasien [1,2,7].

Selain infeksi, dokter juga mampu mendeteksi adanya antibodi anti-hepatitis D dalam darah pasien.

Jika terdeteksi, maka hal ini menjadi tanda bahwa pasien telah terkena HDV.

Dokter perlu melakukan tes fungsi hati untuk melakukan pengukuran kadar enzim hati, kadar protein, serta bilirubin [9].

Kadar ketiganya adalah tolak ukur seberapa baik fungsi hati dan seberapa serius kondisi organ hati telah rusak.

Biopsi hati adalah prosedur pengambilan sampel jaringan hati pasien untuk kemudian dianalisa di laboratorium [1,7].

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya kerusakan di jaringan hati pasien.

Tinjauan
Beberapa metode diagnosa yang umumnya diterapkan oleh dokter dalam memeriksa kondisi pasien adalah pemeriksaan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, tes pemindaian, tes darah, tes fungsi hati, dan biopsi hati.

Pengobatan Hepatitis D

Tujuan utama pengobatan hepatitis D adalah untuk mencegah virus semakin berkembang-biak di dalam tubuh pasien.

Maka dari itu, beberapa metode penanganan medis di bawah ini diperlukan oleh pasien agar HDV dapat dilawan.

  • Obat Antivirus

Lamivudine, tenofovir dan entecavir merupakan jenis-jenis obat antivirus yang umumnya diresepkan oleh dokter [10,11].

Untuk melawan virus yang ada di dalam tubuh, sistem imun pasien harus menjadi lebih kuat.

Maka untuk memperkuat sistem imun tersebut, obat-obatan inilah yang digunakan sehingga kemampuan virus dalam menyebabkan kerusakan hati dapat dihambat.

  • Interferon

Selain antivirus, ada pula interferon yang juga akan diresepkan oleh dokter sebagai pencegah penyebaran virus [1,12].

Obat dari sejenis protein ini juga akan meminimalisir risiko kembalinya virus sehingga pasien tak perlu khawatir kondisi mudah kambuh.

Pemberian obat ini dilakukan seminggu sekali selama 1 tahun dengan metode infus.

Bila tingkat kerusakan hati sudah sangat parah dan tak lagi dapat ditangani dengan obat-obatan, operasi transplantasi hati akan dianjurkan oleh dokter [1,13].

Transplantasi hati artinya mengganti hati yang telah rusak dengan yang sehat dari pendonor.

Tinjauan
Obat antivirus dan interferon adalah bentuk penanganan hepatitis D yang umumnya diberikan oleh dokter. Namun bila kondisi lebih serius karena kerusakan hati tak lagi bisa diatasi dengan obat-obatan, dokter akan merekomendasikan prosedur transplantasi hati.

Komplikasi Hepatitis D

Keterlambatan penanganan hepatitis D dapat berakibat pada komplikasi berbahaya seperti kanker hati, gagal hati, dan sirosis hati [13,14].

Jika hepatitis D telah berada pada tahap kronis, maka komplikasi-komplikasi tersebut lebih rentan terjadi pada penderita.

Pencegahan Hepatitis D

Vaksinasi hepatitis B adalah cara pencegahan terbaik dan paling dianjurkan.

Namun, beberapa hal lain yang juga perlu diterapkan agar mampu meminimalisir risiko hepatitis B sekaligus hepatitis D adalah [15] :

  • Tidak berbagi penggunaan jarum suntik, baik itu tato, narkoba, atau lainnya.
  • Menerapkan hubungan seks aman; hindari berganti-ganti pasangan seks dan selalu gunakan kondom.
  • Menjaga jarak dari penderita hepatitis B dan hepatitis D agar kemungkinan tertular dapat diminimalisir.
  • Ibu hamil memeriksakan diri dengan rutin, dan bila terdapat risiko hepatitis B maupun D, segera konsultasikan dengan dokter bagaimana mengatasinya agar memperkecil risiko penularan pada bayi saat melahirkan.
Tinjauan
Pencegahan hepatitis D dapat dilakukan utamanya dengan mendapat vaksinasi hepatitis B. Namun menghindari penggunaan jarum suntik bersama, penerapan hubungan seks aman, pemeriksaan kandungan dan kesehatan ibu hamil secara rutin, hingga menjaga jarak dari penderita infeksi juga sangat dianjurkan.

1. Umair Masood & Savio John. Hepatitis D. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Mario Rizzetto. Hepatitis D Virus: Introduction and Epidemiology. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine; 2015.
3. Anonim. Prevalensi Hepatitis B di Indonesia. Repository Universitas Dian Nuswantoro; 2020.
4. Kwabena O. Asafo-Agyei & Hrishikesh Samant. Pregnancy And Viral Hepatitis. National Center for Biotechnology Information; 2020.
5. Ting-Hui Hsieh, Chun-Jen Liu, Ding-Shinn Chen, & Pei-Jer Chen. Natural course and treatment of hepatitis D virus infection. Journal of the Formosan Medical Association = Taiwan yi zhi; 2006.
6. Nishant Tripathi & Omar Y. Mousa. Hepatitis B. National Center for Biotechnology Information; 2020.
7. Joseph Ahn, MD, MS & Robert G. Gish, MD. Hepatitis D Virus: A Call to Screening. Gastroenterology & Hepatology; 2014.
8. Hodler J, Kubik-Huch RA, & von Schulthess GK. Diseases of the Abdomen and Pelvis 2018-2021. Cham (CH): Springer; 2018.
9. Mario C. Ponce & Sandeep Sharma. Pulmonary Function Tests. National Center for Biotechnology Information; 2020.
10. Hee-Jeong Jeon, Seok Won Jung, Neung Hwa Park, Yujin Yang, Jin-Hee Noh, Jae-Sung Ahn, Hyung Rae Kim, Jae Ho Lee, & Jung Woo Shin. Efficacy of tenofovir-based rescue therapy for chronic hepatitis B patients with resistance to lamivudine and entecavir. Clinical and Molecular Hepatology; 2017.
11. Nathalie Mentha, Sophie Clément, Francesco Negro, & Dulce Alfaiate. A review on hepatitis D: From virology to new therapies. Journal of Advanced Research; 2019.
12. Zaigham Abbas,corresponding author Muhammad Arsalan Khan, Mohammad Salih, & Wasim Jafri. Interferon alpha for chronic hepatitis D. Cochrane Library; 2011.
13. D Samuel, H Bismuth, & J P Benhamou. Liver transplantation in cirrhosis due to hepatitis D virus infection. Journal of Hepatology; 1993.
14. Zaigham Abbas, Minaam Abbas, Sarim Abbas, & Lubna Shazi. Hepatitis D and hepatocellular carcinoma. World Journal of Hepatology; 2015.
15. Anonim. Prevention of hepatitis D. Government of Canada; 2015.





Share